Thursday, February 23, 2006

Mozart in Leiden


Aku dan Neneng baru aja menikmati Orchestra (Orkest, bhs Belanda, Orkes bhs Indonesia) Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) di Stadsgehoorzaal, Leiden, 20.15-10.30 pm, 23 February 2006. Dimainkan Orkest van de Achttiende Eeuw dengan pianoforte/pianistnya Kristian Bezuidenhout. Luar biasa. Asyik. Menakjubkan. Mencerahkan. Perkenalanku dengan musik klasik sudah sejak lama, seingatku sejak usia SMA di MAPK Ciamis. Aku tambah suka musik klasik ketika masa mahasiswa S-1. Aku mulai beli koleksi kaset-kaset musik klasik ketika aku di Edinburgh Inggris. Selama ini aku hanya mendengarkan musik-musik itu dimainkan. Tidak tahu persis suara instrumen yang mana. Aku merasakan sentuhan-sentuhan spritual dan intelektual ketika mendengarkan musik klasik. Ketika aku belajar, aku kadang mendengar musik klasik. Ada hubungan yang harmonis antara satu bagian otakku yang membaca buku dan bagian otakku yang lain yang mendengarkan musik. klasik. Malam ini, terasa lain, aku bersama istri, menikmati langsung, menyaksikan langsung bagaimana piano, biola, flute, dan alat-alat musik lainnya (yang aku gak begitu hapal satu persatu) dimainkan dengan terampil. Buatku, aku belajar sesuatu. Pertama, harmoni. Harmoni berarti selaras antara satu pemain/alat musik dengan pemain-pemain/alat-alat musik lainnya. Masing-masing berbeda posisinya, beberapa memainkan alat musik yang sama, tapi beberapa alat musik sendirian. Dalam perbedaan ini, semua tetap selaras, harmonis. Yang satu menjadi bagian dari keseluruhan. Harmoni. Yang berbeda tidak merusak yang lain. Ini harmoni.
Nilai kedua adalah profesionalisme. Masing-masing pemain adalah pemain profesional yang menguasai bermain alat musik pilihannya. Sang pianis, sang pemain biola, dan lainnya. Harus profesional, tidak bisa satu orang memainkan semua alat musik dalam waktu bersamaan. Masing-masing ada pada profesinya, posisinya. Masing-masing tahu betul kapan mulai memainkan musiknya, kapan berhenti, kapan terus menerus bersama, atau tanpa yang lain. Masing-masing memperhatikan note-note musiknya, memainkan musiknya pada waktunya, dan tetap memperhatikan pemain-pemain yang lain.
Ketiga, ada kepemimpinan. Sang pianis selaku pemimpin. Memberi aba-aba kepada semua, kepada salah satu, atau sebagian. Agar ada permulaan ada akhir, ada irama, ada naik turun, emosi naik emosi turun, kepala bergerak, badan bergerak, sambil tangan memainkan pianonya. Sang pemimpin juga bermain, tidak sekedar menyuruh yang lain bermain. Sang pianis, yang pemimpin, profesional sebagai pemain piano, tapi pada saat yang sama, memimpin profesional-profesional yang lain. Semua agar seirama, agar harmonis.
Keempat, seni itu indah. Universalkah bahasa seni? Tidak ada yang benar-benar universal. Musik klasik dulu dimainkan untuk kalangan terbatas. Mozart menyusun (membuat komposisi) piano dan orkestranya untuk ia mainkan di Gereja, di Istana, dan di kalangan bangsawan; ia menjelajah Eropa memainkan musiknya. Seni musik klasik memang unik Eropa, alat-alat musiknya pun berasal dari tradisi Eropa. Namun nilai-nilai keindahan musik klasik bisa menerobos ke relung-relung pikiran dan perasaan orang-orang bukan Eropa juga. Musik klasik bisa dinikmati oleh orang dari berbagai bangsa (lahir di Salzburg, tinggal lama di Vienna dan melanglang ke negeri-negeri Eropa lain)- dan bahkan oleh orang-orang lintas agama dan kepercayaan, bagi mereka-mereka yang tertarik menikmati musik sebagai bagian dari kehidupan berbudaya.
Sejarah komposer klas dunia seperti Mozart menampilkan perjuangan hidup seorang yang sungguh-sungguh mencintai dunia yang mencerahkan, menyejukkan, menentramkan. Dunia yang tidak perlu bertentangan dengan kehidupan nanti - bagi mereka yang mempercayai dunia akhir.
Aku dan Neneng beruntung, bisa menikmati satu dari produk komposer klasik kelas dunia, yang sejak lama aku nikmati dan kagumi dan kini semakin aku kagumi, lewat-lewat tangan-tangan dan energi generasi abad ke-20 yang sukses melestarikannya buat kita dan generasi yang akan datang. Buatku, dan buat istriku, aku baru saja menjalani dua jam yang mencerahkan. Yang berbekas.

11.46 pm, Hooglandse Kerkgracht 14, Leiden.

No comments: