Thursday, February 23, 2006
Mozart in Leiden
Aku dan Neneng baru aja menikmati Orchestra (Orkest, bhs Belanda, Orkes bhs Indonesia) Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) di Stadsgehoorzaal, Leiden, 20.15-10.30 pm, 23 February 2006. Dimainkan Orkest van de Achttiende Eeuw dengan pianoforte/pianistnya Kristian Bezuidenhout. Luar biasa. Asyik. Menakjubkan. Mencerahkan. Perkenalanku dengan musik klasik sudah sejak lama, seingatku sejak usia SMA di MAPK Ciamis. Aku tambah suka musik klasik ketika masa mahasiswa S-1. Aku mulai beli koleksi kaset-kaset musik klasik ketika aku di Edinburgh Inggris. Selama ini aku hanya mendengarkan musik-musik itu dimainkan. Tidak tahu persis suara instrumen yang mana. Aku merasakan sentuhan-sentuhan spritual dan intelektual ketika mendengarkan musik klasik. Ketika aku belajar, aku kadang mendengar musik klasik. Ada hubungan yang harmonis antara satu bagian otakku yang membaca buku dan bagian otakku yang lain yang mendengarkan musik. klasik. Malam ini, terasa lain, aku bersama istri, menikmati langsung, menyaksikan langsung bagaimana piano, biola, flute, dan alat-alat musik lainnya (yang aku gak begitu hapal satu persatu) dimainkan dengan terampil. Buatku, aku belajar sesuatu. Pertama, harmoni. Harmoni berarti selaras antara satu pemain/alat musik dengan pemain-pemain/alat-alat musik lainnya. Masing-masing berbeda posisinya, beberapa memainkan alat musik yang sama, tapi beberapa alat musik sendirian. Dalam perbedaan ini, semua tetap selaras, harmonis. Yang satu menjadi bagian dari keseluruhan. Harmoni. Yang berbeda tidak merusak yang lain. Ini harmoni.
Nilai kedua adalah profesionalisme. Masing-masing pemain adalah pemain profesional yang menguasai bermain alat musik pilihannya. Sang pianis, sang pemain biola, dan lainnya. Harus profesional, tidak bisa satu orang memainkan semua alat musik dalam waktu bersamaan. Masing-masing ada pada profesinya, posisinya. Masing-masing tahu betul kapan mulai memainkan musiknya, kapan berhenti, kapan terus menerus bersama, atau tanpa yang lain. Masing-masing memperhatikan note-note musiknya, memainkan musiknya pada waktunya, dan tetap memperhatikan pemain-pemain yang lain.
Ketiga, ada kepemimpinan. Sang pianis selaku pemimpin. Memberi aba-aba kepada semua, kepada salah satu, atau sebagian. Agar ada permulaan ada akhir, ada irama, ada naik turun, emosi naik emosi turun, kepala bergerak, badan bergerak, sambil tangan memainkan pianonya. Sang pemimpin juga bermain, tidak sekedar menyuruh yang lain bermain. Sang pianis, yang pemimpin, profesional sebagai pemain piano, tapi pada saat yang sama, memimpin profesional-profesional yang lain. Semua agar seirama, agar harmonis.
Keempat, seni itu indah. Universalkah bahasa seni? Tidak ada yang benar-benar universal. Musik klasik dulu dimainkan untuk kalangan terbatas. Mozart menyusun (membuat komposisi) piano dan orkestranya untuk ia mainkan di Gereja, di Istana, dan di kalangan bangsawan; ia menjelajah Eropa memainkan musiknya. Seni musik klasik memang unik Eropa, alat-alat musiknya pun berasal dari tradisi Eropa. Namun nilai-nilai keindahan musik klasik bisa menerobos ke relung-relung pikiran dan perasaan orang-orang bukan Eropa juga. Musik klasik bisa dinikmati oleh orang dari berbagai bangsa (lahir di Salzburg, tinggal lama di Vienna dan melanglang ke negeri-negeri Eropa lain)- dan bahkan oleh orang-orang lintas agama dan kepercayaan, bagi mereka-mereka yang tertarik menikmati musik sebagai bagian dari kehidupan berbudaya.
Sejarah komposer klas dunia seperti Mozart menampilkan perjuangan hidup seorang yang sungguh-sungguh mencintai dunia yang mencerahkan, menyejukkan, menentramkan. Dunia yang tidak perlu bertentangan dengan kehidupan nanti - bagi mereka yang mempercayai dunia akhir.
Aku dan Neneng beruntung, bisa menikmati satu dari produk komposer klasik kelas dunia, yang sejak lama aku nikmati dan kagumi dan kini semakin aku kagumi, lewat-lewat tangan-tangan dan energi generasi abad ke-20 yang sukses melestarikannya buat kita dan generasi yang akan datang. Buatku, dan buat istriku, aku baru saja menjalani dua jam yang mencerahkan. Yang berbekas.
11.46 pm, Hooglandse Kerkgracht 14, Leiden.
Tuesday, February 14, 2006
Saturday, February 11, 2006
Kartun Nabi dan Dialog Antar Agama
Muhamad Ali
Kasus kartunisasi Nabi Muhammad SAW di harian Denmark Jyllands Posten dan penyebarluasannya di media massa Eropa, yang diprotes sebagian umat Islam dunia, semakin memperkuat momentum mengembangkan dialog antara agama dan antar kawasan Asia Pacific dan Asia Eropa (ASEM).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat, kebebasan pers dan penegakan hak asasi manusia tidak berarti menyinggung hak-hak keyakinan orang lain, seraya menyambut baik permintaan maaf Pemerintah Denmark ke seluruh umat Islam dunia. Pendapat Yudhoyono ini sejalan dengan salah satu harian di Perancis, Le Figaro, yang editorialnya mengusulkan perlunya autocensor di kalangan pers karena “apa yang hukum Negara bolehkan kadang-kadang kepercayaan (conscience) melarangnya.”
Kasus-kasus Salman Rushdi di Inggris (19869), Ishioma Daniel di Nigeria (2002), dan Theo van Gogh di Belanda (2004), meski dalam konteks berbeda, menyisakan berbagai persoalan kompleks hubungan antar komunitas di tingkat kawasan dan global. Diantara persoalan yang belum serius didialogkan adalah ketegangan antara kebebasan ekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama atau ideologi tertentu, hubungan antara hukum dari sebuah Negara dan kebebasan pers, hubungan antara berbagai etika dunia, makna kebebasan itu sendiri dalam hukum internasional, antara hukum-hukum adat atau budaya kawasan dan peradaban, dan sebagainya.
Dialog antar pemeluk agama dan dialog antara kawasan seperti disinggung Yudhoyono harus didukung. Ini penting karena masih berkembangnya ignorance (ketidaktahuan) dalam bentuk penghubungan intrinsik antara Islam dan terorisme, Islamophobia, xenophobia, dan semacamnya. Di pihak lain, di kalangan umat Islam, masih ada tindakan-tindakan emosional anarkis mengusir atau membunuh orang asing yang tidak ada sangkut pautnya, ekstrimisme radikal dan kebencian terhadap bangsa dan budaya asing (xenophobia). Reaksi-reaksi emosional dan ekstrim menunjukkan kurangnya pemahaman akan sejarah dan peradaban bangsa lain.
Salah satu ketidaktahuan di sebagian media massa Barat adalah memposisikan tokoh Nabi seperti tokoh-tokoh politik lainnya. Seorang Muslim mungkin tidak cukup religius dalam ibadah, tapi jika Nabi mereka disinggung rasa keagamaan mereka sangat tinggi. Di Indonesia misalnya, tradisi pembacaan barzanji sangat populer yang memuat pujian-pujian terhadap Nabi (bahkan di Cikoang Sulawesi Selatan acara maulud (kelahiran) Nabi Muhammad menjadi paling meriah sepanjang tahun, meskipun mereka kurang memperhatikan ibadah). Di kalangan umat Islam, kecintaan kepada Nabi ini ada yang berlebihan, ada yang moderat, ada yang tidak terlalu peduli, dan bentuknya juga bermacam-macam sesuai pemahaman keagamaan dan tradisi masing-masing. Hal-hal semacam ini kurang atau tidak dipahami sebagian masyarakat Barat yang menganggap biasa membuat kartun (“mencemoohkan” atau menyanjung) tokoh-tokoh politik mereka.
Di pihak lain, umat Islam juga perlu memahami konteks tradisi Barat yang sebetulnya sangat majemuk termasuk dalam memaknai kebebasan berekspresi. Misalnya, di museum-museum di Eropa, banyak sekali patung-patung dan lukisan-lukisan telanjang, karena mengandung nilai seni yang tinggi dan dihargai masyarakat. Masyarakat Barat juga menjunjung nilai-nilai etika kemanusiaan yang tidak selalu berseberangan dengan etika di kawasan lain.
Karena itulah, dialog antar budaya sungguh penting, untuk memahami sejarah dan tradisi masing-masing dan untuk kemudian saling menghargainya. Hubungan antara seni, kebebasan, tradisi, dan keyakinan agama inilah salah satu persoalan yang harus didialogkan.
Pluralisme agama dan multikulturalisme tidak hanya dalam suatu Negara, tapi antar kawasan dan tingkat global, dalam arti menghormati perbedaan persepsi dan keyakinan agama dan tradisi. Sebuah kepekaan pluralis-multikulturalis, harus dikembangkan tidak hanya di kalangan umat Islam, tapi juga umat-umat agama dan umat yang tidak beragama di seluruh dunia.
Umat beragama dan masyarakat dunia yang beragama dan tidak beragama harus mengembangkan sebuah kewarganegaraan bumi (citoyennete planetaire) dan kemanusiaan bersama (l’humanité commun) dalam kerangka etika global yang dapat dipahami dan disepakati sebagian besar umat manusia. Etika kemanusiaan global ini penting untuk melawan segala bentuk ekstrimisme yang mengesahkan penghinaan dan penghancuran hak-hak hidup komunitas, agama, atau bangsa lain.
Dialog antar agama, antar kawasan juga bertujuan untuk menyeimbangkan hegemony of meaning dan supremasi Barat (Sophie Bessis, 2001) tentang apa yang dimaksud kebebasan, hak-hak asasi manusia, seni, etika, dan sebagainya. Upaya ini memperkeras suara kalangan umat beragama dan non-agama di kawasan Asia, Pacifik, dan kawasan-kawasan lain tentang pemahaman agama mereka yang moderat yang menjunjung hak-hak orang, agama, dan bangsa lain. Tidak bisa dipungkiri, akibat faktor-faktor sejarah dan moral yang begitu kompleks, ketidakseimbangan global dewasa ini masih berlanjut antara agama, budaya, bangsa, dan peradaban. Betapapun terjal menanjak, jalan dialog harus ditempuh kearah berkurangnya ketidakseimbangan itu.
Dialog antar agama, antar kawasan akan menumbuhkan saling percaya (mutual trust), keinginan untuk mendengar (eager to listen), komitmen untuk menerima perbedaan (disagreement) dan kemauan untuk mencari titik temu (common platforms) yang melintasi batas-batas tradisi mereka masing-masing.
Topik dialog antara lain tentang makna dan batas-batas toleransi. Salah satu definisi toleransi adalah sikap membolehkan atau membiarkan ketidaksepakatan, tidak menolak pendapat, sikap, atau gaya hidup yang berbeda dengan pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri. Sikap toleran tidak hanya terhadap hal yang secara moral spiritual berbeda tetapi juga terhadap ideologi dan perilaku politik yang bertentangan. Toleransi menuntut kita menerima orang lain dan mempersilahkan perbuatan mereka meski ketika kita sangat tidak setuju (Scanlon, 1998). Penerapan definisi toleransi seperti ini bisa dianggap problematik oleh sebagian masyarakat dunia, dan karena itu perlu didialogkan.
Lebih jauh, toleransi adalah sikap kewargaan yang aktif, bukan sikap yang datang begitu saja secara spontan (tolerance est une position civique active, et non pas une attitude spontanee, Fernando Savater). Toleransi global tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja tanpa usaha strategis dan sinergis dari berbagai Negara dan organisasi-organisasi agama di seluruh kawasan dunia untuk mengembangkan dan mendidikkannya. Tidak ada perdamaian antar bangsa tanpa dialog antar agama (Hans Kung).
Topik lain yang perlu didialogkan adalah definisi dan penerapan kebebasan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia. Pertanyaan penting lain adalah tindakan apa yang tidak bisa ditoleransi (l’intolerable) dalam hubungan antar kelompok manusia yang berbeda dan bagaimana mencari definisi bersama tentang terorisme, diskriminasi, pelecehan agama, dan sebagainya.
Perlu diakui ada perbedaan definisi seni, kebudayaan, agama, dan modernitas itu sendiri. Ada agama sebagai konstruk Barat, ada agama sebagaimana dikonstruk penganutnya sendiri. Perlu didialogkan, teologi dan ajaran-ajaran agama yang diyakini berubah dan tidak berubah dalam setiap agama. Dan perlu dipahami sejarah peradaban Eropa, sejarah peradaban dunia, Indonesia, Asia Tenggara, Asia, Afrika, dan sebagainya. Pemahaman akan sejarah bangsa-bangsa dan agama-agama dapat membantu efektifnya sebuah dialog antar agama, antar kawasan.
Sebuah koeksistensi agama dan bangsa secara regional dan global harus menjadi cita-cita semua lapisan warga kawasan dan dunia. Ketidakseimbangan global mungkin kehendak sejarah, namun harus ada usaha-usaha mengurangi hegemoni dan pemaksaan makna dan peradaban, karena koeksistensi global hanya dapat tercipta dalam hubungan yang setara dan saling menghargai.
Kasus kartunisasi Nabi Muhammad SAW di harian Denmark Jyllands Posten dan penyebarluasannya di media massa Eropa, yang diprotes sebagian umat Islam dunia, semakin memperkuat momentum mengembangkan dialog antara agama dan antar kawasan Asia Pacific dan Asia Eropa (ASEM).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat, kebebasan pers dan penegakan hak asasi manusia tidak berarti menyinggung hak-hak keyakinan orang lain, seraya menyambut baik permintaan maaf Pemerintah Denmark ke seluruh umat Islam dunia. Pendapat Yudhoyono ini sejalan dengan salah satu harian di Perancis, Le Figaro, yang editorialnya mengusulkan perlunya autocensor di kalangan pers karena “apa yang hukum Negara bolehkan kadang-kadang kepercayaan (conscience) melarangnya.”
Kasus-kasus Salman Rushdi di Inggris (19869), Ishioma Daniel di Nigeria (2002), dan Theo van Gogh di Belanda (2004), meski dalam konteks berbeda, menyisakan berbagai persoalan kompleks hubungan antar komunitas di tingkat kawasan dan global. Diantara persoalan yang belum serius didialogkan adalah ketegangan antara kebebasan ekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama atau ideologi tertentu, hubungan antara hukum dari sebuah Negara dan kebebasan pers, hubungan antara berbagai etika dunia, makna kebebasan itu sendiri dalam hukum internasional, antara hukum-hukum adat atau budaya kawasan dan peradaban, dan sebagainya.
Dialog antar pemeluk agama dan dialog antara kawasan seperti disinggung Yudhoyono harus didukung. Ini penting karena masih berkembangnya ignorance (ketidaktahuan) dalam bentuk penghubungan intrinsik antara Islam dan terorisme, Islamophobia, xenophobia, dan semacamnya. Di pihak lain, di kalangan umat Islam, masih ada tindakan-tindakan emosional anarkis mengusir atau membunuh orang asing yang tidak ada sangkut pautnya, ekstrimisme radikal dan kebencian terhadap bangsa dan budaya asing (xenophobia). Reaksi-reaksi emosional dan ekstrim menunjukkan kurangnya pemahaman akan sejarah dan peradaban bangsa lain.
Salah satu ketidaktahuan di sebagian media massa Barat adalah memposisikan tokoh Nabi seperti tokoh-tokoh politik lainnya. Seorang Muslim mungkin tidak cukup religius dalam ibadah, tapi jika Nabi mereka disinggung rasa keagamaan mereka sangat tinggi. Di Indonesia misalnya, tradisi pembacaan barzanji sangat populer yang memuat pujian-pujian terhadap Nabi (bahkan di Cikoang Sulawesi Selatan acara maulud (kelahiran) Nabi Muhammad menjadi paling meriah sepanjang tahun, meskipun mereka kurang memperhatikan ibadah). Di kalangan umat Islam, kecintaan kepada Nabi ini ada yang berlebihan, ada yang moderat, ada yang tidak terlalu peduli, dan bentuknya juga bermacam-macam sesuai pemahaman keagamaan dan tradisi masing-masing. Hal-hal semacam ini kurang atau tidak dipahami sebagian masyarakat Barat yang menganggap biasa membuat kartun (“mencemoohkan” atau menyanjung) tokoh-tokoh politik mereka.
Di pihak lain, umat Islam juga perlu memahami konteks tradisi Barat yang sebetulnya sangat majemuk termasuk dalam memaknai kebebasan berekspresi. Misalnya, di museum-museum di Eropa, banyak sekali patung-patung dan lukisan-lukisan telanjang, karena mengandung nilai seni yang tinggi dan dihargai masyarakat. Masyarakat Barat juga menjunjung nilai-nilai etika kemanusiaan yang tidak selalu berseberangan dengan etika di kawasan lain.
Karena itulah, dialog antar budaya sungguh penting, untuk memahami sejarah dan tradisi masing-masing dan untuk kemudian saling menghargainya. Hubungan antara seni, kebebasan, tradisi, dan keyakinan agama inilah salah satu persoalan yang harus didialogkan.
Pluralisme agama dan multikulturalisme tidak hanya dalam suatu Negara, tapi antar kawasan dan tingkat global, dalam arti menghormati perbedaan persepsi dan keyakinan agama dan tradisi. Sebuah kepekaan pluralis-multikulturalis, harus dikembangkan tidak hanya di kalangan umat Islam, tapi juga umat-umat agama dan umat yang tidak beragama di seluruh dunia.
Umat beragama dan masyarakat dunia yang beragama dan tidak beragama harus mengembangkan sebuah kewarganegaraan bumi (citoyennete planetaire) dan kemanusiaan bersama (l’humanité commun) dalam kerangka etika global yang dapat dipahami dan disepakati sebagian besar umat manusia. Etika kemanusiaan global ini penting untuk melawan segala bentuk ekstrimisme yang mengesahkan penghinaan dan penghancuran hak-hak hidup komunitas, agama, atau bangsa lain.
Dialog antar agama, antar kawasan juga bertujuan untuk menyeimbangkan hegemony of meaning dan supremasi Barat (Sophie Bessis, 2001) tentang apa yang dimaksud kebebasan, hak-hak asasi manusia, seni, etika, dan sebagainya. Upaya ini memperkeras suara kalangan umat beragama dan non-agama di kawasan Asia, Pacifik, dan kawasan-kawasan lain tentang pemahaman agama mereka yang moderat yang menjunjung hak-hak orang, agama, dan bangsa lain. Tidak bisa dipungkiri, akibat faktor-faktor sejarah dan moral yang begitu kompleks, ketidakseimbangan global dewasa ini masih berlanjut antara agama, budaya, bangsa, dan peradaban. Betapapun terjal menanjak, jalan dialog harus ditempuh kearah berkurangnya ketidakseimbangan itu.
Dialog antar agama, antar kawasan akan menumbuhkan saling percaya (mutual trust), keinginan untuk mendengar (eager to listen), komitmen untuk menerima perbedaan (disagreement) dan kemauan untuk mencari titik temu (common platforms) yang melintasi batas-batas tradisi mereka masing-masing.
Topik dialog antara lain tentang makna dan batas-batas toleransi. Salah satu definisi toleransi adalah sikap membolehkan atau membiarkan ketidaksepakatan, tidak menolak pendapat, sikap, atau gaya hidup yang berbeda dengan pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri. Sikap toleran tidak hanya terhadap hal yang secara moral spiritual berbeda tetapi juga terhadap ideologi dan perilaku politik yang bertentangan. Toleransi menuntut kita menerima orang lain dan mempersilahkan perbuatan mereka meski ketika kita sangat tidak setuju (Scanlon, 1998). Penerapan definisi toleransi seperti ini bisa dianggap problematik oleh sebagian masyarakat dunia, dan karena itu perlu didialogkan.
Lebih jauh, toleransi adalah sikap kewargaan yang aktif, bukan sikap yang datang begitu saja secara spontan (tolerance est une position civique active, et non pas une attitude spontanee, Fernando Savater). Toleransi global tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja tanpa usaha strategis dan sinergis dari berbagai Negara dan organisasi-organisasi agama di seluruh kawasan dunia untuk mengembangkan dan mendidikkannya. Tidak ada perdamaian antar bangsa tanpa dialog antar agama (Hans Kung).
Topik lain yang perlu didialogkan adalah definisi dan penerapan kebebasan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia. Pertanyaan penting lain adalah tindakan apa yang tidak bisa ditoleransi (l’intolerable) dalam hubungan antar kelompok manusia yang berbeda dan bagaimana mencari definisi bersama tentang terorisme, diskriminasi, pelecehan agama, dan sebagainya.
Perlu diakui ada perbedaan definisi seni, kebudayaan, agama, dan modernitas itu sendiri. Ada agama sebagai konstruk Barat, ada agama sebagaimana dikonstruk penganutnya sendiri. Perlu didialogkan, teologi dan ajaran-ajaran agama yang diyakini berubah dan tidak berubah dalam setiap agama. Dan perlu dipahami sejarah peradaban Eropa, sejarah peradaban dunia, Indonesia, Asia Tenggara, Asia, Afrika, dan sebagainya. Pemahaman akan sejarah bangsa-bangsa dan agama-agama dapat membantu efektifnya sebuah dialog antar agama, antar kawasan.
Sebuah koeksistensi agama dan bangsa secara regional dan global harus menjadi cita-cita semua lapisan warga kawasan dan dunia. Ketidakseimbangan global mungkin kehendak sejarah, namun harus ada usaha-usaha mengurangi hegemoni dan pemaksaan makna dan peradaban, karena koeksistensi global hanya dapat tercipta dalam hubungan yang setara dan saling menghargai.
Monday, February 06, 2006
Hamas Victory and Middle East Peace Process
Hamas victory and Middle East peace process
The Jakarta Post, Opinion and Editorial - February 03, 2006
Muhamad Ali, Manoa, Hawaii
There are now two general political views and attitudes towards the victory of the Palestinian Hamas in the context of the Middle East peace process: Pessimism and optimism. The United States, Israel and some European leaders, which brand Hamas as a terrorist group, consider this triumph as a shocking set-back and they are reluctant to appear optimistic.
Some, including Indonesia, are more positive, however this will depend on the way in which Hamas runs the government, solves internal problems, and deals with "significant others", especially Israel.
By participating in the local, municipal, and now general elections, Hamas has actually of itself changed. Founded in 1987 by Shaikh Ahmad Yassin and Abdel Aziz al-Rantissi, it was partly shaped and even aided by the existence and attitudes of the Israel occupation, and was partly influenced by the Egyptian Muslim Brotherhood movement. Israel helped weaken the Palestinian Authority under Fatah that led to the strengthening of Hamas.
Hamas provided hope for many discontented Palestinians, because of what they saw as a corrupt and ineffective Palestinian Authority. It is formally committed to establishing a Palestinian state within its own borders, and to the destruction of the state of Israel. It has pursued this aim through a series of attacks on Israeli troops, settlers and civilians both in Palestinian territories and in Israel.
However, it also assists ordinary people in settlements and refugee camps. Hamas has gained support because of its charity work and its corruption-free image. Significantly, in the election campaigns Hamas omitted mention of its long-standing commitment to destroy Israel, and raised the possibility of indirect negotiations with the Israelis. Now, by winning the elections, Hamas would in all likelihood have to shift their violent, radical policies to more moderate strategies befitting a responsible government.
Recent results of general elections in Iran, Egypt and now Palestine, show that the Middle East is actually taking the democratic path. Radicalism and terrorism have existed partly because certain elements have seen no viable political alternative to pursue their aspirations.
The participation of Islamic movements in the democratic process will likely reduce the possibility of underground resistance and violence. The elections have been praised as free, fair, transparent and peaceful, which should be regarded by other democratic governments as a good sign.
Hamas leaders and the Palestinian peoples now face even greater challenges.
First, they must be able to convince people in Palestine and Israel that they will no longer endorse violence.
Second, despite the triumph, Hamas must fulfill their promise to collaborate with Fatah and smaller parties; they should no longer reject each other; they must build their country together. They have democratically won the elections and they must show that they are also able to govern democratically. Hamas has the right to form the new government, but the new government must govern democratically and professionally.
Third, and this is probably the greatest challenge, Hamas must change their political attitudes to Israel. Hamas should be willing to deal with Israel; they must talk. Conventional rejectionist attitudes will not help at all in the peace process.
Being in a position of power, Hamas cannot ignore its partners in the Middle East and international communities. Politics means compromise, and if Hamas cannot compromise, then the path to peace will become much more difficult. All have to come to terms and adapt to the new reality.
Of course, the challenges are now being equally faced by Israel, the U.S. and the European Union. Many tend to see the victory as an obstacle to the peace process. But they will have to moderate their views and accept the current political reality.
They cannot say that the election was democratic but disregard and isolate the winner, in the same manner that Hamas cannot win democratic elections but at the same time reject the right to exist and live peacefully with their significant others. Both sides of the equation cannot be ignored. Both must negotiate, no matter how hard and painful.
Peace in Palestine will now greatly depend on the way that Hamas runs the government, its behavior in internal affairs, and its dealings with other important players. If they can ensure all of this, they will win international support and long-term peace in the Middle East will be more likely to prevail.
The writer is a lecturer at the National Islamic University (UIN), Jakarta. He is a PhD candidate in history at the University of Hawaii at Manoa and a fellow at the East-West Center, Honolulu. He can be reached at muhali74@hotmail.com.
The Jakarta Post, Opinion and Editorial - February 03, 2006
Muhamad Ali, Manoa, Hawaii
There are now two general political views and attitudes towards the victory of the Palestinian Hamas in the context of the Middle East peace process: Pessimism and optimism. The United States, Israel and some European leaders, which brand Hamas as a terrorist group, consider this triumph as a shocking set-back and they are reluctant to appear optimistic.
Some, including Indonesia, are more positive, however this will depend on the way in which Hamas runs the government, solves internal problems, and deals with "significant others", especially Israel.
By participating in the local, municipal, and now general elections, Hamas has actually of itself changed. Founded in 1987 by Shaikh Ahmad Yassin and Abdel Aziz al-Rantissi, it was partly shaped and even aided by the existence and attitudes of the Israel occupation, and was partly influenced by the Egyptian Muslim Brotherhood movement. Israel helped weaken the Palestinian Authority under Fatah that led to the strengthening of Hamas.
Hamas provided hope for many discontented Palestinians, because of what they saw as a corrupt and ineffective Palestinian Authority. It is formally committed to establishing a Palestinian state within its own borders, and to the destruction of the state of Israel. It has pursued this aim through a series of attacks on Israeli troops, settlers and civilians both in Palestinian territories and in Israel.
However, it also assists ordinary people in settlements and refugee camps. Hamas has gained support because of its charity work and its corruption-free image. Significantly, in the election campaigns Hamas omitted mention of its long-standing commitment to destroy Israel, and raised the possibility of indirect negotiations with the Israelis. Now, by winning the elections, Hamas would in all likelihood have to shift their violent, radical policies to more moderate strategies befitting a responsible government.
Recent results of general elections in Iran, Egypt and now Palestine, show that the Middle East is actually taking the democratic path. Radicalism and terrorism have existed partly because certain elements have seen no viable political alternative to pursue their aspirations.
The participation of Islamic movements in the democratic process will likely reduce the possibility of underground resistance and violence. The elections have been praised as free, fair, transparent and peaceful, which should be regarded by other democratic governments as a good sign.
Hamas leaders and the Palestinian peoples now face even greater challenges.
First, they must be able to convince people in Palestine and Israel that they will no longer endorse violence.
Second, despite the triumph, Hamas must fulfill their promise to collaborate with Fatah and smaller parties; they should no longer reject each other; they must build their country together. They have democratically won the elections and they must show that they are also able to govern democratically. Hamas has the right to form the new government, but the new government must govern democratically and professionally.
Third, and this is probably the greatest challenge, Hamas must change their political attitudes to Israel. Hamas should be willing to deal with Israel; they must talk. Conventional rejectionist attitudes will not help at all in the peace process.
Being in a position of power, Hamas cannot ignore its partners in the Middle East and international communities. Politics means compromise, and if Hamas cannot compromise, then the path to peace will become much more difficult. All have to come to terms and adapt to the new reality.
Of course, the challenges are now being equally faced by Israel, the U.S. and the European Union. Many tend to see the victory as an obstacle to the peace process. But they will have to moderate their views and accept the current political reality.
They cannot say that the election was democratic but disregard and isolate the winner, in the same manner that Hamas cannot win democratic elections but at the same time reject the right to exist and live peacefully with their significant others. Both sides of the equation cannot be ignored. Both must negotiate, no matter how hard and painful.
Peace in Palestine will now greatly depend on the way that Hamas runs the government, its behavior in internal affairs, and its dealings with other important players. If they can ensure all of this, they will win international support and long-term peace in the Middle East will be more likely to prevail.
The writer is a lecturer at the National Islamic University (UIN), Jakarta. He is a PhD candidate in history at the University of Hawaii at Manoa and a fellow at the East-West Center, Honolulu. He can be reached at muhali74@hotmail.com.
Subscribe to:
Posts (Atom)