Thursday, November 24, 2005

Pesantren dan Terorisme

Senin, 21 November 2005
Pesantren dan Terorisme
Muhamad Ali
Anjuran jihad global melawan Amerika, sekutunya, dan siapa pun yang tidak sefaham, dengan teror bom, seperti terekam dalam video, menjadi bahan penting dan cambuk bagi pemerintah, ulama, dan masyarakat untuk lebih serius memberantas terorisme. Di dalamnya, terorisme sarat bahasa agama.
Dalam usaha ini, hampir semua pihak sepakat, sistem pesantren sama sekali tidak terkait terorisme. Dulu pesantren hanya terbagi menjadi tradisional dan modern karena beda kurikulum dan metode pendidikan. Pasca-11 September 2001, perang Afganistan, Taliban, dan seterusnya, dunia pendidikan Islam menjadi perhatian dunia. Bom Bali membuat banyak orang menengok sistem pendidikan Islam karena mereka yang diduga dan terbukti terlibat pernah menjadi santri.
Meneliti pesantren
Di Indonesia, ada beberapa pesantren dikenal ekstrem. Wapres dan beberapa cendekiawan berbeda pendapat, apakah beberapa pesantren itu harus ditutup. Wapres Jusuf Kalla mengatakan, ”Di antara 17.000 pesantren, ada satu dua pesantren amat ekstrem dan tidak sesuai ajaran yang diakui ulama-ulama kita. Maka, kita harus teliti dan awasi. Negeri Yaman menutup pesantren yang beraliran keras.”
Prof Azyumardi Azra mendukung wewenang pemerintah untuk meneliti beberapa pesantren yang mengajarkan pemahaman Islam yang sempit dan membenarkan untuk memerangi Muslim yang tak sepaham dan non-Muslim.
Departemen Agama pernah meneliti Pesantren Al-Mukmin Ngruki dan Al-Islam Tenggulun Lamongan tahun 2003. Hasilnya, dua pesantren itu memang mengajarkan salafi (faham kembali ke masa awal Islam), namun tidak ada kesimpulan apakah dua pesantren ini melakukan cuci otak dan mengajarkan terorisme. Beberapa pesantren lain, yang diduga keras, juga perlu diteliti sejauh mana kebenarannya.
Ada beberapa masalah harus dikaji sebelum pemerintah menindak pesantren ekstrem, mengingat begitu kompleksnya hubungan antara dunia pesantren (dan pendidikan secara umum) dan tindak kekerasan yang dilakukan sebagian alumninya.
Bagaimana menentukan ada tidaknya hubungan antara sistem pesantren dan kegiatan teroris beberapa alumninya? Faktor- faktor manakah yang membuat seorang santri atau mantan santri melakukan aksi terorisme? Di mana terjadi proses militanisasi, radikalisasi, militerisasi, dan terorisasi itu?
Proses radikalisasi
Sekadar ilustrasi. Kawan saya yang kini dipenjara karena didakwa terlibat bom Cimanggis berkisah. Sepanjang di pesantren tidak pernah mendengar kata jihad memerangi Barat, non-Muslim, terorisme, bom bunuh diri, dan bahasa kekerasan lain, baik dalam bacaan maupun pengajian-pengajian para ustadz. Saat itu yang diajarkan menjadi Muslim moderat, Mukmin demokrat, dan Muhsin diplomat.
Setelah lulus dari pesantren, teman ini melanjutkan di sekolah bahasa Arab, lalu mulai memisahkan diri. Tampaknya proses radikalisasi dialami saat ke Afganistan dan negara-negara konflik lainnya. Sebagai guru mengaji, dia didapati mengajarkan kekerasan. Sumber-sumber bacaan dan pergaulannya memengaruhi dia memilih ajaran kekerasan.
Meski beberapa orang yang muncul di video itu bukan santri, mereka pernah mengaji, seperti diakui keluarganya. Sebelumnya mereka dikenal sebagai anak muda biasa. Proses radikalisasi, militerisasi pikiran dan tindakan, mungkin terjadi dalam beberapa tahun terakhir melalui proses pergaulan, diisi pengajian tentang dakwah dan jihad sebagai perang melawan bangsa kafir.
Proses radikalisasi pemikiran ini terjadi seiring pengalaman kelompok mereka yang melihat dan mempersepsi ketertindasan, berikut justifikasi teks-teks Al Quran dan hadis yang ditarik sepotong-potong, literal, dan di luar konteks. Proses transmisi keilmuan semacam ini terjadi dalam konteks konflik politik global di Timur Tengah, Afganistan, Irak, Filipina selatan, dan sebagainya.
Meski proses radikalisasi terjadi di luar pesantren, tidak berarti pesantren tidak memiliki potensi pengaruh terhadap ideologi alumninya.
Karena itu, penelitian kembali atas kurikulum, pengajaran, dan jaringan alumni pesantren perlu dilakukan. Sejauh ini, kajian tentang pesantren baru memetakan pesantren menjadi tradisionalis, modernis, tetapi belum secara khusus dan mendalam meneliti keterkaitan pesantren-pesantren sebagai sistem dan kekerasan sebagai ideologi dan tindakan.
Perbedaan dalam wacana keagamaan tidak bisa dikontrol negara. Namun, negara wajib bertindak ketika ada potensi dan aksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum melalui proses hukum yang adil.
Negara juga harus mencegah perkembangan ideologi terorisme, seperti menutup lembaga atau organisasi, ketika terbukti ada keterlibatan dan aksi-aksi kekerasan. Tidak sekadar dugaan ada hubungan antara pesantren tertentu dan keterlibatan alumnusnya dalam terorisme.
Kalangan Muslim mainstream Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lainnya harus terus melakukan dialog dan pertemuan dengan pesantren-pesantren, termasuk beberapa pesantren yang dianggap ekstrem. Dialog bisa mendiskusikan konsep-konsep jihad, kafir, dakwah, akhlak toleransi, moderasi, dan semacamnya dalam suasana kebersamaan dan komitmen membangun umat dan bangsa. Memelajari sejarah dunia, sejarah bangsa, dan sejarah agama-agama juga dapat membantu peserta didik memahami perbedaan secara bijak.
Lebih jauh, pembaruan pesantren harus mendapat perhatian masyarakat. Pembaruan pesantren bukan untuk mengubah jati diri seluruh pesantren menjadi ’modern’, menjadi ’madrasah’, atau menjadi sekadar sejalan dengan segala yang dimaui pemerintah. Tradisi, jati diri, dan independensi pesantren harus dijaga, tetapi adaptasi terhadap hal-hal yang lebih baik dan positif, dalam konteks keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan, juga perlu dikembangkan dalam bentuk pengembangan sumber daya manusia guru, kurikulum, metodologi, dan fasilitas-fasilitas pendidikannya.
Setiap pesantren dan lembaga pendidikan secara umum memiliki kewajiban untuk terus mencerdaskan, bukan mengerdilkan pikiran dan menerorisasi perilaku anak-anak bangsa.
Muhamad Ali Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Alumnus MSc University of Edinburgh Jurusan Islam dan Politik; Menempuh PhD Sejarah di University of Hawaii at Manoa, AS

No comments: