Sekitar 20 tahun, sejak lahir sampai saya menyelesaikan S-1, saya hidup dibawah kepimpinan nasional Pak Harto. Karena waktu kecil dan SD Islam, saya hobby melukis, saya pernah melukis wajah pak Harto (mirip seperti gambar disamping). Seperti juga beberapa tokoh-tokoh pahlawan bangsa lainnya. Saya juga pernah mendapat beasiswa Supersemar waktu S-1 melalui kompetisi. Sebelum krisis ekonomi Asia 1997, saya ingat, mayoritas bangsa Indonesia bangga dengan presidennya, termasuk populernya gelar "bapak pembangunan". Memang naiknya Pak Harto jadi presiden RI, peristiwa G/30/S PKI, Papua, Timur Timur, Aceh, dan bisnis konglomerasinya, KKN, buruknya birokrasi, dan sebagainya, meninggalkan sejarah negeri yang kelam. Waktu mahasiswa S-1, saya termasuk sering mengeritik KKN, golkarisasi kampus, dan kebijakan-kebijakan homogenisasi makna Pancasila lewat P4. Saya ingat waktu di gedung DPR/MPR, sebagai mahasiswa, saya mendambakan lengsernya Pak Harto. Setelah lengsernya tahun 1998, semua orang, termasuk saya, tidak ingin kembali ke era otoritarian Orde Baru itu. Orde Baru menjadi lama, usang, dan momok. Tapi sayangnya, status hukum Pak Harto sengaja atau tak berdaya dibuat mengambang oleh para penerusnya. Status 'mengantung' bisa baik dan buruk buat Pak Harto. Secara hukum positif, karena belum diadili, Pak Harto belum dibuktikan bersalah. Adalah waktu yang membuat status hukum Pak Harto tidak menentu. Lebih-lebih lagi, kondisi tuanya dan sakitnya, membuat banyak orang, termasuk mereka yang sangat kritikal sekalipun, tidak tega untuk tidak memaafkannya, meskipun banyak yang tetap menuntutnya dan tidak memaafkannya, baik atas nama orang lain, atau atas nama keluarga dan kenalan yang mati atau sengsara akibat kebijakan dan perbuatannya sebagai orang nomor satu di RI. Saya pun mengalami kesulitan untuk sepenuh hati memaafkan atau memaklumi situasi bangsa ini yang sebagiannya diciptakan Pak Harto dan kroni-kroninya di masa Orde Baru. Alas, the fall of Soeharto was not a happy ending; his too-long period of ruling was not a success story for most Indonesians. It remains to be seen how objective or subjective history will be in recording and reconstructing Soeharto's life. Lengsernya Pak Harto tidak seperti selesainya masa jabatan Bill Clinton, George Bush, James Carter, dan presiden-presiden AS lain.
Terlepas dari kontroversi itu, dan saya yakin kontroversi itu tidak akan berakhir, dan akan tetap dicatat dalam sejarah bangsa ini, saya ingin menekankan bahwa tidak akan ada Negara Republik Indonesia tanpa keberadaan pemimpinnya, dan secara de facto dan de jure pemimpin itu adalah Pak Harto. Adanya pemimpin lebih baik daripada tidakadanya, apalagi di negeri yang sungguh majemuk dan besar ini.
Sebagai sesama Muslim, saya ingin mengatakan, Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali. Saya ingin termasuk bagian bangsa ini yang turut berduka cita atas wafatnya Pak Harto, dan semoga keluarga dan kerabat yang ditinggalkan tabah menghadapinya. Saya tidak ingin menjadi anak negeri yang terus mengalami dilema moral sehingga lupa dan enggan menghargai jasa-jasa baik salah satu pemimpin politiknya.
Selamat jalan, Pak Harto. Dan semoga saya dan kawan-kawan mau belajar dari sejarah hidup Pak Harto yang memang tidak selamanya putih. Keadilan yang sejati mungkin terbukti nanti, bukan di dunia ini. Dan karena Pak Harto sudah tiada di dunia ini, siapapun tidak bisa menggantikan fungsi Tuhan Yang Maha Adil.
Riverside, AS, 27 January 2008/Indonesia, 28 Januari 2008.
No comments:
Post a Comment