Monday, March 10, 2008

Hermenetika, Al-Qur'an, dan LGBT

Kita tahu hermenetika (hermeneutics) tidak statis, dan mengalami perkembangan dan perbedaan internal antara para pemikirnya sendiri. Yang sedang saya kembangkan adalah dialektika dan dialog antara tradisi hermenetika di Barat (Jerman, Perancis, AS) dan tradisi penafsiran dalam Islam yang juga cukup kaya – meskipun tampak stagnan belakangan ini. Ada kecenderungan untuk menekankan salah satunya, karena keterbatasan pendidikan dan bacaan yang wajar, tapi masa depan kesarjanaan terletak pada keterampilan menggabungkan berbagai tradisi intelektual, sebisa mungkin. Paparan Anda terkesan mengutip secara"arbitrary" para pemikir, sekaligus menafikan tradisi-tradisi pemikiran tafsir dan tawil dalam Islam, khususnya ketika melihat teks seperti Al-Quran. Di pihak lain, ada banyak sarjana Islam yang menolak mentah-mentah hermenetika semata-mata karena itu Barat, asing, dan tidak berasal dari tradisi Islam. Saya kira masa depan kajian-kajian ilmu sosial dan kemanusiaan terletak pada bagaimana meramu berbagai tradisi intelektual dimanapun munculnya, terlepas dari seperti apa produk-produk yang akan dihasilkannya nanti.

Betul, hermenetika kontemporer digunakan untuk menganalisis ekspresi linguistik dan non-linguistik, meliputi ayat-ayat qualiyah dan kauniyah. Kita tahu ini. Dan sekarang Hermenetika, khususnya setelah Dilthey, Heidegger dan Gadamer, bukan hanya mengenai komunikasi simbolik, tapi mencakup kehidupan dan eksistensi manusia yang lebih fundamental, sehingga teks tertulis hanyalah bagian (part) dari keseluruhan kemanusiaan (the whole). Ada proses universalisasi hermenetika, dari terbatas membahas teks (teks filsafat dan Bible) kepada teks apa saja. Perkembangan ini harus disadari dulu. Memahami hermenetikanya hermenetika penting, seperti pentingnya memahami hermenetika itu sendiri, dan seperti pentingnya memahami ushul al-tafsir, ushul al-tawil, ushul fiqh, ushul al-din, dan seterusnya.Untuk poin hermenetika teks ini, saya tidak mampu melihat Al-Quran melampaui dirinya sebagai teks yang berbahasa dan berbudaya tertentu. Membaca Islam tidak bisa tanpa membaca Al-Quran sebagai teks linguistik. Membaca "semangat Muhammad" tidak bisa tanpa membaca Al-Qur'an, selain sirah dan hadith (terlepas problematika internal). Yang tersisa untuk kita yang hidup zaman sekarang adalah yah teks-teks itu. Dan kita harus terjun didalamnya, apapun pendekatan yang kita gunakan.

Ini bukan untuk menolak hermenetika dalam arti luas, tapi membatasi hermenetika teks (baik tertulis maupun terkatakan) untuk alasan sederhana. Isu yang saya fokuskan adalah apakah Al-Quran bicara mengenai homosexualitas. Kalo isunya adalah hubungan antara filsafat etika dan homesexualitas maka saya akan menggunakan hermenetika dalam arti luas. Juga bukan hubungan antara Tuhan dan homoseksualitas, karena Tuhan dibahas dalam semua agama, sehingga saya harus memasukkan semua teks-teks agama. Artinya, yang sedang kita "engage" adalah teks yang sudah terlanjur terkatakan dan tertulis dan menjadi kitab historis. Mustahil saya membaca Al-Qur'an tanpa bersikap adil terhadapnya sebagai teks tertulis atau terbaca (bukankah Al-Quran itu sendiri artinya Yang Dibaca). Saya tidak bisa menyamakan Al-Qur'an sebagai fenemona non-lingustik semata-mata, bukan karena Al-Quran diyakini sebagai firman Tuhan, tapi karena Al-Qur'an sebagai korpus yang menggunakan bahasa tertentu, Arab. Artinya, diskusi apapun tentang Al-Quran harus melihatnya sebagai teks dalam bahasa Arab yang memiliki grammar dan ciri-cirinya, baik sebagaidirinya maupun sebagai produk interaksi dengan bahasa-bahasa lain.

Karena itulah saya berpendapat tentang keterbatasan teks. Karena teks ada dalam bahasa tertentu, ada dalam konteks sosio-kultural tertentu. Dia tidak bisa ditarik-tarik semau pengguna di semua zaman, dia harus dipahami dalam konteks, terlepas dari motivasi dan tujuan-tujuan pembacanya. Teks dan konteks selalu berinteraksi. Disini pula lah selalu ada ketegangan antara tradisi dan akal, antara Al-Quran sebagai milik komunal dan pengalaman pribadi manusia sepanjang masa, antara tradisionalis dan liberal, dan seterusnya.

Namun keterbatasan teks dinamis, dan dimensi "terbatas" tidaklah terbatas, karena pembacaan terhadap dimensi, dan lingkup keterbatasan,tergantung individu, atau lebih tepatnya, agency: saya, Anda, atau siapapun. Adalah agency yang membuat apa yang tetap (thabit) dan yang berubah (mutahawwil) bisa tetap dan bisa berubah. Di sini faktor agency menjadi penting, sebagai dirinya sendiri, yang berinteraksi dengan teks dan konteks. Jadi ada teks, konteks, dan agency. Namun,sekali lagi, sebagai pembaca, saya selalu melihat ada ketegangan-ketegangan antara teks tertulis (internal contradiction) dan kontradiksi eksternal (antara teks dan kenyataan), dan untuk lebih luas lagi, antara berbagai agency. Baik ayat-ayat yang dibaca dan yang diamati/dialami memiliki keterbatasannya. Horison itu tak terbatas tapi juga terbatas. Horison saya melihat sebuah persoalan bisa kemana-mana, tak terbatas, tapi tetap terbatas. Pembacaan saya, Anda, dan siapa saja, adalah terbatas, meskipun keterbatasan tidak terbatas. Salah satu sebabnya adalah karena dunia itu berisi element-element/partikular-partikular yang majemuk (Bernard le Bovier de Fontenelle, Conversations on the Plurality of Worlds). Dunia tidak mungkin bisa dilihat oleh manusia sebagai keseluruhan (baik waktu dan cakupan). Penemuan-penemuan ilmiyah tentu saja mengarah pada standardisasi dan homogenisasi dunia. Dalam isu homoseksualitas, kontroversi ilmiyah masih terjadi mengenai"keilmiyahannya". Singkatnya, sebagaimana teks qauliyah terbatas, teks qauniyah juga terbatas.

Terlepas dari keterbatasan-keterbatasan itu, ada manfaatnya mencari rekonsiliasi-rekonsiliasi. Salah satu diskusi dalam hermenetika modern adalah hubungan antara bagian dan keseluruhan.Al-Qur'an sering dilihat sebagai satu paket kitab (sekitar 6236 ayat) sehingga ia bisa dibaca secara keseluruhan, baik berdasarkan sistematika Al-Quran (tahlili) maupun berdasarkan tema tertentu(maudhui), untuk menutupi kelemahan masing-masing. Untuk melihat isu homoseksualitas, pendekatan kronologis/historis dan tematik perlu digunakan. Misalnya, kemungkinan untuk "mensahkan" LGBT sebagai juga`Qurani" bisa dilakukan aktor (yang menyadari agency-nya) untuk menafsirkan konsep "khairat" (apa yang dianggap baik dalam suatumasyarakat). Tafsir ini masih memerlukan ijtihad yang lebih serius. Ijtihad harus terus mendialogkan teks Al-Quran dan ayat dalam artiluas (sign, signifier). Saya kira Islam peduli semua jenis tanda, tapi tidaklah mungkin menggunakan ayat-ayat kauniyah sambil sama sekali mengabaikan pembacaan terhadap ayat-ayat qauliyah.

Aspek lain yang bisa kita dikembangkan adalah penekanan sebagian hermenetika pada karakter alegoris, ketimbang tafsir literal terhadap teks. Nah pada level alegoris inilah kemungkinan tawil terhadap ayat-ayat yang berbicara sifat-sifat manusia dan hubungan jender bisa dilakukan. Aspek lain lagi yang perlu dikembangkan adalah intertekstualitas.Bagaimana teks-teks lain yang sebelum dan sezaman Al-Quran muncul dan bagaimana teks-teks itu bicara soal homoseksualitas dan seterusnya.

Terakhir, soal berpikir sebagai sarjana dan berpihak sebagai aktifis. Membaca dan berpihak memang sering dibedakan, tapi bisa juga dikombinasikan, meskipun tetap selalu ada ketegangan-ketegangan. Adanya kesadaran akan latarbelakang epistimologis seorang aktifis dalam melihat persoalan sudahlah cukup untuk menunjukkan kombinasi ini. Kedua pendekatan "public intellectual" atau "engaged intellectual" dan "pure academic" yang berusaha menjaga jarak (distantiation) dengan obyek kajiannya sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan, tergantung dari mana melihat. Membaca dan menulis adalah salah satu bentuk aksi empati, karena ia bisa dalam banyak bentuk. Disatu sisi, memposisikan diri sebagai akademisi bisa berarti mengambil jarak (distancing) sehingga kemungkinan empati dan kebersetujuan bisa lebih mungkin. Untuk topik LGBT, secara pribadi saya belum melihat pembacaan komprehensif dan meyakinkan secara akademik terhadap teks-teks agama. Tentu saja saya berpihak kepada mereka dalam segala upaya sadar mereka untuk berpikir, berbicara, dan aktif. Aktifisme kalangan LGBT sebagai "minoritas seksual" saya pahami dan saya dukung.Tapi saya masih ingin mengikuti dan membaca pembacaan LGBT terhadap Al-Quran dan kitab-kitab agama-agama lain secara lebih baik (sound interpretation). Untuk isu-isu lain, seperti kesetaraan jender, pluralisme agama, demokrasi dan civil society, saya punya lebih banyak sumber. Untuk LGBT saya masih perlu waktu dan perlu banyak orang seperti Farid yang saya kenal sejak lama dan kawan-kawan lain untuk terus berijtihad. Di Amerika dan di Inggris ada beberapa kelompok LGBT yang saya baca, tapi mereka masih belum meyakinkan dalam hal rekonsiliasi teks dan konteks, rekonsiliasi antara ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah, dan dialog antara berbagai tradisi intelektual.

2 comments:

Anonymous said...

Ali, saya belajar anyak dari tulisan anda ini. --yati in honolulu

ethic said...

Selalu ada ruang kritik bagi bahasa, karena sebagian lafaznya merujuk pada ragam makna, sebagian lagi ragam lafaz merujuk pada satu makna dan yang lainnya satu lafaz hanya merujuk pada satu makna yang dituju... mispersepsi akan sering didapati disini. Namun apakah kita menjadikan pemilik (sumber) teks sebagai porus untuk dipahami maksudnya? atau kita punya freme pemahaman sendiri yang sertamerta menjadikan teks hanya justifikasi atau mengikuti keinginan penafsir? ini masalah yang besar bagi kita. Kemudian apakah rangkaian persepsi yang selalu mungkin berbeda satu sama lain akan menjadi justifikasi tersendiri atas keragaman pemahaman? ataukah pemilik teks mengamankannya melalui orang-orang kepercayaannya di setiap zaman?