Monday, June 09, 2008

Pluralisme Agama di Amerika Serikat

Pluralisme Agama di Amerika Serikat

Muhamad Ali

Umumnya masyarakat internasional, termasuk masyarakat Indonesia, mengetahui lebih banyak tentang wajah Amerika Serikat (AS) ketika berhadapan dengan masyarakat di Negara-negara lain. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri AS lebih sering mewarnai dunia ketimbang kebijakan dalam negeri dan kehidupan masyarakat AS sendiri dari waktu ke waktu. Maka tidak heran apabila dunia Muslim misalnya melihat AS sebagai negeri Kristen, seolah-olah seluruh warganya beragama Kristen, atau memberinya label negeri Yahudi karena umat Yahudi lebih menonjol dalam ekonomi, sains, dan media massa di AS. Ada lagi persepsi bahwa AS adalah Negara sekuler dan karenanya semua masyarakatnya tidak peduli dengan agama. Ini semua sebagian dari citra-citra yang perlu diteliti lebih jauh kebenarannya dengan melihat sejarah kemajemukan agama-agama di AS secara lebih dekat dalam konteks ruang dan waktu. Agama dan keberagamaan di manapun mengalami perubahan-perubahan disamping kontinuitas, perbedaan-perbedaan disamping kemiripan-kemiripan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk berpendapat bahwa kehidupan agama di AS adalah yang terbaik ataupun mengajak agar masyarakat Indonesia meniru pluralisme agama AS. Tulisan ini sekedar memberikan gambaran singkat kehidupan beragama di AS agar pembaca dapat mengetahui perbedaan dan persamaan antara AS dan Negara-negara lain, termasuk Indonesia, karena kita sama-sama tengah berjuang menciptakan kerukunan agama, seperti halnya pemerintah dan masyarakat AS terus berjuang. Masyarakat kontemporer – dimanapun – kini semakin majemuk. Masyarakat dan Negara di mana pun kini memiliki masalah yang serupa: bagaimana menghadapi kemajemukan itu.

Jacob Neusner dalam bukunya World Religions in America (1994) menggambarkan bahwa kebanyakan orang Amerika adalah relijius. Mereka percaya adanya Tuhan, sembahyang, dan menjalankan agama. Mereka membentuk cita-cita bangsa Amerika dengan merujuk pada ajaran-ajaran agama: “satu bangsa, dibawah Tuhan” (“One nation, under God”) yang tercantum dalam Sumpah Setia kenegaraan (Pledge of Allegiance). Menurut sebuah survey di tahun 1990-an, sekitar 92 persen orang Amerika percaya Tuhan. Mayoritas melakukan doa setiap hari, mengunjungi gereja setiap minggu. Hampir semua orang Yahudi menjalankan Hari raya Passover dan memperingati the Days of Awe (Tahun Baru, Hari Penebusan Dosa).

Kebanyakan orang AS tidak hanya religius tapi juga memeluk sebagian besar agama-agama dunia. Menurut data Jacob Neusner, sekitar 60 persen dari seluruh warga AS (yang berjumlah total 280 juta) memeluk Kristen Protestan (dari percentage ini, 19 persennya Baptis, 8 persen Methodis, 5 persen Lutheran, dan 28 persen lagi terbagi dalam banyak gereja lainnya). Sekitar 26 persen penganut Katolik Roma. Sekitar 2,5 persen adalah bangsa Yahudi, dan kebanyakan mereka menjalankan agama Yahudi.[1] Penganut Hindu sekitar 1 persen, Buddha sekitar 1 persen, dan Islam kurang dari 1 persen. Lainnya ada penganut Shinto, Zoroaster, dan sekitar 7,5 persen tidak memeluk agama sama sekali (sering disebut ateisme).[2]

Sejarah Amerika awal dimulai karena agama juga. Orang-orang Eropa menduduki benua Amerika dengan dasar agama. Bagian timur Amerika diduduki orang-orang Inggris Raya karena faktor agama, dan bagian baratdaya Amerika oleh orang Spanyol juga karena agama. Para penganut Kristen – Puritan, Anglikan, Quakers, Presbysterian, dan sebagainya – yang berasal dari negeri-negeri Eropa menjelajah dan menetap di benua Amerika. Sejarah awal ini memberi konteks bagi dominasi agama Kristen di AS sehingga banyak orang berpendapat bahwa AS adalah negeri Kristen. Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah Perang Dunia I dan II, penganut Yahudi dan agama-agama lain mendatangi AS. Lebih jauh, kewarganegaraan AS tidak ditentukan atas dasar agama. Untuk menjadi warga AS seseorang tidak perlu beragama Kristen; ia bisa memeluk agama mana saja dan bahkan tidak beragama sama sekali. Menurut Konstitusi dan Bill of Rights AS, Negara tidak berdasarkan atas satu agama tertentu, ras, etnisitas, dan jender tertentu.[3]

Agama dan kepercayaan masyakarat asli Amerika dikenal sebagai ‘tradisi-tradisi tribal’, yang telah muncul lebih awal dari agama-agama dunia dan masih berperan dalam keberagamaan masyarakat asli Amerika (Native Americans). Umumnya agama-agama asli ini tidak memiliki kitab tapi turun temurun. Sebagian mereka, seperti suku Pomo di California mempertahankan tradisi perdukunan (shamanism), perantara antara manusia dan dunia roh, yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit, mengetahui masa depan, dan sebagainya.Agama-agama asli Amerika dikenal menurut budaya-budaya spesifik, meskipun kini sebagiannya melampaui batas-batas budaya mereka. Agama Peyote (peyote religion) adalah salah satu agama di AS yang melampaui batas-batas tribal, yang kemudian berintegrasi dengan agama Kristen dan menjadi Gereja Amerika Asli (Native American Church). Kini identitas Indian di AS masih cukup kuat baik sebagai kesukuan, agama, maupun identitas politik ketika berhadapan dengan dominasi Kristen dan dominasi orang kulit putih (orang Eropa yang menduduki benua Amerika dan kemudian menguasainya). Atas kerja misionaris Kristen, sebagian orang Indian menganut Kristen dan membentuk gereja-gereja Amerika asli, seperti orang-orang Pueblo dan Yaqui di Arizona. Secara umum, komunitas-komunitas Indian yang memeluk agama Kristen masih melestarikan kepercayaan-kepercayaan lama mereka dan mengambil bagian-bagian ajaran Kristen yang relevan bagi kebutuhan mereka.[4] Meskipun demikian, hubungan kepercayaan-kepercayaan local dan agama Kristen ditandai dengan konflik dan kompromi.

Sebagian masyarakat asli Amerika memeluk gerakan-gerakan agama baru (New Religious Movements) di mana mereka berusaha menemukan makna hidup di tengah modernitas. Mereka mengembangkan gerakan-gerakan keagamaan, politik, dan legal untuk menanggapi situasi-situasi politik. Sebagian gerakan ini berbentuk kultus, yang dipimpin semacam prophet. Mereka memiliki bahasa, cara berpakaian, ritual, nafkah kehidupan yang unik, antara lain untuk membedakan diri mereka dari agama Kristen dan dominasi orang Eropa/putih (white people). Sebagian lain lagi mengembangkan spiritualitas (spirituality). Dalam hal ini, orang Amerika asli menyebut religion untuk agama seperti Kristen. Untuk membedakan kepercayaan mereka dari mayoritas Kristen, mereka menyebutnya spirituality, dan sebagiannya memiliki buku semacam kitab suci seperti Black Elk Speaks yang dikarang John Neihardt dan The Sacred Pipe. Spiritualitas Amerika Asli kemudian menjadi populer di kalangan orang Amerika non-asli.[5]

Katolik adalah pertama kali di Amerika sebagai agama kaum pendatang. Umat Katolik termasuk yang pertama datang di Amerika seperti tercermin dalam nama-nama St. Augustine, St. Petersburg, San Antonio, San Diego, San Fransisco, dan Los Angeles. Kebanyakan keluarga Katolik sekarang ini adalah keturunan dari para pendatang itu. Berdasarkan etnisitas, penganut Katolik di Amerika berasal dari Irlandia, Jerman, Italia, Polandia, dan Spanyol. Orang Katolik tinggal terutama di kota-kota besar seperti Boston, New York, Newark, Philadelphia, Baltimore, Pittsburg, Chicago, dan Minneapolis. Umat Katolik Amerika secara umum menjadi pendatang yang sukses yang setia dengan gereja mereka meskipun sering pula terjadi perbedaan pendapat dengan para pemimpin mereka. Mereka telah beradaptasi dengan perubahan-perubahan di Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan Kedua tahun 1962.[6]

Berbeda dengan kaum Katolik Roma di atas, sebagian orang Amerika juga menganut agama Kristen Ortodoks. Orthodoxy berasal dari kata Yunani, doxa, yang berarti pendapat, ajaran, kemenangan. Orthodoxy berarti doktrin, ajaran atau metode yang benar. Dogma kaum ortodoks seperti Trinitas dan Inkarnasi. Penganut Kristen Ortodoks terutama tinggal di New Jersey, Pennsylvania, Florida, dan Ohio. Pada tahun 1990an, ada sekitar 4 juta penganut Kristen Ortodoks di Amerika, yang memiliki hubungan (dengan tingkat yang berbeda-beda) dengan gereja-gereja induk mereka di Yunani, Timur Tengah, dan Eropa Timur dan Tengah.[7]

Penganut Protestan (berasal dari kata Protest - protes terhadap kejumudan gereja Katolik Roma ketika) pertama kali datang ke Amerika pada abad ke-17 dari Eropa. Mereka menyebut diri mereka Reformasi Protestant –meskipun banyak lebih suka menyebut diri mereka berdasarkan denominasi seperti Baptist, Lutheran, atau Methodist, karena istilah Protestant bisa dimaknai defensif dan negatif. Kaum Gereja Baptist dan kaum Gereja Lutheran mempengaruhi Amerika. Di Selatan mereka mempraktekan perbudakan, tapi di Utara mereka menentang perbudakan. Kedua Gereja ini pecah sebelum Civil War, and kaum Baptists tidak pernah datang secara bersama-sama. President Jimmy Carter adalah penganut Baptist Utara yang berjuang demi hak-hak asasi mansuia. Kaum Methodist juga sangat berpengaruh di Amerika, namun perkembangan masing-masing gereja atau denominasi mengalami pasang surut.[8] Pada masa Revolusi Amerika, bentuk baru dari Protestanisme muncul, yang dikenal dengan Pencerahan (Enlightenment, tapi bedakan dengan Enlightenment di Perancis). Dari kalangan pencerahan ini Thomas Jefferson, James Madison, George Washington, dan John Adams, yang percaya Tuhan, tapi juga akal, alam, dan hukum. Melalui The First Amendment, mereka memajukan kebebasan agama dan dinding pemisah antara Gereja dan Negara.[9] Secara umum, sekulerisme ini, yang tidak ditemukan presedennya dalam agama Katolik dan Protestanisme Resmi, merupakan reaksi terhadap dominasi Gereja Katolik Roma dalam pemerintahan dan masyarakat.

Doktrin Protestanisme menekankan iman kepada Tuhan dan amal, tanpa berdasarkan pada otoritas pemimpin seperti Pope (Paus) bagi Katolik. Karena itu, individualisme cukup dominant. Masing-masing mendirikan denominasi dan menafsirkan Bible dengan berbagai metode. Protestanisme Amerika adalah cabang dari Kristen Barat, bukan dari Ortodoksi Timur dan menolak otoritas Pope Roma. Kaum Protestan berkeyakinan bahwa semua umat beragama memiliki akses yang sejajar terhadap Tuhan. Pendeta dan orang awam memiliki hak dan kewajiban yang sejajar.[10] Oleh karena itu, dalam bidang,ekonomi kaum Protestan dikenal cenderung individualis dalam pengertian tidak terlalu bergantung pada otoritas. Martin Luther (1483-1546) berkeyakinan tidak ada paus, tidak ada otoritas, yang dapat bertanggung jawab atas iman seseorang. Menurut Max Weber, yang mengkaji Protestant Calvinism di Switzerland, Jerman, dan Inggris, berpendapat bahwa etika Protestan berpengaruh pada jiwa kapitalisme.[11] Namun pendapat Weber tidak menjelaskan kompleksitas perkembangan kapitalisme di Amerika dan banyak Negara lain. Terlepas dari tesis ini, mayoritas Protestan di Amerika mendukung individualisme, kerja, kompetisi, dan kapitalisme. Dalam Protestan ditemukan bermacam kecenderungan: ada yang liberal atau modernis, seperti Episcopalian, Presbyterian, dan the United Church of Christ, dan ada yang konservatif, evanjelikal, atau fundamentalis, seperti Baptist Utara, Churches of Christ, Adventist, Pantecostal, lain-lain yang menyebut diri mereka evangelical atau fundamentalist. Kalangan fundamentalis ini berpegang pada prinsip-prinsip (fundamentals) doktrin dan praktis seperti dalam Bible. Kalangan fundamentalis zaman sekarang merupakan respons terhadap modernitas. Sebagian lagi menyebut diri mereka Protestan moderat.[12] Dalam bidang politik, kalangan Protestan juga berbeda-beda. Sebagian bekerja di luar pola-pola denominasi mereka. Mereka mempunyai semacam jurubicara seperti Billy Graham dan televangelists –juru misionaris melalui TV. Kini lebih dari 5 saluran TV di AS merupakan TV-TV keagamaan sebagain besarnya Kristen. Sebagian mereka tidak tertarik berpolitik praktis, tapi sebagian berpolitik. Kaum Protestan awal berpendapat, dalam bahasa Latin, bahwa ecclesia semper reformanda, gereja selalu perlu direformasi. Mereka tidak pernah merasa puas bahwa kerajaan Tuhan telah tercapai. Karena itu, perkembangan Protentanisme di Amerika mengalami perubahan-perubahan mengikuti perkembangan zaman.

Orang Amerika yang berasal dari Afrika (African American, atau Black Americans) juga mengembangkan gereja-gereja mereka sendiri. Sejak zaman perbudakan hingga masa pasca-Perang Dunia II, orang Amerika Afrika mengalami sejarah konflik dan kompromi antara dominasi dan subordinasi. Sebagian menggabungkan budaya Afrika, Amerika, dan Kristen sehingga menjadi Kristen Amerika Afrika. Mereka umumnya tidak jatuh pada fatalisme, memperjuangkan persamaan hak politik dan kultural. Martin Luther King, Jr. menjadi salah satu pemimpin mereka yang sangat berpengaruh, yang pernah berpidato dengan judul ‘I Have a Dream”, Saya Punya Mimpi.[13] Gereja-gereja kalangan Amerika Afrika ini antara lain The African Methodist Episcopal Church, the African Episcopal Church, the African Methodist Episcopal Zion Church, dan the Christian Methodist Episcopal Church. Sebagian lainnya mendirikan gereja-gereja yang mandiri dari denominasi tersebut, seperti National Baptist Convention, U.S.A. Inc., dan The Church of God in Christ. Ada pula gereja-gereja Black American di dalam denominasi Orang Putih. Seorang wanita bernama Ida Robinson menjadi pemimpin the Mount Sinai Holy Church of America, Inc., di Philadelphia. Sebagian kaum Black Americans ini aktif dalam gerakan anti-racisme di Amerika.[14] Mulai pertengahan abad ke-20, agama kaum Black American tidak hanya Kristen. Yahudi dan Islam juga telah dipeluk kalangan Black American.

Penganut Yahudi berjumlah sekitar 2,5 persen atau sekitar 6 juta, yang berarti lebih setengah seluruh umat Yahudi di dunia. Umumnya umat Yahudi dilihat sebagai entitas yang monolitik, padahal mereka sangat beragam. Di Amerika saja, sekitar 28 persen perkawinan orang Yahudi, merupakan perkawinan campur dengan non-Yahudi (disebut ‘gentiles’). Yahudi di Amerika tidak membentuk satu organisasi yang mengatasi semua orang Yahudi. Ada Yahudi Hitam- seperti Sammi Davis Jr., dan Whoopi Goldberg. Ada Yahudi kaya, Yahudi miskin, Yahudi kota, Yahudi desa. Namun sebagian besar orang Yahudi menganut agama Yahudi. Dari sekitar 6 juta orang Yahudi, 4.5 jutanya mengidentifikasikan diri mereka sebagai penganut agama Yahudi. Artinya, sekitar 1,5 juta orang Yahudi tidak menjalankan agama Yahudi. Umat Yahudi terdiri dari mereka yang reformist, ortodoks, rekonstruktifis, dan konservatif. Penganut agama Yahudi percaya pada Satu Tuhan, Taurat (Perjanjian Lama, menurut orang Kristen), dan Israel (keturunan Ibrahim). Orang Yahudi hidup di rumah, sinagog dan pilgrimage (kunjungan ke tempat-tempat suci). Di Amerika, secarfa garis besar ada penganut Yahudi yang segragasionis dan penganut Yahudi yang integrasionis. Yang pertama adalah mereka yang agak terpisah, menyendiri dari kebanyakan orang lain. Mereka menggunakan bahasa Yiddish – sebuah bahasa campuran bahasa Jerman, Polandia, dan Rusia. Mereka memakai pakaian khusus, makan makanan tertentu, belajar kitab-kitab suci Yahudi saja, bertransaksi hanya dengan orang Yahudi. Kalangan segragasionis ini tinggal di AS dan Kanada, di New York City dan Montreal dan sejak berdirinya Negara Israel tinggal di sana.Mereka ortodoks. Di antara kalangan ortodoks ini adalah Hasidisme dan Yeshiva. Hasidisme percaya dengan Orang Suci (tsaddiq dalam bahasa Hebrew).Yeshiva rajin belajar Taurat dan khususnya Talmud. Mereka tinggal di Boston, New York City, Baltimore, Chicago, dan lain-lain, sementara sebagiannya pindah dan tinggal di Israel, Palestina. Kalangan integrasionis cenderung berbaur dengan penganut agama lain. Mereka terdiri dari reformis (35 persen), konservatif (43 persen), dan rekonstruktifis (2 persen). Mereka berintegrasi dengan masyarakat sekitar. Mayoritas Yahudi di Amerika adalah integrasionis. [15]

Selain penganut agama-agama di atas, ada penganut minoritas seperti Hindu, Buddhisme, Islam, dan lain-lain. Penganut agama Hindu berasal dari India. Menurut sensus 1990, ada 815.447 orang India di AS, kebanyakan tinggal di New York dan California, selain di Chicago, Los Angeles dan lainnya. Kebanyakan mereka kaum terdidik dan memiliki posisi di bisnis maupun akademia. Kini ada sekitar 150 candi Hindu di AS, termasuk yang cukup besar bernama Lord Venkateshwara Balaji Temple di Malibu Canyon. Penganut Hindu di AS tidaklah monolitik; mereka beragam. Menurut Gerald James Larson, ada beberapa tipe Hindu di AS: sekuler, non-sektarian, bakti, reformist-nasionalist, dan Neo-Hindu. Hindu sekuler adalah penganut Hindu yang tidak menekankan identitas Hindu, tapi juga tidak memilih agama lain. Hindu non-sektarian mempraktekan Hindu secara eklektik. Hindu bakti mengidentifikasikan diri mereka dengan tradisi aliran tertentu seperti Vaishnawa, Shaiva, atau Shakta. Hindu reformis adalah para pengikut Ramakrishna, yang menekankan pembaruan doktrin. Sementara Neo-Hindu adalah para pengikut gerakan Transcendental Meditation dan gerakan Hare Krishna. [16]

Penganut agama Buddha juga cukup signifikan di AS. Buddhisme lahir di India dan berkembang ke seluruh dunia, termasuk AS. Di antara kelompok agama Buddha di AS adalah the Buddhist Churches of America (BCA) yang membawa tradisi Jepang dalam berbakti pada Amidha Buddha. Penganut Buddha di AS menjalankan kebaktian mereka di candi-candi. Sebagian mereka membentuk organisasi mahasiswa Buddha – seperti penganut agama lain. Mereka melakukan Sunday School dan mendirikan the Young Buddhist Association. Praktek Zen (duduk meditasi) juga berkembang. Bahkan penganut agama lain –termasuk Kristen dan yang tidak beragama sama sekali, mereka mempraktekkan beberapa tradisi Buddhisme untuk kesehatan dan alasan-alasan lain. Salah satu organisasi yang berkembang di AS adalah the Nicheren Soshu of America (NSA) yang mengajarkan meditasi berdasarkan teks Lotus Sutra.[17] Secara umum, penganut agama Buddha terdiri dari aliran-aliran: Pure Land, Nichiren, Zen, dan Tibet; masing-masing memiliki doktrin dan metode yang berbeda, meskipun sama-sama mempercayai kebesaran Buddha.

Umat Islam adalah penganut agama yang paling cepat pertumbuhannya di AS, mengalahkan pertumbuhan agama-agama lain, dan terbesar kedua setelah Kristen. Pertumbuhan ini disebabkan pesatnya immigrasi orang-orang Islam dari Timur Tengah, Asia, dan Afrika. Selain itu, angka kelahiran orang-orang Islam relatif tinggi di AS. Pada tahun 1990, jumlah umat Islam sekitar 4,6 juta, dan di tahun 1992 mencapai antara 5-8 juta. Secara etnik, penganut Muslim beretnik African American (Amerika kulit hitam) sebanyak 42 persen, Asia Selatan sebanyak 24,4 persen, Arab 12,4 persen, Afrika 6,2 persen, Iran 3.6 persen, Asia Tenggara 2 persen, dan European American (Amerika kulit putih) sekitar 1,6 persen, dan lain-lain 6,5 persen. Mereka ada yang Sunny dan ada yang Syiah, Ahmadiyah, dan Druze. Organisasi Islam yang terkenal adalah the Nation of Islam yang dipimpin oleh Elijah Muhammad, dan kini oleh Louis Farrakhan, yang diikuti terutama African American. Islam sangat efektif dalam mempersatukan bangsa kulit hitam Afrika dalam melawan rasisme dan masalah-masalah social-politik di AS. Perkembangan mutakhir menunjukkan semakin aktifnya penganut Muslim dalam kehidupan agama, budaya, social dan politik di AS. Beberapa organisasi Islam antara lain the Federations of Islamic Associations (FIA), the Muslim Students’ Association (MSA), the Islamic Society of North America (ISNA). Ada pula the Council on American-Islamic Relations (CAIR) yang berpusat di Washington D.C.

Setelah mengikuti pertumbungan dan perkembangan agama-agama di AS, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa secara garis besar kehidupan beragama di AS cukup rukun, oleh karena secara formal Negara Federal dan Negara-negara bagian di AS tidak memaksakan satu agama. Para penganut agama mayoritas jelas sangat berpengaruh dalam kehidupan publik baik budaya, ekonomi, maupun politik. Namun demikian, penganut agama-agama minoritas dalam menjalankan sebagian besar ajaran-ajaran kebaktian mereka, meskipun tentu saja setelah mengalami proses adaptasi yang dinamis dan terus menerus. Masing-masing penganut agama Katolik, Protestan, Yahudi, Islam, dan lainnya hidup dalam konteks ruang dan waktu. Warga Negara Amerika secara umum, baik memeluk ataupun tidak memeluk agama memiliki, memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan Konstitusi, meskipun dalam kenyataannya masih terjadi berbagai masalah seperti prasangka, mispersepsi, permusuhan, dan diskriminasi.

Muhamad Ali

[1] Ini berarti bahwa bangsa Yahudi tidak semua atau tidak selalu menjalankan agama Yahudi. Jadi ada perbedaan antara Yahudi sebagai bangsa (nation) dan Yahudi sebagai agama (religion). Lebih jauh perlu dibedakan antara Yahudi dan Negara Israel. Tidak setiap orang Yahud mendukung pembentukan Negara Israel, meskipun pembentukannya juga menggunakan rujukan agama, selain politik dan ekonomi. Untuk sejarah konflik Israel dan Palestina lihat misalnya Charles D.Smith, Palestine and the Arab Israeli Conflict (Boston & New York: Bedford/St.Martin’s, 2001), Norman G.Finkelstein, Image and Reality of the Israel-Palestine Conflict (London & New York: Verso, 2003)
[2] Jacob Neusner (ed.), World Religions in America: An Introduction (Louisville, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1994), hal.2
[3] Konstitusi AS menjamin kebebasan agama dan ras. Ini tidak berarti tidak ada masalah sama sekali, seperti kita akan lihat nanti. Sejauh mana AS menjami kebebasan adalah topik yang kontroversial dan memerlukan ruang tersendiri.
[4] Jacob Neusner (ed.), op.cit., hal.11-25
[5] ibid., hal..26-30.
[6] Andrew M.Greeley, “The Catholics in the World and in America”, di Jacob Neusner (ed.), World Religions in America, op.cit. hal. 93-95.
[7] Jaroslav Pelikan, “Orthodox Christianity in the World and in America”, di Jacob Neusner (ed.), World Religions in America, op.cit, hal.131-147.
[8] Martin E.Marty, “Protestant Christianity in the World and in America”, di Jacob Neusner (ed.), World Religions in America, op.cit., hal.37-44.
[9] Martin, ibid.,47.
[10] Ibid., hal.50-53.
[11] Pendapat Weber ini hingga saat ini masih mengundang perdebatan hubungan agama dan kapitalisme. Lihat bukunya, ‘Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus’ dalam Gesammelte Aufsatze zur Religionssoziologies, Tubingen, 3 volume, 1922-23, pertama kali diterbitkan di Archic fur Sozialwissenschaft und Sozialpolitik, 1904-5. Diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Talcott Parsons dengan judul The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism, London, 1930. Untuk diskusi tesis Weber dan kaitannya dengan Islam lihat antara lain, Bryan S.Turner, Weber and Islam: A Critical Study (London & Boston: Routledge & Kegan Paul, 1974).
[12] Martin Marty, op.cit., hal.60-4.
[13] Peter J. Paris, “African American Religion”, di Jacob Neusner (ed.), World Religions in America, op.cit.,hal. 69-77.
[14] ibid., hal.81.
[15] Jacob Neusner, “Judaism in the World and in America”, in Jacob Neusner, op.cit., hal.151-174.
[16] Gerald James Larson, “Hinduism in India and in America”, ibid., pp.177-200.
[17] Malcolm David Eckel, “Buddhism in the World and in America”, hal.203-214.

No comments: