SEKULERISME KAUM KORUPTOR
Muhamad Ali
Saya ingin menyebut kaum koruptor sebagai sekuler sejati, baik yang getol memperjuangkan hukum-hukum formal agama, maupun yang menentang hukum-hukum agama. Sekulerisme dalam arti memisahkan moralitas agama dan kehidupan publik sebetulnya telah diidap banyak orang di negeri kita. Korupsi dalam pengertian menyalahgunakan uang Negara dan rakyat untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompok, yang jelas-jelas tidak legal, tidak konstitusional, tidak etis, dan tidak agamis, merupakan praktek sekulerisme yang paling nyata dan paling berbahaya di negeri ini.
Korupsi telah berlangsung begitu sistemik, sampai-sampai pegawai, pejabat atau aktifitis LSM yang tidak mau ikut dalam korupsi jama’ah ini, terkucilkan atau mengucilkan diri. Korupsi menyusup ke hampir semua ruang publik yang agamis maupun yang sekuler, sehingga tidak ada lagi batas jelas mana yang agamis dan mana yang tidak agamis. Korupsi terjadi pada proyek-proyek pemerintah maupun swasta, pada lembaga-lembaga ekonomi, partai-partai politik, maupun lembaga-lembaga agama. Korupsi menggurita sehingga suara-suara yang anti-korupsi tidak cukup dan tidak mau didengar.
Suara-suara anti korupsi memang semakin terdengar, dari semua lapisan masyarakat, termasuk elit pemerintah dan tokoh-tokoh agama. Tetapi mengapa sekulerisme kaum koruptor ini belum menyusut secara signifikan. Mengapa urusan-urusan publik masih berbelit, masih memerlukan uang sogok? Mengapa urusan-urusan proyek pembangunan dan pendidikan masih menuntut uang-uang liar yang dianggap “tau sama tau”? “Kalau kami tidak memberi uang lebih, maka dana proyek itu tidak akan turun atau sungguh dipersulit, “ begitu keluh seorang pejabat akademisi kepada saya.
Pemberantasan korupsi harus mengambil cara-cara alternatif yang lebih efektif, disamping cara-cara yang sedang diusahakan berbagai pihak. Salah satu cara alternatif adalah memberikan label sosial kepada kaum koruptor, dengan sebutan “kaum koruptor itu anti-moral agama.”, mengganjar mereka dengan ganjaran yang memberi efek jera bagi diri mereka dan bagi masyarakat lain.
Sekulerisme kaum koruptor adalah anti-moralitas, anti-etika, anti-kesalehan sosial. Kaum koruptor adalah kaum orang-orang buruk, orang-orang yang tidak berhak menyandang gelar keagamaan, karena mereka sesungguhnya telah memisahkan ajaran etika agama dari kehidupan sosial dan publik mereka. Kaum koruptor telah berbuat zalim, menganiaya rakyat banyak, menganiaya kemaslahatan bersama.
Sekulerisme kaum koruptor menyebabkan bangsa kita tidak dipercaya oleh investor dunia untuk menanamkan modal mereka dalam bidang pembangunan pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Sekulerisme kaum koruptor membuat bangsa kita miskin harta dan miskin jiwa.
Sekulerisme kaum korupter berwujud materialisme. Tidak akan ada kepuasan didalam menumpuk kekayaan, didalam memiliki mobil dan rumah mewah. Tidak akan ada kepuasan didalam materialisme. Materialisme hanya akan membawa materialisme. Tidak lebih.
Sekulerisme kaum koruptor membuat bangsa kita tidak mencintai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kecintaan kepada harta dan kesenangan telah mengalihkan perhatian manusia dari serius berpikir dan mengembangkan potensi akal pikiran. Kesenangan memiliki “to have” telah menjumudkan pikiran manusia untuk berpikir bebas, mandiri, dan menjadi manusia rasional, “to be a rational human”. Dengan kata lain, korupsi menghalangi kebebasan berpikir dan pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat dibutuhkan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Cara alternatif lain melawan korupsi adalah menegaskan bahwa pendidikan dan misi agama yang tidak menyentuh kesalehan sosial dan publik bukanla pendidikan yang sesungguhnya. Jika dunia pendidikan tidak berusaha untuk hidup bersih dan bebas dari korupsi, maka jangan diharap bahwa korupsi bisa berkurang di negeri ini. Ini karena pendidikan adalah mekanisme paling asasi dan paling strategis dalam menciptakan mentalitas bersih. Lebih-lebih lagi, pendidikan agama, pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan (civic education), jika tidak berperan dalam menciptakan mekanisme anti-korupsi, maka jenis-jenis pendidikan ini dapat dikatakan gagal.
Sekulerisme kaum koruptor membuktikan bahwa teks-teks ajaran agama bisa saja mandul (dysfunctional). Ada sesuatu yang salah dalam keberagamaan di negeri kita, terlepas dari semakin semaraknya dan populernya pengkhutbah dan penulis keagamaan di media massa. Memang semakin banyak pengkhutbah keagamaan sudah sering menyebut bahwa sembahyang harusnya mencegah perbuatan keji dan mungkar, termasuk korupsi, tetapi mengapa masih saja kurang efektif dalam mengurangi praktek korupsi di negeri ini? Masyarakat tahu bahwa korupsi itu perbuatan keji dan haram, tapi mengapa masih saja melakukannya? Apakah ini hanya memperkuat teori tentang ketidakberdayaan dan keterbatasan manusia berhadapan dengan kenikmatan harta, tempat tinggal, dan bentuk-bentuk kenikmatan material lainnya.
Satu teori tentang fetishisme menyatakan bahwa kepuasaan batin manusia seringkali harus diwujudkan dalam bentuk benda material yang kasat mata. Artinya, seseorang akan merasa nikmat secara batin ketika dia bisa melihatnya, merabanya, menciumnya, merasakannya. Teori ini menjelaskan mengapa kecintaan kepada materi sulit sekali terkontrol pada level yang wajar.
Apa yang dianggap wajar oleh seseorang terus berubah sesuai dengan tingkat jabatan, posisi, popularitas, dan status sosial seseorang. Misalnya, pejabat yang lebih tinggi tingkatannya akan berharap imbalan yang lebih tinggi dari apa yang dia lakukan. Pejabat yang biasa berbelanja barang-barang mewah berusaha membenarkan gaya hidup mereka sebagai wajar, sesuatu yang dahulunya sebelum menjadi pejabat dianggap mewah dan berlebihan. Yang disebut mewah tergantung pada siapa dan tingkat sosialnya. Disinilah problema bangsa kita. Kesederhanaan orang kaya, pejabat, orang populer sama sekali tidak dijumpai. Ketika seseorang merasa mampu untuk membeli apa saja, dan menunjukkannya kepada publik maka orang itu merasa itu wajar-wajar saja.
Padahal, akibat dari sikap merasa wajar terhadap sesuatu yang sebetulnya berlebihan, sungguh besar. Kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, rasa tidak adil, dan seterusnya. Yang kaya tidak ingin sederhana, sementara yang miskin ingin kaya. Materialisme telah menghancurkan norma-norma kesederhanaan dan keadilan sosial, dan disinilah proses sekulerisasi yang sejati tengah berlangsung.
Sekulerisme kaum koruptor juga menunjukkan ketidakberdayaan sistem politik dan pemerintahan negeri kita di semua lapisannya dari pusat sampai daerah. Baik sistem maupun kultur telah mempengaruhi tindakan korupsi dan terpisahnya moralitas agama dan kesalehan sosial.
Sekulerisme kaum korupsi harus diberantas dengan berbagai cara. Manusia-manusia yang sudah terlanjur beragama harus konsisten dengan norma-norma moral yang ada didalamnya. Jangan sampai kaum sekuler yang sudah jujur memisahkan simbol agama dan publik ternyata lebih agamis dan moralis daripada kaum beragama yang setiap hari bangga dengan identitas keagamaannya.
Muhamad Ali, pengajar di UIN Jakarta, kandidat Doktor Universitas Hawaii, AS.
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment