Labelisasi dan kategorisasi itu memang ada kelemahan dan kelebihannya. Allah saja juga suka buat label kok di Al-Qur'an (mu'min, kafir, munafiq, fasiq, ahlu kitab, musyrik, dan sebagainya; Nabi Muhammad juga begitu dalam Sunnah-nya ("Muslim adalah orang yang siapapun disekitarnya selamat dari lisan dan tangannya).
Perkembangan bahasa membuat labelisasi baru muncul: istilah moderat, liberal, progresif, dan sebagainya. Bagi mereka yang punya ideologi bahwa Islam adalah satu dan harusnya satu cenderung tidak suka label karena "akan memecah belah umat". Kenyataannya, orang Islam memang macam-macam, sejarahnya, ajaran-ajarannya, prakteknya, penampilannya, dan sebagainya. Mereka yang suka Islam warna warni, menganggap labelisasi memang tidak bisa terhindarkan. Karena kemajemukan adalah positif. Sebagaian lagi melakukan pembatasan label hanya pada label-label Al-Quran di atas, gak mau label-label yang berbahasa asing (Inggris misalnya). Lucunya label-label Al-Quran itu digunakan mereka juga kepada kelompok lain: misalnya, yang merasa "beriman" suka beri label ke orang lain "kafir", "musyrik"; Jadi tugas Allah tergantikan oleh manusia-manusia. Begitu juga label "bid'ah" oleh penganut Wahhabi, dan seterusnya.
Label jenis lain adalah label organisasi, seperti orang NU, orang Muhammadiyah, orang PKS, orang Persis, dan sebagainya. Ini biasanya dianggap lebih "obyektif" ketimbang label "fundamentalis" , "liberal", "moderat", dan sebagainya karena semata-mata istilah Inggris. Tapi toh semuanya yah label juga.
Kategorisasi adalah hal yang natural dalam sejarah sosial umat manusia. Yang penting, adalah sejauh mana label itu dipergunakan secara bertanggung jawab, bukan sebagai tuduhan ideologis tanpa pengkajian. Kebetulan saya sudah nulis soal kategorisasi ini dalam sebuah jurnal internasional di Paris (Moussons, 2007). Judulnya "Categorizing Muslims in Postcolonial Indonesia). Intinya, kategorisasi memang kerjaan manusia, tapi oke-oke saja asal jelas maksudnya. Seperti kata Claude Levi-Strauss: Words are instruments that people are free to adapt to any use, provided they make clear their intentions."
Labelisasi dan kategorisasi juga perlu untuk menyederhanakan realitas sosial yang kompleks. Dengan label, maka ada proses penyederhanaan sehingga komunikasi menjadi efektif antara berbagai kelompok manusia yang berbeda.
Label dan kategori juga tidak fixed, tidak tetap, bisa berubah dan kontekstual. Seperti contoh Santri, Abangan dan Priyayi oleh Geertz itu, kan juga dipakai oleh orang kita juga sejak abad ke-19 di Jawa, tapi harus dipahami bahwa santri, abangan itu berubah, dan tidak selalu jelas batas-batasnya. Ada santri yang suka selamatan dan ziarah kubur minta doa kiyai; ada abangan yang taat solat puasa dan haji.
Thursday, May 01, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment