Thursday, May 01, 2008

Tentang "Ekonomi Islam"

Saya mendukung usaha intelektual untuk membangun "ekonomi Syariah", termasuk obligasi syariah, perbankan syariah, dan sebagainya, namun banyak hal yang masih perlu diteliti secara objektif dan lebih meyakinkan.

1. Ayat-ayat yang digunakan sebagai referensi sering kali ditafsirkan di luar konteks keagamaan dan moral yang menjadi maksud dari ayat-ayat tersebut; Ayat-ayat yang memuat istilah qardh, dharaba, dan sebagainya, yang sudah mengalami transformasi pemaknaan dari murni sekuler di zaman sebelum dan pada masa Qur'an kepada pemaknaan spiritual dan religius ditarik kembali kepada makna asalnya yang sekuler itu. Maksud saya, istilah-istilah perdagangan dan ekonomi yang memang menjadi ciri penting kehidupan sosial ekonomi periode Mekah tercerminkan dalam Al-Quran dan mengalami proses religiusasi term. Misalnya, dari sekedar qardh menjadi qardh hasan: hutang piutang "Kebaikan", yang sebelumnya sekedar hutang piutang saja.

Sementara itu, hadis-hadis Nabi yang lebih spesifik digunakan sebagai pendukung praktek ekonomi tertentu yang konteksnya bisa jadi sangat berbeda dengan zaman modern.

Menariknya, para ulama fiqh klasik dan abad pertengahan memang luar biasa dalam melakukan istinbath hukum dari ayat dan hadis, dan mungkin cocok untuk periode mereka namun kaum cendekiawan kita di zaman modern ini masih secara literal memahami produk fiqih itu dengan mengambilnya seolah-olah masih relevan untuk konteks zaman modern.

2. Label syariah untuk ekonomi, perbankan, obligasi, dan sebagainya (sehingga jadi "ekonomi syariah", obligasi syariah, dan seterusnya) agak problematik karena ternyata basis keilmuannya tetap saja ilmu dan teori ekonomi modern. Syariah masuk karena dimensi normatifnya dan ditambah ayat dan hadis, sementara basis keilmuan dan metodologi yah tetap "Barat". Kelemahan pelabelan syariah terhadap sistem yang sudah terlanjur "barat" mengandaikan seolah-olah penafsiran dan praktek perbankan yang berbeda sebagai "non-Syariah" dan karena itu syubhat atau bahkan haram. Saya belum bisa memahami upaya membedakan mana yang Islami dan mana yang konvensional. Dalam prakteknya, gagasan pembedaan "tanpa bunga" dan "profit sharing" ternyata tidak terlalu berbeda, yaitu mencari keuntungan melalui pemberian dan penerimaan manfaat sesuai dengan resiko dan usaha yang diambil masing-masing pihak.

3. Masalah riba sebagai "interest" atau bunga bank juga adalah reduksi makna riba yang lebih luas, saya kira. Yaitu ekploitasi. Riba dalam ayat-ayat tidak secara langsung dan jelas berarti "bunga". Tapi kebanyakan "pakar ekonomi Islam" selalu menyamakan riba dan bunga. Bukankah ada interpretasi lain untuk riba?

Ini dulu. intinya, problem saya terhadap gagasan dan praktek ekonomi syariah adalah klaim "Islam" terhadap sesuatu yang bersifat duniawi sehingga seolah-olah yang lain dan berbeda menjadi tidak Islami.

5 comments:

JennieSBev.com said...

Ali, saya mau tanya ya referensi2 siapa yang baik selain Tariq R. yang terkenal itu. Terima kasih dan sampai jumpa minggu depan.

Muhamad Ali said...

referensi tentang topik apa? Islam dan Barat? atau apa? Saya akan kasih infonya. Banyak kok.

JennieSBev.com said...

Saya perlu yang balanced dari sisi Islam yang toleran. Kebanyakan buku2 terbitan Barat berat sebelah. Thanks.

Unknown said...

saya coba posting juga tentang masalah ini di milis. tapi kok milisnya drop. Intinya ekonomi islam jadi semakin trend di indonesia diringi dengan berbagai regulasi yang mengiringinya. Pertanyaan besar yang dari kelahiran bank syari'ah pertama di indonesia tahun 1990-an adalah apakah system perbankan "yang diklaim sebagai sistem syari'ah" ini bisa menjadi sistem ekonomi yang lebih berkeadilan sosial. dari kasus mayoritas saham dari bank sayari'ah pertama di indonesia (saya tdk sebut namanya) justru di investasikan untuk usaha-usaha konglomerasi seakan membenarkan kekhawatiran ini. secara perhitungan bisnis dengan sistem bagi hasil hanya mau investasi buat dunia usaha yang betul-betul menguntungkan. bagaimana dengan greement bank di bangladesh yang betul-betul memberdayakan dhu'afa kook tidak dilabeli bank syari'ah yah.

Muhamad Ali said...

Betul, bank "syariah" itu kan konstruksi para penggagasnya, dan baru muncul setelah tahun 1960-an, sebagai sebuah "politik identitas" untuk sekedar membedakan dari yang lain, dari sisi nama, tapi substansi dan mekanismenya tidak mesti lebih baik atau lebih berkeadilan daripada bank-bank yang dianggap "non-syariah". Pemahaman riba sebagai interest atau bunga bank saja kan tafsiran yang parsial dan tidak kontekstual.