Wednesday, July 23, 2008

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ruang Publik Indonesia

Seringkali MUI tidak bisa membedakan antara "In the name of God" dan "On Behalf of God". Yang kedua ini yang terus terjadi, dan bisa merusak tatanan the Indonesian public sphere.

MUI tentu saja tidak sama dengan kelompok "islam radikal" dalam hal sejarahnya, para pemain didalamnay, dinamikanya, kekuatan dan pengaruhnya, namun belakangan, khususnya sejak 1998, bermacam-macam kekuatan penekan tampaknya berkolaborasi untuk menjadikan public sphere Indonesia tidak "telanjang" (naked). Kompetisi mencari "influence" dalam "naked public sphere" Indonesia dilakukan semua kelompok masyarakat, radikal, liberal, moderat, tradisionalis, modernis, neo-modernis, dst. The naked public sphere itu rentan (vulnerable) karena semua suara sah.

Di Amerika, perdebatan antar kelompok religious new right, conservatives, liberals, dan sebagainya masih terus. Perdebatan tentang wall of separation dan integration of religion and politics masih berjalan. Kelompok religious new right, biasanya juga disebut evangelical Protestant, percaya bahwa moralitas agama (private) bisa dan harus menjadi moralitas public (public virtue) juga. Lihat saja debat-debat yang belum selesai soal abortion, gay marriage, agama dan presidency, agama dan kebijakan luar negeri, dan sebagainya di Amerika. Banyak kalangan yang berusaha mencari a happy convergence antara religion and democracy, antara private morality dan public virtue, antara agama dan keAmerikaan. Saya sedang baca buku "The Naked Public Sphere" oleh Richard John Neuhaus, seorang Lutheran, tapi Catholic, ecumenical, economically pragmatic, culturally conservative, and politically devoted to the vital center of liberal democracy. Menarik sekali, antara lain, bagaimana dia melihat Amerika sebagai 'theonomous' society, yaitu masyarakat dimana agama dan aspirasi2 kultural mengenai Tuhan diberikan expresi publik. Bukan theocracy dimana agama mengklaim kebenaran absolut. Dalam theonomous society, agama bisa dan berhak menjadi "public" (mirip dengan gagasan "public religions"nya Casanova), namun religious morality bisa menjadi "public" dalam mekanisme demokratis; morality yang kemudian menjadi publik adalah morality of compromise.

Menurut saya, MUI dan berbagai kelompok Islam garis keras perlu mengikuti "workshop" dan pengajian "democratic citizenship" , bukan untuk memprivatisasikan agama (karena tidak historis dan tidak realitik dalam konteks Indonesia, sebagaimana juga dalam konteks Amerika), tapi untuk memposisikan agama dalam tempatnya yang lebih pas, demokratis, dan menyejukan berbagai kelompok masyarakat yang majemuk.

No comments: