Pertanyaan apakah di Indonesia selama ini agama telah terlalu kecil atau terlalu besar bermain di ruang publik, memang telah dan terus ditanggapi secara berbeda oleh berbagai kelompok pemikiran. Bagi kalangan liberal, terlalu besar. Bagi kalangan fundamentalis dan konservatif secara umum, terlalu kecil. Pertanyaan ini masih menjadi perhatian banyak kalangan di AS. Neuhaus, seorang Lutheran liberal, dalam bukunya the Naked Public Sphere, dan jurnal yang dia pimpin First Things, terus mengkampanyekan kearah lebih besarnya suara-suara agama di ruang publik AS. Namun, agama dalam pemahaman Neuhaus adalah suara-suara Protestan (dan untuk batas tertentu Yahudi) yang menurutnya selama ini belum cukup kuat berhadapan dengan suara-suara liberal sekuler yang menganggap agama tidak relevan dalam politik. Menurutnya, demokrasi mensyaratkan makin kerasnya suara-suara agama itu dalam pengambilan keputusan publik dan berbagai isu-isu etik, karena ruang publik yang telanjang bisa berbahaya: totalitarianisme dan anarki radikal yang memarginalkan agama. Karena itu, dia tidak setuju dengan Diana Eck yang mempromosikan pluralisme suara semua agama, termasuk agama-agama minoritas, karena semakin pluralistiknya publik Amerika. Saya kira garis besar dinamika seperti ini kita bisa baca pula di Indonesia.
Saya kira teori sekulerisasi tidak bisa tidak kecuali pertama-tama dibaca dari sejarah Eropa dan kemudian AS. Konseptualisasi dan analisis proses dan dinamika sekulerisasi bisa dianggap relevan di dunia non-Barat sejauh variabel-variabel pokoknya dianalisis secara komparatif dan lintas. Teori-teori desekulerisasi dan sacred canopy Berger, civil religion Bellah, public religions Casanova, religious markets, political theology, dan seterusnya, bisa didiskusikan bersandingan dengan konsep-konsep yang belakangan muncul seperti integrasi agama dan negara, "Pancasila", bhineka tunggal ika, Islam politik dan politik Islam, pribumisasi agama, "membumikan Al-Quran", dst. Dinamika sejarah negara-negara bangsa memang berbeda. Namun, tumpang tindih teoritis dan konseptual bisa terjadi, meskipun penerjemahan bahasa tidak selalu sempurna. Poin saya adalah proses teoritisasi lintar budaya dan lintas sejarah mungkin dan baik dilakukan selama variabel-variablenya memiliki kesamaan makna denotatifnya. Variable seperti privat-publik, misalnya, perlu mengalami proses translasi di Indonesia. Dalam sejarah sebelum 1945, kerajaan-kerajaan hanya mengenal: adat, syara, dan civil law Belanda, tidak dikategorisasikan sebagai privat-publik, religius-sekuler, dan sebagainya. Pekerjaan yang tidak mudah memang, namun sangat memperkaya pengetahuan komparatif,yang idealnya dapat diuji secara "universal" atau lintas budaya. Dan saya kira, harus ada riset mengenai bagaimana sejarah tradisi sekuler-agama, privat-publik ini sejak dulu, kini, dan proyeksinya untuk masa depan.
Pertanyaan yang saya kira menarik adalah membaca sejauh mana epistimologi dan konsep-konsep Arab, Melayu, Hindu, Buddha (Jawa), selain Belanda dan Barat, mempengaruhi pemikiran dan aksi politik Muslim Indonesia mengenai agama dan demokrasi, agama dan ruang publik. Bagaimana proses transmisinya, lokalisasinya, nasionalisasi, dan seterusnya.
No comments:
Post a Comment