Monday, September 20, 2010

Amerika Serikat dan Kebebasan Beragama

AS dan Kebebasan Beragama
Rabu, 15 September 2010 | 04:42 WIB

Muhamad Ali

Kontroversi pembangunan pusat Islam di dekat Ground Zero—tempat serangan teroris 11 September 2001— membuat Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang beragama Protestan harus angkat bicara. Wali Kota New York Michael Bloomberg, yang beragama Yahudi, sebelumnya mendukung.

Meski awalnya low profile karena itu ia anggap urusan Kota New York, ikut campurnya Obama menunjukkan isu Islam dan Barat, Islam dan keamerikaan, serta agama dan kebebasan agama belum selesai di Amerika Serikat.

Mereka yang menolak, termasuk Sarah Palin, kandidat wakil presiden dari Partai Republik, dan kaum konservatif agama dan politik, beranggapan bahwa Islam bertanggung jawab terhadap tragedi 11 September. Banyak keluarga korban beranggapan, pendirian pusat Islam mengkhianati para korban. Penolakan juga mencerminkan anggapan Islam sebagai musuh Amerika dan ancaman keamanan.

Sebaliknya, bagi Obama, Bloomberg, dan banyak orang Amerika lain, Islam dan tragedi 11 September harus dibedakan. Islam telah menjadi bagian dari Amerika sejak berabad-abad meski baru berkembang pertengahan awal abad ke-20. Tokoh dan masyarakat Muslim Amerika yang mayoritas usia muda, kelas menengah, dan liberal secara politik terus menyumbang pembangunan dan kemajuan Amerika.

Mayoritas Muslim di Amerika sangat prihatin dengan terorisme dan munculnya ekstremisme keagamaan. Karena itu, makin banyak Muslim yang menyuarakan visi progresif dan inklusif Islam di Amerika.

Obama menekankan, kebebasan beragama tidak boleh tergoyahkan. Islam mengajarkan keadilan, perdamaian, dan toleransi. Sementara Al Qaeda adalah distorsi Islam.

Rencana pembakaran Al Quran dan ungkapan-ungkapan anti-Islam di media massa dan internet menunjukkan sebagian masyarakat memang tidak tahu tentang Al Quran dan Islam.

Fobia Islam

Dukungan Obama terhadap kebebasan agama muncul dalam konteks masih berkembangnya fobia Islam di Amerika di mana sebagian masyarakat masih mencurigai komunitas Muslim setelah 11 September. Oleh karena itu, ketegasan Obama secara terbuka di banyak kesempatan menjaga harapan akan ditepatinya janji- janji dia selama kampanye dan di awal pemerintahannya.

Dukungan Obama terhadap pendirian pusat Islam juga bukti komitmennya pada rasa keadilan Muslim Amerika yang kini mencapai tujuh juta jiwa. Karena sensus Amerika tidak punya afiliasi agama, asal kebangsaan dan bahasa menjadi tanda demografi Muslim. Sebagian besar Muslim di Amerika tetap ingin menjadi Muslim— Sunni, Syiah, Nation of Islam, atau tanpa afiliasi—sekaligus menjadi warga negara yang patuh, terdidik, dan maju.

Menurut survei, lebih dari separuh Muslim Amerika tidak mempertentangkan Islam, demokrasi, dan pluralisme. Banyak organisasi advokasi bekerja sama dengan Gedung Putih dan penegak hukum dalam menciptakan strategi di bidang kebijakan publik, hak-hak sipil, dan isu-isu publik lainnya. Banyak warga Muslim terlibat dalam pemerintahan lokal dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat Islam maupun antaragama. Semakin Muslim berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik, semakin moderat dan selaras pemikiran dan sikap mereka terhadap mainstream publik AS.

Paradigma hegemonik

Terhadap perkembangan Islam di AS, setidaknya ada dua kelompok: kelompok pertama adalah mereka yang ingin mempertahankan akar Protestan bangsa dan melihat imigrasi (termasuk Muslim) yang tanpa batas akan menggerogoti akar itu, seperti terbaca dalam buku Samuel Huntington Who are We? The Challenges to America’s National Identity (2004). Sejalan dengan paradigma hegemonik ini, banyak kalangan melihat Islam adalah ancaman bagi nilai-nilai demokratis dan liberal.

Kelompok kedua, seperti ditegaskan Diana Eck dan John L Esposito, adalah mereka yang melihat Amerika semakin pluralistis. Banyak kalangan melihat makin pentingnya peran Muslim sebagai bagian dari warga Amerika yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan penganut agama lain dan bahkan non-agama. Islam dan Islam di Amerika menjadi bagian dari kurikulum di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Amerika.

Pluralisme agama di AS di masa kontemporer–mulai dari toleransi, inklusi, hingga partisipasi, seiring dengan prinsip kebebasan beragama. Meski tidak tanpa perdebatan, kebebasan beragama menjadi komitmen setiap pemimpin Amerika. Konstitusi Amerika secara konsisten menyatakan pemisahan urusan agama dan urusan negara. Agama dan tidak beragama menjadi hak asasi pribadi dan komunitas sejauh tidak melanggar kebebasan orang lain dan ketertiban umum. Kebebasan ber-Islam harus adil dijaga, seperti kebebasan ber-Kristen, ber-Yahudi, ber-Hindu, dan bahkan hidup tanpa afiliasi agama.

Orang bisa berkata, Indonesia beda dari Amerika. Tapi interaksi dan saling belajar antarbangsa di dunia telah terjadi sejak berabad-abad lamanya. Amerika belajar dari sejarah imigrasi Spanyol, Inggris, Irlandia Utara, Afrika, Asia, dan sebagainya. Meski sekarang mayoritas, agama Protestan bukanlah agama asli penduduk AS. Di Indonesia, Islam, dan agama-agama dunia lain yang kini berkembang bukan agama-agama asli, tetapi semua muncul karena mereka terbuka terhadap gagasan- gagasan dari luar, seiring dan beradaptasi dengan tradisi-tradisi lokal, mereka pun berkembang.

Adil dan manusiawi

Kebijakan adanya agama-agama resmi memang tidak ada di AS. Sebaliknya, Indonesia mengakui adanya agama-agama resmi dan negara menjamin kebinekaan dan kebebasan beragama setiap warga. Meski pelaksanaan kebebasan beragama tidak kaku, ia harus selaras dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan.

Kebijakan pemimpin harus adil terhadap penganut agama dan kepercayaan seperti diatur hukum dan undang-undang. Prinsipnya, menjadi minoritas Muslim di AS seharusnya tidak ada beda dengan menjadi minoritas Muslim yang berbeda aliran dan non-Muslim di Indonesia.

Di AS, kebebasan beragama tidak tanpa batas. Salah kaprah jika beranggapan kebebasan beragama di negeri itu tanpa batas. Hukum dan perundang-undangan jelas membatasi penerapan kebebasan beragama. Maka, pendirian masjid di New York juga harus mengikuti peraturan yang berlaku.

Komitmen kebebasan beragama dan persamaan hak tidak boleh tergoyahkan meski harus bertentangan dengan sebagian orang yang tidak tahu dan tidak peduli. Hak beragama masih harus diperjuangkan secara lebih serius di negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia ini.

Muhamad Ali Dosen Studi Islam dan Agama-agama di University of California, Riverside; E-mail: muali@ucr.edu