MENGAPA MEMBUMIKAN PAHAM KEMAJEMUKAN
DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA?
Muhamad Ali
Problem kemajemukan dan kebebasan beragama hingga kini belum selesai di manapun di bagian dunia ini, termasuk Indonesia. Kini banyak pemikir mencari jalan-jalan terbaik, apalagi ketika sebagian elemen Negara dan tokoh masyarakat terus menunjukkan pernyataan, sikap, dan kebijakan yang defensif dan sering tidak toleran (intolerant) terhadap perbedaan dan kemajemukan masyarakat Islam dan bangsa Indonesia mengenai berbagai isu keagamaan.[1] Di tengah berbagai keberatan dan kecaman terhadap kebebasan beragama dan paham kemajemukan belakangan ini, tulisan ini mencoba membahas alasan-alasan mengapa kita justru perlu membumikan paham kemajemukan dan kebebasan beragama di Indonesia. Bagaimana paham kemajemukan dan prinsip kebebasan beragama dapat dipahami dan diterapkan dalam konteks keIslaman, keIndonesiaan dan kemoderenan?[2]
Universalitas Problem Kemajemukan dan Kebebasan Beragama
Alasan pertama mengapa kita perlu mengembangkan paham kemajemukan dan menegakkan kebebasan beragama secara serius adalah bahwa masalah ini merupakan problem universal, bukan semata-mata problem negara-negara di belahan dunia lain seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Secara historis, meskipun telah muncul sejak awal sejarah manusia, problem kebebasan beragama menjadi semakin rumit setelah masyarakat-masyarakat dimana Negara dan agama di satu sisi dan agama-agama di sisi lain terus mengalami ketegangan dalam konteks Negara-bangsa.[3] Istilah kebebasan beragama (freedom of religion/faith/belief, liberté de conscience, al-hurriyah al-diniyyah) menjadi problem penting bahkan setelah Revolusi Perancis 1789, yang berlatar belakang perang antaragama, inkuisisi dan diskriminasi, yang mencita-citakan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (faternité), antara lain merujuk pandangan filosofis bahwa “manusia lahir dan tetap bebas dan setara hak-haknya (“Men are born and remain free and equal in rights”).[4] Problem kebebasan beragama menjadi lebih krusial lagi sejak awal abad ke-20 ketika minoritas-minoritas keagamaan baru muncul di Negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia, dan semua Negara di dunia akibat migrasi, melonjaknya angka kelahiran, konversi, revolusi komunikasi dan globalisasi. Kini kebebasan beragama dan intoleransi bukanlah problem unik satu Negara, bahkan di negera-negara demokratis sekuler seperti Amerika Serikat dan Perancis.[5] Di Negara-negara yang kemudian memiliki jumlah penduduk Muslim yang sangat signifikan, bahkan mayoritas, problem kebebasan agama juga menjadi contentious issue hingga sekarang.[6]
Kemajemukan dan kebebasan beragama bukanlah milik unik bangsa-bangsa Barat, seperti sering dituduhkan banyak kalangan yang anti-pluralisme dan anti-kebebasan beragama. Dalam sejarah peradaban dunia, kemajemukan dan kebebasan adalah milik semua peradaban besar dunia (Mesir, Yunani, Romawi, Eropa-Amerika, India, Cina, Arab, dan sebagainya), meskipun selalu ada peradaban yang dominan dalam kurun dan tempat tertentu yang menimbulkan konflik. Kebebasan adalah juga milik bangsa-bangsa Asia meskipun istilahnya berbeda (tidak selalu berbahasa Inggris freedom atau liberty). Gagasan kebebasan adalah universal. [7] Bagi Nurcholish Madjid misalnya, Islam harus memberikan sumbangannya bagi peradaban umat Islam sendiri dan peradaban dunia modern. “Al-hikmah dhalatun lil mukmin; fahaisu wajadaha fahuwa ahaqqu biha”.Hikmah adalah barang hilang orang beriman, dimanapun hikmah ditemukan ia harus diambil. Problem kemajemukan dan kebebasan di tempat-tempat lain dapat menjadi pelajaran sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Dan bagi Muslim di Indonesia adalah untuk menggali teks-teks kitab, sejarah, teladan orang-orang baik, dan bahan-bahan modern untuk membangun pemikiran yang cocok dan tepat bagi masyarakat Indonesia modern.
Di kalangan Muslim masalah kebebasan beragama dan kemajemukan bukan soal asing, meskipun paham kemajemukan dan kebebasan beragama baru digali secara lebih sistemaris di pertengahan abad ke-20 ini. Kitab-kitab Arab yang membahas aliran-aliran Islam dan agama-agama dunia sudah muncul sejak lama seperti karya Al-Baghdadi dan karya Al-Syahrastany.[8] Jika dalam sejarah intelektual Barat, tokoh-tokoh pemikir kebebasan seperti John Stuart Mill dari Inggris yang menekan kebebasan individual dan pemerintahan demokratis, dan Jean Jacques Rousseau dari Perancis yang menekankan civil religion, agama warga Negara, mendasarkan pemikiran mereka pada sejarah dan konteks Katolik dan Protestan sebagai agama mayoritas di Barat ketika itu,[9] maka di dunia Islam, pemikir-pemikir kebebasan muncul di paruh akhir abad ke-20 berusaha berpikir tentang arti kemajemukan dan kebebasan bagi kaum Muslim yang hidup di dunia modern. Pemikiran-pemikiran mereka dilanjutkan, dikritisi dan dikembangkan oleh banyak mahasiswa dan kaum muda.[10] Problem kebebasan beragama dan kemajemukan telah menjadi perhatian para cendekiawan dan tokoh bangsa kita, meskipun kenyataannya belum seperti dicita-citakan.
Kesejatian Beragama Mensyaratkan Kebebasan
Alasan selanjutnya mengapa kita harus membumikan paham kemajemukan dan kebebasan beragama adalah karena keberagamaan yang sejati mensyaratkan kebebasan memilih. Keluhuran manusia terletak pada kebebasannya. Dan tidak akan ada tanggung jawab (taklif) dan balasan baik buruk apabila tidak ada kebebasan manusia untuk memilih. Kemerdekaan manusia adalah asas keberagamaan yang sejati. Pemaksaan dan keterpaksaan untuk beragama melahirkan kepalsuan dan ketidaksejatian (superficial atau psedo-religiosity). Pemaksaan yang dilakukan orang atau Negara terhadap orang atau kelompok lain untuk beragama dengan cara tertentu yang tidak sesuai dengan pikiran dan nuraninya sendiri dapat menimbulkan ketidaklanggengan. Begitupula, larangan terhadap orang untuk pindah agama, keluar dari satu agama dan masuk kepada agama lain, justru akan berakibat buruk terhadap orang tersebut dan masyarakat pada umumnya. Ayat Al-Quran yang paling jelas menyatakan hal ini adalah “Tidak ada paksaan dalam agama, telah jelas petunjuk dan kesalahan”(Q.,2:256). Pakar tafsir modern Abdullah Yusuf Ali misalnya, menafsirkan bahwa pemaksaan (compulsion) tidak sesuai dengan agama, karena 1) agama berdasarkan pada keyakinan dan kehendak (faith and will) dan agama tidak akan ada gunanya (meaningless) apabila dijalankan dengan kekuatan paksa (force). 2) Kebenaran dan Kesalahan telah begitu jelas ditunjukkan melalui kasih sayang Tuhan sehingga tidak perlu ada keraguan, dan 3) perlindungan Tuhan berlangsung terus menerus dan Rencana-Nya adalah mengajak manusia untuk menghindari dari Kegelapan kepada Cahaya.[11]
Hanya dengan kebebasan, doktrin tanggung jawab masuk akal. Tanggung jawab individual menuntut bahwa seseorang harus bebas menentukan jalan hidupnya. Dan hak untuk menentukan jalan hidup ini diberikan Tuhan. Seseorang bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Artinya, manusia manapun tidak memiliki hak untuk menentukan jalan hidup seseorang dengan cara paksaan. Misalnya, ayat lain menyatakan “Barangsiapa mencari petunjuk, maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa ingin tersesat, maka ketersesatan itu untuk dirinya sendiri. Seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain dan Kami tidak akan menyiksa sampai Kami mengutus seorang rasul” (Q. 17:15). Jalan hidup untuk beriman dan tidak beriman ditentukan manusia sendiri. Jelas sekali firman Allah berikut: “Kebenaran datang dari Tuhan kalian, siapa yang ingin beriman, berimanlah, dan siapa yang ingin ingkar, ingkarlah.” (Q.18:29).
Tidak hanya itu. Nabi sekalipun tidak memiliki otoritas untuk menentukan keimanan seseorang. “Kamu tidak punya wewenang memberi petunjuk kepada mereka..” (Q., 2:272) Nabi diutus untuk mengajar dan membimbing manusia. Dia tidak diutus untuk memaksakan kehendak, atau untuk menghukum mereka, kecuali sejauh ada wewenang dan alasan yang membenarkan dalam konteks interaksi sosial. Hukuman adalah hak prerogatif Allah saja (Q..88:21-23).[12] Tuhan sekalipun tidak menghendaki semua manusia beriman kepada-Nya. “Jika Tuhanmu menghendaki, maka berimanlah semua orang yang ada di muka bumi ini. Apakah engkau ingin memaksa manusia untuk beriman semuanya?” (Q, 10:99). Memang di kalangan orang beriman, selalu ada godaan untuk memaksa orang lain untuk mengikuti jejak mereka, seperti disinyalir A.Yusuf Ali,
If it had been Allah’s Plan or Will not to grant the limited Free Will that He has granted to man, His omnipotence could have made all mankind alike: all would then have had Faith, but that Faith would have reflected no merit on them…. Men of Faith must not be impatient or angry if they have to contend against Unfaith, and most important of all, they must guard against the temptation of forcing Faith, i.e. imposing it on others by physical compulsion, or any other forms of compulsion such as social pressure, or inducements held out by wealth or position, or other adventitious adventages. Forced faith is no faith. They should strive spiritually and let Allah’s Plan work as He wills. [13]
F.E. Peters dalam bukunya The Monotheists: Jews, Christians, and Muslims in Conflict and Competion menyimpulkan bahwa adalah dalam sejarahnya, kaum monoteis yang paling sulit bersikap toleran. Kaum monoteis lahir sebagai fanatik, sebuah sikap yang mereka pelajari dari Pencipta menurut mereka, Tuhan pencemburu (a jeolous God) yang tidak membiarkan pesaing dan menuntut kesetiaan (fidelity) para pengikutnya. Tidak heran, ketika situasi memungkinkan, kaum Yahudi, Kristen, dan Muslims memperlihatkan zero tolerance terhadap kaum qoyim, ethne, pagani atau kafirun yang harus menerima konsep Satu Tuhan atau kalau tidak mati, jadi budak, atau warga kelas dua.Tetapi itu dulu, sekarang di zaman modern, Peters beragumen, ada hukum bersama yang harus ditaati semua. Kebebasan beragama telah diakui sebagai hak asasi manusia baik oleh Yahudi, Kristen maupun Islam, dalam pemahaman dan penerapan yang berbeda-beda. Kaum monoteis ini kemudian harus mengakui keberagamaan Ibrahim sebagai titik temu.[14] Pendapat Peters ini sejalan dengan pendapat Cak Nur. Bagi Cak Nur, sifat alami kehidupan manusia adalah kebebasan itu sendiri. Dengan analogi kisah Adam dan Hawa, Cak Nur ingin menegaskan, kehidupan harus ditempuh dengan penuh kebebasan.
Jika kita kembali kepada metaforik tentang Adam, maka sesungguhnya manusia diberi kebebasan sepenuh-penuhnya untuk menempuh hidup ini, namun dengan cara begitu rupa sehingga tidak melanggar norma-norma yang lebih tinggi (Adam dan Hawa, dalam lingkungan kebun diberi kebebasan untuk “memakan buah-buahan kebun itu dengan leluasa dan sekehendak hati” mereka, namun dilarang mendekati sebuah pohon tertentu- (Q., 2:35)….Penuturan itu dengan jelas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya hidup ini harus ditempuh dengan penuh kebebasan, dan dibatasi hanya oleh hal-hal yang jelas dilarang…”[15]
Kesejatian beragama juga tidak akan tercapai tanpa metode penyiaran agama yang baik, tidak memaksa dan tanpa kekerasan.Doktrin dakwah/misi Islam misalnya, juga mensyaratkan penggunaan hikmah (ilmu pengetahuan dan pengalaman), pelajaran yang baik, dan dialog yang terbaik, seperti sering disebut: “Ajaklah ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah, pelajaran yang baik dan lakukanlah dialog dengan mereka dengan cara yang terbaik.(Q.16:125). Dalam menjelaskan ayat ini, Abdullah Yusuf Ali menafsirkan, “Our preaching must be, not dogmatic, not self-regarding, not offensive, but gentle, considerate, and such as would attract their attention.”[16] Begitu pula, doktrin amar ma’ruf nahi munkar, yang sering dijadikan alasan menyerang tempat-tempat yang dianggap dekat dengan maksiat dan gerakan-gerakan vandalistik kalangan tertentu, juga seharusnya memenuhi syarat-syarat hikmah dan dialog yang baik itu. Hanya dengan cara-cara santun, dialogis, tanpa pemaksaan apalagi kekerasan, maka keberagamaan yang sejati dan ikhlash (genuine and sincere religioisity) dapat tercapai. Lagipula, tujuan-tujuan syariat (maqasid al-syariah) tidak akan dipenuhi tanpa perwujudan kebebasan dalam beragama.
Legitimasi teologis terhadap metode yang baik, sering dipinggirkan dengan ayat-ayat Al-Quran lain seperti ayat ketidakrelaan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim hingga menganut agama-agama mereka, bahwa “Agama disisi Allah adalah Islam”, ayat jihad fi sabilillah terhadap syirik dan kekufuran dan semacamnya. Ayat-ayat kelompok ini diambil secara parsial dan tekstual, tanpa memperhatikan sebab-sebab dan konteks ayat-ayat tersebut diturunkan serta ayat-ayat lain yang dapat memberi pemahaman berbeda yang lebih terbuka.[17] Kontradiksi antar ayat Al-Quran akan terjadi apabila penafsiran dilakukan secara tekstual dan parsial. Sebagian kelompok penentang metode yang baik menafsirkan bahwa ayat-ayat jihad dalam arti perang melawan kemusyrikan dan kekufuran menghapus ayat-ayat ajakan dakwah dengan cara santun di atas. Harus dijelaskan, tafsiran seperti ini lemah dan tidak melihat konteks ayat-ayat jihad diturunkan. Ayat-ayat jihad dan qital seperti “Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah (Q.8:39), “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya (Q.22:39) jika ditafsirkan secara kontekstual dan relasional (dengan memperhatikan munasabah al-ayat) akan melahirkan pemahaman bahwa perang hanya bisa dilakukan sebagai upaya defensif menjaga keselamatan dan ketertiban. Menurut Abu Zahrah misalnya, berperang hanya boleh untuk membela kebebasan beragama dan mencegah penindasan agama.[18] Muhammad Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar lebih jauh berpendapat, ayat diizinkannya perang dalam kondisi teraniaya justru menguatkan ayat tidak ada paksaan dalam agama. Kedua ayat ini menunjukkan, semua orang bebas menentukan kepercayaan agama menurut pilihannya. Tak seorangpun dapat dipaksa untuk melepaskan agama yang dianut, juga seseorang tidak akan dihukum atau disiksa hanya karena masalah agama.[19]
Begitu pula, ada alasan yang cukup mempengaruhi pola pikir umat Islam dalam melakukan pemaksaan. Yaitu hadis tentang murtad. Ulama Mesir Mahmud Syaltut misalnya, menjelaskan bahwa pendapat ulama tentang hukuman mati atas kemurtadan didasarkan pada hadits Nabi dari Ibnu ‘Abbas: man baddala diinahu faqtuluhu (siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia). Padahal hadits ini hadits ahad (berasal dari satu jalur perawi saja, bukan hadits mutawattir yang diriwayatkan banyak orang) sehingga tidak bisa dijadikan sandaran hukum yang kuat. Andaikan hadis ini benar, konteks hadis itu diucapkan harus dilihat. Faktor kunci yang menentukan hukuman bagi murtad adalah apabila si murtad melakukan penyerangan, atau permusuhan kepada orang beriman atau melakukan kekacauan bagi ketertiban dan keselamatan Negara. Penafsiran ini didukung oleh tafsir ayat yang melarang pemaksaan dalam agama.[20]
Karena itu, tidak saja agama tidak boleh dipaksakan (Q., 2:256; 10:99), bahkan Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa para penganut pelbagai agama, asalkan percaya kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta berbuat baik, semuanya akan selamat—(Lihat Q, 2:62; 5:26, beserta berbagai kemungkinan tafsirnya). Inilah yang menjadi dasar toleransi agama yang menjadi ciri sejati Islam dalam sejarahnya yang otentik, suatu semangat yang merupakan kelanjutan pelaksanaan ajaran al-Qur’an sebagai berikut:
Oleh karena itu (wahai Nabi) ajaklah, dan tegaklah engkau sebagaimana diperintahkan, serta janganlah engkau mengikuti keinginan nafsu mereka. Dan katakana kepada mereka, “Aku beriman kepada kitab manapun yang diturunkan Allah, dan aku diperintahkan untuk bersikap adil di antara kamu. Allah (Tuhan yang Maha Esa) adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu sekalian. Bagi kami amal perbuatan kami, dan bagi kamu amal perbuatanmu. Tidak perlu perbantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua, dan kepada-Nya semua akan kembali. (Q.42:15)[21]
Otentisitas Kebebasan Beragama dan Paham Kemajemukan
Sejalan dengan di atas, alasan lain mengapa paham kemajemukan dan kebebasan beragama penting ditegakkan di Indonesia adalah bahwa paham kemajemukan dan kebebasan beragama didasarkan pada dalil-dalil yang otentik. Seperti dijelaskan Jamal al-Banna dalam Al-Ta’addudiyah fi al-Mujtama al-Islamy dan Muhammad Sachedina dalam the Islamic Roots of Democratic Pluralism (2001), Al-Quran adalah fondasi otentik bagi pluralisme. Al-Qur’an mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit, kemajemukan suku-suku dan bangsa-bangsa, penciptaan segala sesuatu berpasang-pasangan dan tidak tunggal, mengakui perbedaan kapasitas dan intelektualitas manusia, mengajak berlomba dalam kebajikan, membiarkan sinagog-sinagog, gereja-gereja, masjid-masjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya untuk berdiri kokoh, memperhatikan kehidupan akhirat dan kehidupan dunia (dengan segala kompleksitas dan kemajemukan didalamnya), mengakui kebebasan berkeyakinan (untuk beriman atau tidak), untuk masuk dan keluar dari agama tertentu.[22]
Al-Quran juga menjelaskan dalam hanya ayat-ayatnya adanya persaudaraan hanafiyah samhah dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam konsep Al-Quran, penganut agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah saudara seiman dan sebapak, Ibrahim, meskipun mereka saling berselisih dalam sejarahnya. Agama-agama mereka adalah satu dan berasal dari satu Tuhan. Lebih luas lagi bahkan, selain Yahudi dan Kristen, Islam juga bersaudara dengan seluruh penganut keberagamaan yang benar, yang tidak sombong dan tidak berbuat kerusakan. Tuhan menurunkan ratusan ribu nabi-nabi dan rasul-rasul yang tidak diceritakan siapa mereka. Karenanya tidak ada alasan untuk mengkafirkan dan mengutuk masuk neraka Konfusianisme, Buddha, Mirza Ghulam Ahmad, dan penganut-penganut keyakinan lainnya. Apalagi Al-Quran juga menjelaskan, tidak ada pembedaan antar para Nabi dan perbedaan dan perselisihan antarumat beragama harus diserahkan kepada Tuhan saja.
Dalil-dalil Al-Quran juga menunjukkan bahwa kemajemukan atau pluralitas ummat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam Kitab Suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (Q, 49:13), maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.“ [23] Cak Nur berpendapat, pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, Sunnatullah), yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Dan Islam adalah agama yang Kitab Suci-nya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme atau syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. [24] Al-Quran memperingatkan bahwa seluruh ummat manusia tanpa kecuali adalah bersaudara (Q, 49:13). Setiap kelompok manusia dibuatkan oleh Tuhan jalan dan tatanan hidup mereka, agar manusia dengan sesamanya berlomba dalam berbagai kebaikan (Q, 5:48).
Dalil-dalil yang otentik tentang kemajemukan dan kebebasan itu disimpangkan oleh keberlebihan terhadap aspek-aspek lahiriyah dan simbolistik agama dan oleh absolutisme keagamaan. “Hendaklah kita selalu mampu melihat titik-titik persamaan antara semua ajaran itu dan jangan terpukau oleh hal-hal lahiriyahnya.Halangan terhadap pertumbuhan dan perkembangan ialah sikap-sikap serba mutlak (absolutistic) akibat adanya keyakinan diri sendiri telah sampai dan mencapai kebenaran mutlak,…bagaimana mungkin suatu wujud nisbi seperti manusia dapat mencapai suatu wujud mutlak.”[25]
Menurut Cak Nur, konsep pluralisme berkaitan dengan konsep tentang kesatuan Kebenaran. Sikap-sikap unik Islam dalam hubungan antar agama ialah toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran. Kebenaran Universal adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manifestasi lahiriyahnya beraneka ragam. “Tiadalah manusia itu melainkan semula merupakan umat yang tunggal, kemudian mereka berselisih.” Menurutnya, pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tawhid. Al-Quran mengajarkan paham Kemajemukan keagamaan (religious plurality). Ajaran itu tidak perlu diartikan sebagai secara langsung pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari (dalam hal ini, bentuk-bentuk nyata keagamaan orang “Muslim” pun banyak yang tidak benar, karena secara prinsipil bertentangan dengan ajaran dasar Kitab Suci Al-Quran, seperti sikap pemitosan kepada sesama manusia atau makhluk yang lain, baik yang hidup atau yang mati). Akan tetapi, demikian Cak Nur, ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada agama-agama yang ada untuk bertumpu pada suatu titik pertemuan, common platform, kalimah sawa, sebagaimana firman Allah, yang Muhammad Asad terjemahkan sbb: Say: “O followers of earlier revelations! Come unto that tenet which we and you hold in common: that we shall worship none but God, and that we shall not ascribe divinity to aught beside Him, and that we shall not take human beings for our lords beside God.” (Q, 3:64)[26]
Dalam ayat lain 3:85, A Yusuf Ali memberi penjelasan sbb: The Muslim position is clear. The Muslim does not claim to have a religion peculiar to himself. Islam is not a sect or an ethnic religion. In its view all Religion is one, for the Truth is one. It was the religion preached by all the earlier prophets. It was the truth taught by all the inspired Books. In essence it amounts to a consciousness of the Will and Plan of Allah and a joyful submission to that Will and Plan. If anyone wants a religion other than that, he is false to his own nature, as he is false to Allah’s Will and Plan. Such a one cannot expect guidance, for he has deliberately renounced guidance. [27] A Yusuf Ali memberi komentar firman lain Q, 2:62 dan 5:69 : “As God’s Message is one, Islam recognized true faith in other forms, provided that it be sincere, supported by reason, and backed up by righteous conduct.[28] Di sini A Yusuf Ali menekankan konsep Islam tentang universalitas kebenaran Tunggal di tengah berbagai bentuknya yang partikular selama tulus dan berbuat baik.
Kemajemukan dan Paham Kemajemukan dalam Sejarah Islam
Sejarah panjang umat Islam telah melahirkan teladan bagi paham kemajemukan dan kebebasan beragama, selain masalah-masalah. Kebebasan beragama juga diterapkan dalam Konstitusi Madinah (Mitsaq al-Madinah) dalam ruang dan waktu ketika itu. Pada dataran struktural dan politik, Nabi Muhammad s.a.w. berusaha mencari titik pertemuan dengan berbagai golongan di Madinah dengan terlebih dahulu mengakui hak eksistensi masing-masing kelompok dalam dokumen itu, meskipun kemudian ada pelanggaran-pelanggaran. Nabi sendiri telah memberi contoh untuk hubungan religius-sekular ketika beliau bersabda, “Aku hanyalah seorang manusia, jika kuperintahkan sesuatu yang menyangkut agama, taatilah, dan jika kuperintahkan sesuatu dari pendapatku sendiri, pertimbangkanlah dengan mengingat bahwa aku hanyalah seorang manusia.” Atau ketika beliau bersabda,”Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu.”[29]
Khalifah kedua, Umar ibn al-Khaththab, meneruskan Sunnah Nabi itu dalam sikapnya terhadap penduduk Yerusalem, dalam dokumen yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Aelia”[30]Para pemimpin dan ulamanya telah lama mengembangkan pluralisme agama yang tidak hanya meliputi kaum Yahudi dan Kristen beserta berbagai aliran dan sektenya yang secara nyata disebutkan dalam al-Qur’an sebagai Ahl al-Kitab, tetapi juga mencakup golongan-golongan agama lain. Kaum Majusi atau Zoroastrian sudah sejak zaman Nabi dipesankan agar diperlakukan sebagai Ahl al-Kitab, dan itulah yang menjadi kebijakan Khalifah Umar. Begitu Jenderal Muhammad ibn Qasim, ketika pada tahun 711 membebaskan Lembah Indus dan melihat orang-orang Hindu di kuil mereka, dan setelah diberitahu bahwa mereka itu juga mempunyai kitab suci, menyatakan bahwa kaum Hindu adalah termasuk Ahl al-Kitab.[31] Mengutip Max I Dimont (The Indestructible Jews, New York, 1973), Cak Nur menulis, “Para khalifah Umawi di Andalusi, Spanyol, juga menjalankan politik kemajemukan yang mengesankan…orang-orang Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun dan bersama-sama menyertai peradaban yang gemilang. Kerukunan agama itu tidak harus mengakibatkan penyatuan agama. Sebagian besar rakyat Spanyol tetap beragama Kristen. Tapi kerukunan itu menghasilkan percampuran darah lebih daripada percampuran agama (bloodlines even more than religious affiliation)[32]
Pemikiran Islam yang peduli terhadap kemajemukan dan kebebasan beragama juga muncul di beberapa tempat dari berbagai pendekatan. Dr. Taha Jabir al-‘Alwani misalnya, menulis sebuah buku tentang etika berbeda pendapat dalam Islam. Dia menunjukkan aspek-aspek positif dari perbedaan pendapat dan memperlihatkan generasi awal Muslim telah menerapkan doktrin tersebut sebagai kekuatan yang menghidupkan masyarakat mereka. Al-Alwani mengajak umat Islam untuk belajar kembali seni dan etika Agreement to Disagree (setuju untuk tidak setuju) karena dengan begitu mereka akan lebih mampu menghadapi dan menyelesaikan situasi-situasi dan persoalan-persoalan yang bisa memecah belah. Lebih lanjut dia menegaskan,“More importantly, however, they must master the methods of making disagreement work for them, rather than against them.” [33]
Kemajemukan dan Kebebasan Agama dalam Sejarah Nusantara
Alasan berikutnya mengapa paham kemajemukan dan kebebasan beragama harus dibumikan di Indonesia adalah pengalaman sejarah bangsa: masa lalu dan kontemporer. Kemajemukan adalah karakteristik hampir semua bangsa saat ini. Semua tahu, Indonesia adalah bangsa campuran dari segi ras, suku, bahasa, dan agama: animisme, Hindu, Buddha, Islam, Protestan, Katolik, Konfusianisme, dan sebagainya. Cak Nur menegaskan, “Salah satu ciri menonjol negeri kita ialah keanekaragaman, baik secara fisik maupun sosial-budaya….demikian juga secara keagamaan. Sekalipun Islam merupakan agama terbesar di Indonesia, namun ia mengenal perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang besar dari daerah ke daerah. Selain Islam, empat di antara agama-agama besar di dunia diwakili di negeri kita: Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha “ [34]
Ada asumsi umum bahwa karena Indonesia adalah Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, maka kelompok-kelompok Islam berhak melakukan desakan untuk mewujudkan hukum yang eksklusif bagi orang Islam. Kesalahan berpikir “hak mayoritas” seperti ini diidap banyak aktifis partai dan gerakan yang mengklaim Islam. Menurut anggapan ini, umat Islam berhak untuk menyusun hukumnya sendiri (“syariat” Islam) dan umat-umat beragama lain agar mengurus diri mereka sendiri. Formalisasi hukum Islam sebagaimana dimaui para aktifis politik dan gerakan keagamaan saat ini sama sekali bukan pilihan yang mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi seperti diyakini para penganjur dan pejuangnya. Apalagi, resiko bagi umat Islam dan bangsa secara keseluruhan lebih besar daripada manfaat yang diimpikan para pejuang syariat formal ini. Dalam konteks gerakan formalisasi ini, perlu diingatkan, Al-Quran menyatakan bahwa bukan hanya Kitab yang dijadikan landasan, tapi juga hikmah. Dalam banyak ayat Al-Quran, kitab dan hikmah digandengkan, karena Kitab tidaklah cukup untuk menjawab masalah manusia. Hikmah adalah wawasan, ilmu pengetahuan, kecerdasan, kemampuan menggunakan nalar, keterampilan mengelola perbedaan dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan berdasarkan ilmu dan pengalaman sejarah. Hikmah bisa pula berarti falsafah- kecenderungan untuk mendekati kebenaran. Hikmah bisa berarti kemampuan mewujudkan kemaslahatan umum dalam masyarakat dengan cara-cara yang bijak dan konstruktif, dalam semua bidang kehidupan termasuk ekonomi, sosial, dan politik. Dengan demikian, melihat kemajemukan Indonesia berarti kita menggunakan hikmah, termasuk dalam menjawab permasalahan-permasalahan agama dan bangsa kita kini dan masa depan.[35]
Menjelang kemerdekaan tahun 1945, kemajemukan agama-agama yang ada dan pemahaman akan nilai-nilai luhur agama melahirkan komitmen para pendiri bangsa (the Founding Fathers) untuk menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu, meskipun dalam perjalanannya Negara dan masyarakat tidak selalu mampu menegakkannya dalam kebijakan dan kenyataan. Disepakatinya prinsip kebebasan beragama dalam UUD 1945 dan Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ideologi Negara memperlihatkan dan sekaligus menutupi kenyataan sebenarnya tentang bagaimana kehidupan beragama di negeri kita (reveals and conceals the truth). Ideologi dan Konstitusi Indonesia ini di satu sisi menunjukkan adanya jaminan konstitusi, tapi di sisi lain dapat menutupi kenyataan masih tegangnya hubungan antarakomunitas agama dan antara pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat hingga saat ini.
Kenyataan kemajemukan dalam sejarah nusantara telah ada sejak datangnya ke daerah-daerah berkepercayaan animis para penganut Hindu, lalu Buddha, dan belakangannya baru Islam, Protestan, Katolik dan sebagainya. Proses Indianisasi/Hinduisasi, lalu Islamisasi, dan Kristenisasi pun berlangsung tidak merata dan perlahan-lahan.[36]Masalah yang mengganjal hubungan Muslim-Kristen di Indonesia khususnya adalah kenyataan dan persepsi keterkaitan antara Kristenisasi dan Kolonialisme (Portugis, Inggris, dan Belanda). Kebijakan umum pemerintah kolonial Belanda, khususnya selama dasawarsa pertama abad ke-20, ialah mendukung pertobatan kepada agama Kristen dengan membatasi pengaruh agama Islam, seperti terjadi di Flores, Sumba, Timor, Toraja, dan Papua.[37] Agama Kristen menjadi saingan utama agama Islam.[38] Peran Snouck Hurgronje dalam membedakan Islam kultural dan Islam politik juga menjadi ganjalan tersendiri. Pemerintah kolonial Belanda tidak bersikap netral di bidang agama. [39]Campur tangan pemerintah kolonial misalnya dalam peradilan agama (sejak 1882), pengangkatan penghulu, pengawasan terhadap perkawinan dan perceraian sejak 1905, ordonansi perkawinan di Jawa Madura sejak 1929, pengawasan terhadap pendidikan Islam, ordonansi guru sejak 1905, pengawasan terhadap kas masjid sejak 1893, dan pengawasan terhadap ibadah haji. [40] Hubungan kolonialisme Belanda dan Islam Indonesia mengalami ketegangan-ketegangan yang berbekas hingga sekarang dalam memori sejarah sebagian umat Islam. [41]
Memang tidak ada seorangpun yang beragama Katolik ikut serta dalam komite persiapan kemerdekaan pada April-Agustus 1945 dalam merumuskan paham Negara dan konstitusi. Tetapi sesudah proklamasi, Ignatius Joseph Kasimo menjadi anggota Komite Nasional Pusat, yang bertugas menjadi organ konsultatif bagi Presiden dan wakilnya. Umat Katolik juga mendirikan Partai Katolik Republik Indonesia pada 8 Desember 1945 yang bertujuan membela RI dan memperkuat keberadaan Negara yang baru lahir. Tokoh Katolik Mgr. Soegijo, juga mendukung sepenuhnya proklamasi. Ketika Jogjakarta diduduki pasukan Belanda pada Desember 1948, banyak orang Katolik bergabung dalam pasukan gerilya memerangi agresi Belanda, dua diantaranya Ignatius Slamet Rijadi dan Agustinus Adisutjipto gugur. Di Sumatera, orang-orang Katolik juga aktif dalam gerilya. Demikian, meskipun secara kuantitatif tidaklah banyak, karena posisinya minoritas, sejak awal komunitas Katolik berperan secara nasional. Orang-orang Katolik adalah orang-orang Indonesia tulen.[42]
Di Indonesia, pembatasan dan pelanggaran kebebasan agama belum berkurang secara signifikan. Kekerasan atas nama agama telah menciptakan kehidupan yang tidak nyaman, tidak tertib, rasa takut, kekacauan dan prasangka-prasangka yang berkepanjangan. Di Indonesia, ada masa dimana kejadian-kejadian pelanggaran cukup minim, sementara waktu lain penuh dengan polemik, konflik dan pelanggaran agama. Meskipun secara geografis masalah kebebasan beragama tidak merata, kasus-kasus lokal begitu cepat menjadi masalah-masalah nasional dan kadang internasional. Kita ingat kembali kejadian-kejadian dan isu-isu kontroversial kontemporer yang berkaitan dengan kemajemukan dan kebebasan beragama:
· Kekerasan fisik (physical violence) oleh jaringan teroris dalam bentuk teror bom di Bali (2002) dan Jakarta (2003, 2004), oleh kelompok militan etnis-agama di Ambon dan Poso dari 1999 hingga 2003. Kekerasan fisik termasuk perusakan tempat-tempat ibadah (gereja, masjid), misalnya Front Pembela Islam menutup paksa sekitar 23 gereja di Bandung dalam periode September 2004- Agustus 2005 dan ratusan lainnya di tempat-tempat lain yang mereka tuduh tidak “legal”. [43]
· Kekerasan psikologis (psychological violence) berupa intimidasi terhadap kelompok-kelompok Islam liberal, terhadap para pendukung anti-RUU Antipornograpi, dan terhadap gerakan yang kritis terhadap formalisasi perda-perda syariat Islam seperti kaum muda Lembaga Advokasi Anak Rakyat (LAPAR) di Sulawesi Selatan.[44]
· Intoleransi intelektual (intellectual intolerance) berupa pelabelan murtad, kafir, sesat, atau musuh dalam berbagai pendapat dan fatwa dalam penerbitan dan pertemuan yang umumnya tidak dihadiri oleh pihak tertuduh (pengadilan keyakinan in absentia), fatwa pengharaman menghadiri perayaan Natal Bersama, haramnya doa bersama, haramnya perkawinan beda agama, dan semacamnya. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2005 juga mengharamkan pluralisme, sekulerisme dan liberalisme seperti yang mereka definisikan.[45] Langsung ataupun tidak langsung fatwa ini berpengaruh terhadap perilaku masyarakat terhadap gerakan Islam liberal dan Ahmadiyah. Sebagian kelompok masyarakat menyerang anggota Ahmadiyah di Parung Bogor, menutup masjid-masjid mereka, termasuk menyegel masjid seperti terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kelompok FPI juga menyerang Jaringan Islam Liberal.
· Diskriminasi masyarakat (individual and social discrimination) berupa kesulitan dan hambatan untuk membangun tempat-tempat ibadah (gereja, masjid, kuil, dsb), larangan untuk memakai simbol-simbol atau pakaian keagamaan, hambatan untuk masuk kedalam universitas, pekerjaan, rumah sakit dan tempat-tempat publik lainnya, pengurusan Kartu Tanda Penduduk, kelahiran, dan pernikahan.
· Diskriminasi terhadap gerakan-gerakan agama atau spiritualitas baru (discriminations against new religious movements) seperti Jamaah Salamullah/Komunitas Eden, Darul Arqam, dan komunitas-komunitas spiritual lainnya.
· Keluhan-keluhan dan aduan-aduan individu (individual complaints) yang biasanya disampaikan di surat pembaca media massa, di email-email, atau di pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan dibatasinya atau dilanggarnya kebebasan atau rasa nyaman menganut, menjalankan atau tidak menjalankan keyakinan tertentu.
· Undang-undang, peraturan-peraturan, dan kebijakan yang kontroversial yang masih dianggap diskriminatif (controversial discriminatory laws and policies) yang perlu dikaji ulang seperti Undang-undang Perkawinan, Undang-Undang Pendidikan Nasional, SKB Menteri tentang Pedoman Penyiaran Agama (1969, 2006), Pedoman Penyiaran Agama (1978), Aturan Bantuan Luar Negeri terhadap Lembaga-lembaga Keagamaan di Indonesia (1978), dan Peraturan-peraturan daerah dan distrik yang bernuansa ajaran agama tertentu (Perda Syariat). [46]
Khususnya sejak jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998, konflik lokal dan regional yang tampak bernuansa agama ini lebih terkait dengan masalah keterbukaan politik yang mendadak, akutnya kesenjangan ekonomi, perebutan sumber-sumber ekonomi, desentralisasi yang terlalu radikal, pertarungan elit kekuasaan, kegagalan institusi demokratis dan lemahnya pemerintah pusat dan daerah, tidak adanya peradilan yang efektif, serta lemahnya law enforcement aparat hukum dalam menjamin hukum dan ketertiban.[47] Karena anggapan bahwa terorisme tidak terkait agama, maka dialog antar agama dan antarperadaban sama sekali tidak diperlukan (dan dituduh sebagai semata-mata proyek Amerika dan Negara-negara Barat). Ada pendapat karena konflik-konflik di Ambon dan Poso bukan masalah agama, maka tidak diperlukan dialog antaragama. Pendapat ini lemah. Meskipun agama bukan faktor yang paling menentukan (most determinant factor), para teroris dan ideolog mereka tetap menggunakan agama dalam ideologi dan aksi mereka. Peristiwa-peristiwa di Ambon dan Poso juga menggunakan simbol-simbol dan teks-teks agama untuk melegitimasi tindakan-tindakan kekerasan mereka. Akibat aspek agama dianggap sebagai sekedar faktor penyebab pelengkap atau penguat, maka usaha-usaha serius pemikiran keagamaan tentang kekerasan komunal tidak mendapat perhatian yang semestinya.
Kita maklumi pula, intoleransi di Indonesia terkait dengan kompleksnya masalah. Ada beberapa penjelasan yang sering disebut:
· Hambatan psikologis: sejarah perang agama (termasuk Perang Salib, Crusade), sejarah imperialisme Barat di Indonesia dan di dunia Islam, anggapan Kristen sebagai agama penjajah (bagi yang lain ini ini pembacaan sejarah yang parsial tidak komprehensif dan terlalu subjektif), keyakinan bahwa penganut agama kita selalu baik dan penganut agama tandingan selalu buruk). Dalam hal ini, harus disadari ada noda-noda hitam dalam sejarah umat beragama- agama kita dan agama orang lain, Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu memiliki sejarah hitam.
· Hambatan teologis: keyakinan bahwa agama saya adalah agama satu-satunya yang diridhai Tuhan, penafsiran ayat-ayat kritis terhadap Yahudi dan Nashrani “orang Yahudi dan orang Nashrani tidak akan rela terhadap kaum Muslim“, karakter misi agama seperti perintah menyebarkan Islam, dan doktrin misi Kristen untuk menyampaikan Firman Tuhan kepada umat-umat agama lain dan belum beragama. Di sini harus diggali teks-teks agama secara lebih komprehensif, kontekstual dan kritis (tidak hanya berdasarkan Teks Kitab tapi berdasarkan Hikmah dan Ilmu)
· Hambatan politik: perebutan kekuasaan/faith and power/knowledge and power – siapa yang menguasai power menguasai keberagamaan masyarakat –partai-partai politik dan gerakan-gerakan keagamaan. Karena itu harus diciptakan sistem dan kultur politik yang terbuka, egaliter, demokratis, civilized.
· Hambatan sosiologis: kesenjangan ekonomi menjadi api dalam sekam yang membutuhkan pemicu: sikap eksklusif, isolasionis, cuek, terlalu mementingkan komunalitas (communalism), solidaritas kelompok dengan memusuhi kelompok lain (in-group solidarity by out-group enmity). Disini pentingnya dibangun inklusivisme politik, kepedulian terhadap sesama, tanpa menafikan kebebasan individualitas, dan menggabungkan identitas dan moralitas publik.
· Problem hermenetik/penafsiran: kebebasan beragama versus penyebaran agama, kebebasan beragama sebagai prinsip atau sebagai ajaran cabang (furuiyah) dan ayat-ayat kitab suci yang tampak bertentangan. [48]
Masalah-masalah, isu-isu, dan hambatan-hambatan di atas seharusnya menyadarkan semua pihak untuk sama-sama urun rembuk sungguh-sungguh membangun kehidupan beragama yang bebas dan bertanggung jawab seperti maksud sesungguhnya dari Pancasila dan Undang-undang Dasar. Masing-masing penganut agama berhak menafsirkan Pancasila. Namun, Pancasila seharusnya mengatasi kepentingan partikular yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup bersama Pancasila. Bagi Cak Nur, terbuka luas untuk semua agama di Indonesia untuk bertemu dalam common platform dalam paham Ketuhanan Yang Maha Esa,[49] namun lebih penting lagi, penafsiran terhadap Pancasila tidak bisa bersifat hegemonik dan memaksa atau sekedar mengesahkan keinginan-keinginan yang mengganggu rasa keadilan (sense of justice) dalam sebuah kehidupan bersama (vivre ensemble).[50]
Harus terus ditegaskan kemajemukan umat Islam Indonesia, meskipun mayoritas penganut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan fiqh mazhab Syafii yang menunjukkan adanya kesatuan Islam Indonesia. Kemajemukan telah ada sejak lama sebelum kolonial. Secara politik, di zaman kolonial Belanda, ada sikap non-kooperasi (seperti Sarekat Islam) dan sikap kooperasi (seperti Muhammadiyah) Di bidang pendidikan ada pertentangan antara Muhammadiyah dan al-Irsyad, yang menerima unsur-unsur modern sistem sekolah belanda (HIS, MULO, AMS, HBS, dll) dan Nahdlatul Ulama yang menolak sistem Belanda dan mempertahankan sistem pesantren dan madrasah. Juga pertentangan antara kaum “modernis (Muhammadiyah, Persatuan Islam, al-Irsyad) dan kaum “tradisionalis” (NU, Persatuan Umat Islam, al-Washliyah, Perti, Mathlaul Anwar, dan Nahdlatul Watan) yang tidak lepas dari subjektifitas dan bias. Antara gerakan pemurnian dari bidah dan gerakan tradisionalis, antara mereka yang mementingkan esoteris (bathini) dan yang eksoteris (dhahiri), antara mayoritas Sunni dan minoritas Syiah, dan seterusnya. [51] Bagi Cak Nur, terjadinya percekcokan dalam masyarakat harus dipandang sebagai hal yang wajar. Tidak ada masyarakat yang terbebas sama sekali dari silang-selisih. Ada adagium Arab: ridhannas ghayatun la tudrak—kerelaan semua orang adalah tujuan yang tidak pernah tercapai. Yang tidak wajar ialah jika perselisihan itu meningkat sehingga timbul situasi saling mengucilkan dan pemutusan hubungan atau eks-komunikasi, dalam bentuk pengkafiran (takfir) oleh yang satu terhadap yang lain. Kontroversi yang tampak seperti ada dalam bidang pemahaman itu sering secara tersamar-sama- antara lain karena tidak diakui oleh yang bersangkutan sendiri- bercampur dengan unsur-unsur di luar masalah pemahaman. Unsur-unsur luar itu dapat dipadatkan dalam kata-kata “kepentingan tertanam” (vested interest), baik pribadi maupun kelompok, yang terbentuk oleh berbagai faktor: sosiologis, politis, ekonomis, kesukuan, kedaerahan, dan seterusnya.[52] Di sinilah, dalam lingkup umat Islam, Cak Nur menegaskan, pentingnya ukhuwwah Islamiyah.[53]
Pemikiran paham kemajemukan agama di Indonesia muncul secara lebih meluas sejak Cak Nur yang mengembangkan sikap keterbukaan dalam beragama. Selain Cak Nur ada Dr. Alwi Shihab, yang melihat pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan adanya kemajemukan, harus ada keterlibatan aktif. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, seperti kota kosmopolitan karena tanpa interaksi aktif. Pluralisme tidak sama dengan relativisme (semua agama adalah sama). Baginya, pluralisme agama bukan sinkretisme. Bagi Shihab, seorang pluralis membuka diri, belajar dan menghormati penganut lain, tapi committed terhadap agama yang dianutnya.[54] Sementara Prof Dr Dien Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah saat ini, berpendapat, yang ditentang MUI harusnya bukan pluralisme tapi relativisme agama, yang berkeyakinan keyakinan agama kita relatif, dan semua agama benar. Agama memang benar, tapi menurut penganutnya masing-masing. Bagi Dien Syamsuddin, secara teologis, sulit untuk mencapai titik temu agama-agama, karena masing-masing agama menganggap agamanya paling benar. Menurutnya yang penting diupayakan adalah dialog etika dan kerjasama sosial, mencari kesamaan-kesamaan nilai-nilai hidup bersama secara sosial, seperti mengembangkan global ethics.[55] Budhy Munawar Rachman juga mengembangkan Islam pluralis dalam upaya mencari titik temu kaum beriman berdasarkan landasan-landasan filosofis dan teologis yang saling menguatkan. Belajar banyak dari Cak Nur, Budhy Munawar-Rachman mencoba mengapreasiasi berbagai pemikiran kontemporer seperti Perennial Philosophy, the One in the Many, Transendental Unity of Religions, Passing Over,Theology of Religions, dan Liberative Theology dalam upaya mencari sikap keberagamaan yang menghargai kemajemukan dan kesetaraan.[56]
Paham Kemajemukan dan Kebebasan Beragama dalam Sejarah Modern
Paham kemajemukan dan kebebasan beragama muncul dalam sejarah modern yang kompleks dan tidak monolitik. Para pemikir, pakar politik, hukum tata Negara, teolog, dan sebagainya terus mencari jalan keluar hubungan agama-agama dan Negara. Di Perancis misalnya, kebebasan beragama mengalami sejarahnya sendiri –yang bisa menjadi bahan pelajaran (meskipun tidak seluruhnya cocok) bagi Negara-negara lain seperti Indonesia. Di Eropa, ada Negara-negara yang menerapkan campuran sistem Negara-Gereja seperti Inggris, Denmark, Yunani, Swedia, dan Finlandia. Ada yang menganut pemisahan seperti Belanda, Perancis, dan Irlandia dan ada yang menggunakan kombinasi pemisahan dan hubungan kerjasama Negara-agama seperti Jerman, Belgia, Austria, Spanyol, Itali dan Portugal. Pengaruh agama di Irlandia lebih kuat daripada di Swedia meskipun Irlandia menganut pemisahan, sementara di Swedia campuran. Secara umum, hubungan agama-Negara lebih lemah di Negara mayoritas katolik dibandingkan dengan Negara-negaa mayoritas Protestan atau Kristen Ortodoks. Di Belanda, sekulerisasi tidak berarti meniadakan organisasi masyarakat dan partai politik yang berbasis pada agama. [57]
Di Republik Perancis, perdebatan kebebasan agama dan hubungan antara agama dan Negara adalah panjang, sejak Revolusi Perancis 1789 yang juga menghasilkan the Declarations of Rights. Konsep pemisahan dalam term laicité menjadi dasar filosopis politik hubungan agama dan Negara yang hampir dapat dikatakan selesai terutama sejak Konstitusi Perancis (Laws of Separation) tahun 1905 yang mengakhiri status istimewa Katolik dalam Negara. Laicité sebagai sekulerisme ala Perancis tidak berarti memusuhi agama-agama, tapi mentoleransi agama-agama. Laicite juga tidak berarti kebebasan tanpa batasan hukum. Konstitusi Perancis tahun 1905 menyatakan: Pasal 1: Republik menjamin kebebasan iman (liberté de conscience). Ia menjamin pelaksanaan beragama secara bebas (free exercise of religion), dengan pembatasan-pembatasan yang dituntut kepentingan ketertiban umum. Pasal 2: Republik tidak mengakui, menggaji atau mensubsidi denominasi agama manapun. Landasan hukum ini, yang menunjukkan netralitas Negara, tidak berarti bahwa Negara tidak menghargai peran agama-agama yang ada. Perancis tidak memiliki konsep agama-agama yang diakui (recognized religions), berbeda dengan Indonesia yang memiliki konsep agama-agama yang diakui ini.Perancis menghargai semua agama pada level yang setara secara hukum dan politik. Perancis mengakui adanya koeksistensi finansial. Politics of non-recognition or neutrality tidak berarti Perancis tidak memberi bantuan apapun kepada organisasi-organisasi agama. Subsidi dapat diberikan kepada aktifitas-aktifitas keagamaan yang memiliki karakter kepentingan umum seperti kedermaan (charities), rumah sakit, perawatan kesehatan, dan sejenisnya. Negara juga dapat mengurus pengajaran agama (religious instruction) di sekolah-sekolah pemerintah, rumah sakit, penjara-penjara, asalkan menjamin free exercise of religion.
Di tengah perjalanannya, Perancis juga mengalami masalah-masalah dan kontroversi-kontroversi, seperti diskriminasi rasial (anti-semiticism) yang masih berlangsung, kerusuhan sipil tahun 1968, pelaksanaan hari-hari agama yang dijaga ketat Keamanan, penghancuran kuburan-kuburan Yahudi dan Muslim pada 1994, kasus pelarangan jilbab dan kerusuhan etnik beberapa tahun lalu. Dalam kasus pelarangan jilbab misalnya, pada tahun 1989 De Conseil d’ État berpendirian, pemakaian simbol-simbol agama di sekolah-sekolah umum dilarang karena mengandung unsur-unsur provokasi, pemaksaan, dan propaganda agama tertentu di tempat-tempat tesebut. Menariknya, semua perdebatan itu merujuk pada laicité itu. Desakan-desakan terhadap pemaknaan kembali laicité terus bergulir, terutama dari kalangan minoritas Muslim, Yahudi dan lain-lainnya, seperti aspirasi minoritas Muslim untuk diakui sebagai warga Perancis penuh (seperti slogan “French Islam”).[58] Lebih menarik lagi, seperti dalam konteks Indonesia, di tengah dominasi struktural dan kultural Katolik, perdebatan di Perancis mengarah pada lebih besarnya pengakuan terhadap pluralitas agama-agama dan ekspresi kebudayaan (multikulturalitas) yang ada.
Kebebasan Beragama dijamin berbagai dokumen Negara dan internasional sejak lama, mulai dari Magna Charta (Piagam Agung 1215, yang membatasi kekuasan raja Inggris John), Bill of Rights (Undang-undang Hak 1689, oleh Parlemen Inggris sebagai perlawanan terhadap Raja James II), Declarations des Droits de l’Homme et du Citoyen (Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara, yang menandai perlawanan terhadap Raja dan absolutisme agama-negara di Perancis pada 1789), Bill of Rights (1789, di Amerika Serikat (AS)),Civil Rights Act (1964, AS), Universal Declarations of Human Rights (1948). Di AS, Civil Rights Act 1964 misalnya, melarang diskriminasi keagamaan dalam masalah tempat tinggal, pendidikan, dan meminta perusahaan-perusahaan untuk membuat usaha-usaha wajar untuk mengakomodasi keyakinan dan praktek keagamaan kecuali jika akomodasi itu memberatkan dan merugikan bisnis perusahaan. AS yang mayoritasnya Protestan tidak lepas dari masalah-masalah kebebasan beragama, seperti pesan-pesan kebencian (message of hate) dalam bentuk fisik dan intimidasi terhadap Yahudi, Katolik, Muslim, Black, dan minoritas-minoritas lain seperti orang asli Indian, Hispanik, Filipina, dan sebagainya. Penyerangan terhadap gereja, masjid juga terjadi. Muslims, sebelum dan setelah 11 September 2001, mengalami intoleransi verbal dan fisik di tempat keja dan masyarakat. Kurangnya penerimaan dan persamaan bagi kepercayaan-kepercayaan asli Indian masing terjadi terlepas dari the American Indian Religious Freedom Act sejak 1978.[59] Sementara masalah-masalah kebebasan beragama berlanjut, upaya-upaya gerakan dan sikap toleransi dan pluralisme di Amerika semakin banyak. Selama beberapa dekade terakhir di AS, kaum minoritas Katolik, Yahudi, Islam mulai diakui menjadi bagian mainstream kehidupan Amerika. Keyakinan-keyakinan marginal seperti Jehovah’s Witnesses, Mormons, Christian Scientists, Seventh-Day Adventists dan Assemblies of God mulai diterima. Buddhisme, Hindu dan Islam bahkan berkembang pesat di AS. Terutama setelah pertengahan abad ke-20, pluralisme sebagai partisipasi menguat di AS.[60]
Bagi kalangan teolog, persoalan kebebasan dan kemajemukan agama harus diselesaikan melalui pendekatan intelektual-teologis, tidak semata-mata etik, sosial atau politik. Hans Kung, teolog asal Jerman, yang mempengaruhi Muqaddimah UNESCO, misalnya menegaskan, “wars begin in the minds of men, it is in the minds of men that the defenses of peace must be constructed.” Dia melihat pentingnya strategi dialog yang medelegitimasi penggunaan kekerasan dalam menyalurkan aspirasi keagamaan maupun kepentingan-kepentingan lainnya. [61] Teolog-teolog terus mengembangkan teologi agama-agama dengan pendekatan dan penekanan yang berbeda-beda. Misalnya, Paul Knitter menekankan relativisme agama, seperti kalimatnya: “All religions are the relative- that is, limited, partial, incomplete, one way of looking at thing. To hold that any religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong, offensive, narrow-minded; Deep down, all religions are the same – different paths leading to the same goal.” (Paul Knitter, 1985), “Transcendent Unity of Religions” (Frithjof Schuon, 1984), “Other religions are equally valid ways to the same truth” (John H.Hicks, God and the Universe of Faiths, 1993). “Other religions speak of different but equally valid truths” (John B. Cobb Jr.), “Each Religion expresses an important part of the truth” (Raimundo Panikkar). [62] Terlepas dari perbedaan pengungkapan dan penekanan, pemikiran-pemikiran teologis ini mengarah pada pencarian titik temu dan kesetaraan agama-agama.
Pluralisme terkait erat dengan masalah kebebasan beragama. Menurut Webster’s Third International, pluralisme adalah “an ideal or impulse, the acceptance and encouragement of diversity. Pluralism is a state of society in which members of diverse ethnic, racial, religious, or social groups maintain an autonomous participation in and development of their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization.” Pluralism juga merupakan konsep, doktrin, atau kebijakan yang mendukung keadaan pluralis. Pluralisme berbeda dengan diversitas semata. Makna pluralisme seperti ini tidak muncul di Amerika Serikat sampai 1920an. Menurut William Hutchison, pluralisme memiliki tiga tingkat makna: toleransi, inklusi dan partisipasi. Pluralisme sebagai toleransi adalah seperti ketiadaan persekusi, hak golongan yang dianggap menyimpang “deviant” untuk hidup. Pluralisme sebagai inklusi adalah memasukkan yang lain (outsiders) kedalam kelompok mainstream, tetapi tidak sepenuhnya setara. Adapun pluralisme sebagai partisipasi berarti individu dan kelompok-kelompok diberi mandat untu membentuk dan menerapkan agenda masyarakat secara sejajar. [63]
Dalam konteks politik, seperti menurut Roger Scruton, pluralisme berarti “the belief in the distribution of political power through several institutions which can limit one another’s action, or through institutions none of which is sovereign. Pluralism is the advocacy of a particular kind of limited government”. Pluralisme juga berarti “the belief that the constitution of a state ought to make room for varieties of social customs, religious, and moral beliefs, and habits of association, and that all political rights should be traced back to the constitution, and not to any social entity other than the state itself.” Dalam situasi demikian, yang bersifat sosial dan yang bersifat politik harus dipisahkan sedapat mungkin, dan institusi-instutisi politik yang seragam berdampingan dengan masyarakat yang pluralis.Dengan begitu, masyarakat sipil dimana bermacam kelompok hidup berdampingan dalam satu wilayah dimana secara sosial, politik dan ekonomi saling bergantung. [64]
Menyadari masalah-masalah, sebab-sebab, dan hambatan-hambatan seperti disinggung diatas, cukup sulit menebak masa depan kebebasan beragama di Indonesia. The future is inherently uncertain.[65] Masa depan kebebasan agama di negeri kita sangat tergantung pada sejauh mana elemen-elemen Negara dan masyarakat – terutama kaum intelegensia, kaum agamawan - mampu secara serius berpikir bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan agama dalam konteks sejarah, politik, ekonomi, dan sosial yang senantiasa berubah.
Pluralisme dan Kebebasan Beragama Sebagai Work in Progress di Indonesia
Berdasarkan alasan-alasan otentisitas Islam, sejarah, tradisi, dan modernitas di atas, maka saya menganggap pentingnya kebebasan beragama dan pluralisme sebagai work in progress di Indonesia. Salah satu tantangan dalam usaha ini adalah perkembangan Islamisme radikal di tanah air. Meskipun dalil paham kemajemukan dan kebebasan beragama adalah Al-Quran itu sendiri, masih banyak kalangan, khususnya kalangan Islamisme yakin bahwa kemajemukan adalah ancaman dan bahaya yang merusak kemurnian, keutuhan dan kesatuan umat Islam (authenticity and unity of Islam). Padahal, perlu ditegaskan kembali, kemajemukan agama-agama seharusnya bukanlah ancaman. Memang pertarungan antara kebinekaan dan otentisitas merupakan tantangan paling penting dari proses globalisasi di kalangan umat Islam. Fundamentalisme merujuk pada strategi yang digunakan kaum puritan Islam untuk membangun konstruksi mereka atas identitas keagamaan dan tatanan sosial Islam sebagai basis eksklusif untuk penataan kembali tatanan sosial dan politik. Kaum puritan percaya bahwa identitas keIslaman mereka berada dalam bahaya, tercemari kebinekaan agama dan budaya. Mereka berusaha memperkuat penafsiran mereka dengan cara menghidupkan kembali doktrin dan praktik keIslaman masa lalu yang dianggap suci.[66] Bagi kalangan Islam politik, kemajemukan dan kebebasan beragama tidak mendapat perhatian sama sekali dalam ceramah, tulisan-tulisan dan aktifitas-aktifittas mereka, meskipun, menurut saya, ada banyak kelemahan paradigma Islam politik atau Islam ideologis ini seperti ketidakpedulian terhadap konteks kitab suci dan teladan masa lalu, keengganan untuk belajar dari sumber-sumber yang berbeda, dan kekhawatiran berlebihan terhadap siapa saja yang berbeda (dissenting others). [67] Eksklusifisme, fundamentalisme, fanatisme, dan radikalisme agama dapat mencenderungkan penganutnya untuk tidak toleran terhadap perbedaan dan kemajemukan. Fundamentalisme juga bisa ditarik ke titik ekstrim dengan berbuat kekerasan – baik intelektual, psikologis maupun fisik – terhadap siapapun yang dianggap berbeda.
Sejarah membuktikan memang ada kaitan Islamisme radikal dan kebebasan beragama. Misalnya, di Mesir meskipun tidak ada undang-undang khusus bagi kaum minoritas, golongan minoritas agama dan etnik tetap hidup, termasuk Kristen, Bahai, Yahudi, Syiah, Nubia, Yunani, dan kaum Badui Arab. Pemeluk Kristen Ortodoks Koptik, berjumlah sekitar 10 persen dari sekitar 60 juta penduduk Mesir, yang hadir lebih dahulu dari Islam, secara umum dapat mempraktikan keyakinan mereka, menjalani hidup, bekerja, dan menikmati kemakmuran. Namun, sejak awal 1970-an, kebangkitan Islam politik, Ikhwanul Muslimin, menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dan memperburuk hubungan mayoritas-minoritas di negeri itu. Kaum Islam politik menuntut non-Muslim sebagai dzimmi, kelompok yang dilindungi, tapi bukan warga Negara penuh. Di pihak lain, Presiden Anwar Sadat berusaha mendapatkan legitimasi politik dari kaum Muslim, dan dikritik karena tidak dapat menjamin dan melindungi hak-hak kaum Koptik.[68]
Oleh karena itu, kalangan umat Islam, bersama-sama dengan umat-umat beragama lain, harus mengatasi berbagai masalah internal mereka dan mengatasi ketakutan-ketakutan terhadap segala sesuatu. Umat Islam harus berani berpikir kritis baik terhadap sejarah mereka maupun terhadap penafsiran-penafsiran yang tidak cocok yang menyengsarakan hidup bersama yang setara dan adil. Banyak hal dapat dilakukan: dialog yang terus menerus, pencarian atas nilai-nilai substansial, pendidikan civil society, pendidikan demokrasi, pendidikan pluralisme dan kebebasan beragama, memperbaik hukum yang kurang cocok dengan demokrasi, dan menegakkan hukum yang sudah disepakati, dengan sistem dan budaya politik yang kondusif. Seperti diingatkan Cak Nur, “Kebebasan adalah kata-kata kunci bagi ide modernitas, dan merupakan benteng bagi keabsahannya. Tetapi kebebasan akan benar-benar memberi manfaat hanya kalau terwujud dalam sistem yang memberi peluang bagi adanya pengecekan kepada kecenderungan tak terkendali…kecenderungan tak terkendali atas nama kebebasan melahirkan banyak penyakit sosial…. “[69]
Seperti ditunjukkan dalam sejarah modern, kemajemukan dan kebebasan beragama dijamin dan selalu berada dalam kerangka hukum. Negara tidak memiliki otoritas untuk menentukan sesat-tidaknya sebuah aliran dan keyakinan keagamaan semata-mata karena perbedaan keyakinan aliran tersebut dengan aliran-aliran utama. Negara hanya berhak dan bahkan bertindak ketika interaksi sosial yang damai terancam, tanpa memandang siapapun kelompok itu. Negara berhak dan wajib menegakkan hukum ketika aliran agama tertentu mengganggu dan merusak tatanan hukum dan ketertiban masyarakat (law and order). Hak kebebasan beragama bagi masyarakat berarti kewajiban Negara untuk menjamin hak tersebut. Negara memang protector utama kebebasan beragama, namun bukan satu-satunya. Civil Society memiliki kewajiban yang sama untuk menjamin kebebasan beragama dan menghargai kemajemukan.
Juga seperti ditunjukkan di atas, paham kemajemukan atau pluralisme bukanlah sesuatu yang asing dalam Islam. Kebebasan beragama pun bukanlah doktrin Barat sekuler yang seolah-olah tidak ada preseden normatif dan historisnya dalam Islam. Perjuangan mewujudkan nilai pluralisme dan prinsip kebebasan beragama tidak akan pernah selesai dan tidak akan pernah mudah. Agenda kearah sana adalah terus memperkuat basis normatif bagi pluralisme dan kebebasan beragama di tengah pertentangan wacana dan gerakan dewasa ini, dan sekaligus membangun politik Negara yang kondusif dan tidak represif dan pada saat yang sama memberdayakan kekuatan-kekuatan sipil yang mandiri yang menyokong tumbuhberkembangnya sikap terbuka, saling menghormati, dan sama-sama berjuang menegakkan keadilan dan kesejahteraan hidup bersama.
Masa depan kebebasan beragama di Indonesia tergantung pemerintah dan masyarakat sendiri. Bagi pemerintah, tantangannya adalah bagaimana merekonsiliasi perbedaan dan kesamaan, antara perbedaan dan kohesi sosial sebagai bangsa, antara perbedaan dan kesatuan ideologi Negara Pancasila. Di dunia pendidikan, diantara subjek yang perlu dikembangkan adalah sejarah agama-agama, filsafat agama, etika agama-agama, dan sejarah nasional yang lebih komprehensif, yang memuat contoh-contoh konkret pertemuan-pertemuan antarkeyakinan dan agama yang sejati dan harmonis. Permasalahan-permasalahan yang harus didiskusikan juga adalah bagaimana menyikapi kemajemukan agama-agama baru, gerakan-gerakan agama baru (new religious movements, yang sering disebut sekte, kultus, dan sebagainya), aliran-aliran kepercayaan dan kepercayaan orang asli (indigenous belief), kemajemukan gaya hidup, dan budaya di Indonesia. Paham kemajemukan dan kebebasan beragama adalah work in progress.
Paper ini disampaikan dalam Konferensi Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia”, Nurcholish Madjid Memorial Lecture, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu 19 July, 2006.
Muhamad Ali adalah dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alumnus MSc Islam dan Politik di Edinburgh University, Inggris tahun 2001, dan kini kandidat Doktor Sejarah di University of Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat. Ali bisa dihubungi di 0813-1913-0979 atau muhali74@hotmail.com
[1] Menurut beberapa survey tahun 2001, 2002 dan 2004, kecenderungan dan dukungan terhadap Islamisme atau Islam ideologis di Indonesia ternyata menguat, meskipun cara pandang dan tingkat pemahaman keagamaan Muslim Indonesia berbeda-beda. Akibat faktor struktural, legal, ekonomis, sosial, budaya dan keagamaan, hubungan agama dan Negara yang lebih bersifat formal menunjukkan salah satu masalah kemajemukan dan kebebasan beragama yang belum selesai, selain masalah-masalah kekerasan agama baik fisik dan mental seperti akan diuraikan dalam tulisan ini. Uraian survey-survey dimaksud bisa dilihat di Jamhari dan Jajang Jahroni (eds), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004).
[2] Almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) adalah tokoh bangsa dan intelektual publik yang prolifik, aktif dan fenomenal, serta berpengaruh bagi generasi pada zamannya dan generasi yang lebih muda, yang konsisten memikirkan dan berupaya mewujudkan bagaimana umat Islam (dan Islam) memandang kemajemukan internal umat Islam dan kemajemukan antar-umat beragama, sekaligus problem kebebasan beragama. Karena relevansinya, kontribusi Cak Nur harus terus digali dan dikembangkan – menemukan kekuatan-kekuatan argumen dan dasar-dasarnya sambil menyempurnakannya sesuai dengan perkembangan pemikiran dan konteks. Harus disadari, problem kebebasan beragama belum disepakati penafsiran dan perwujudannya dalam konteks Indonesia. Pemikiran dan dialog intensif dan terbuka harus melibatkan sebanyak-banyaknya elemen elit dan masyarakat mengenai bagaimana memahami dan menerapkan kebebasan beragama dalam konteks Indonesia kini dan masa depan. Cak Nur tidak hanya bicara paham kemajemukan, tapi berupaya menerapkannya dalam sikap dan perilaku sehari-hari seperti dalam Klub Kajian Agama Paramadia sejak 1986 hingga menjelang wafatnya. Cak Nur menulis, “pengalaman dalam Paramadina itu membuktikan adanya kemungkinan diwujudkannya prinsip persaudaraan dan kemanusiaan yang benar, yang pada intinya, setelah iman sebagai landasannya, ialah paham kemajemukan atau pluralisme.” Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar”, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), x.
[3] Negara-bangsa adalah konsep modern sejak abad ke-17 dan persoalan kebebasan beragama menjadi semakin kompleks dan berkarakter modern setelah periode Negara Bangsa ( Perjanjian Westpalia 1648 dianggap sebagai titik awal Negara Bangsa). Mengenai hubungan nation-state and modernitas, lihat misalnya E.J. Hobsbawm, Nations and Nationalism Since 1780: Programme, Myth, Reality, revised edition (New York and Melbourne: Cambridge University Press, 1990), p.14. Mengenai pertentangan Negara dan agama di Eropa dan Asia, lihat Peter van Der Veer & Hartmut Lehmann (eds), Nation and Religion: Perspectives on Europe and Asia (New Jersey: Princeton University Press, 1999), pp.3-14. Survey yang cukup baik mengenai hubungan agama dan Negara di negeri-negeri Muslim, lihat John L. Esposito & John O.Voll, Islam and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 1996).
[4] Georges Lefebvre, The Coming of the French Revolution, terjm. R.R. Palmer (New Jersey: Princeton University Press, 1979), hal.171.
[5] Kevin Boyle & Juliet Sheen (eds), Freedom of Religion and Belief: A World Report (London and New York: Routledge, 1997), p.2. Lihat juga uraian ringkas di bawah ini mengenai kebebasan beragama di AS dan Perancis.
[6] Ada perbedaan pendapat mengenai pengalaman Muslim awal dan Negara-negara Muslim modern menegakkan toleransi terhadap minoritas Muslim dan non-Muslim. Nurcholish Madjid secara umum memandang toleransi luar biasa penguasa Muslim zaman awal dan abad pertengahan terhadap kaum minoritas non-Muslim khususnya Yahudi dan Kristen. Nurcholish Madjid menyebutkan bagaimana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madinah yang pluralistik dengan Mitsaq al-Madinah-nya, lalu Umar bin Khatthab dengan Piagam Aelia di Yerussalem, Umar bin Abd al-Aziz, dan penguasa Islam di Spanyol abad pertengahan. Cak Nur mengutip pendapat seorang atheis Bertrand Russel yang menyebut “sikap kurang fanatik” (lack of fanaticism) dari kaum Muslim dan mengutip pendapat Dimont,dalam the Indestructible Jews, yang memuji toleransi Islam terhadap Yahudi dibandingkan ketika Yahudi dibawah Spanyol Kristen. Banyak pujian penulis Barat terhadap toleransi Islam secara umum dibandingkan Eropa abad pertengahan. Lihat Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar: Ummat Islam Indonesia Memasuki Zaman Modern”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal. xix, xxvii; Xavier de Planhol, Minorités en Islam: Géographie Politique et Sociale (France: Flammarion, 1997), p.42.
[7] Untuk gagasan kebebasan dalam agama dan peradaban Buddha, Cina, Asia Tenggara, Jepang, Sima, Burma, Vietnam, dan Indonesia, lihat David Kelley & Anthony Reid (eds.), Asian Freedoms: The Idea of Freedom in East and Southeast Asia (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 228 halaman. Paham kebebasan ditafsirkan berbeda-beda. Buddhisme, yang majemuk, misalnya menafsirkan kebebasan sebagai lepas dari “ ketakutan dan kepedihan”, “kebebasan spiritual individual”, kebebasan yang diperoleh melalui proses hikmah (prajna), pencerahan (bodhi) dan nibbana”. Peter A. Pardue, Buddhism: A Historical Introduction to Buddhist Values and the Social and Political Forms They Have Assumed in Asia (New York & London: Macmillan, 1968), hal. 5-10.
[8] Dua kitab yang sangat baik yang menguraikan sejarah aliran-aliran dalam Islam dan agama-agama besar adalah Al-Farq bain al-Firaq karya al-Baghdadi dan Kitab al-Milal wan- Nihal karya Shahrastani (w.1153 M). Namun Shahrastani, karena penganut Ash’ari, tetap mengatakan bahwa keselamatan hanya satu aliran, Ahlus Sunnah wal-Jamaah, sementara semua yang lain adalah menyimpang. Lihat Muhammad b. Abd al-Karim Sharastani, Muslim Sects and Divisions, trans. A.K. Kazi & J.G. Flynn (London: Kegan Paul International, 1984), hal.10. Dalam dunia akademik Barat, buku-buku teks sekolah dan universitas memuat penjelasan sejarah dan doktrin agama-agama dunia dan gerakan-gerakan agama baru, namun tidak secara khusus membahas paham kemajemukan dan kebebasan beragama. Gagasan kebebasan dan pluralisme hanya dibahas tersendiri oleh para pemikir dan belum menjadi tradisi akademik di dunia pendidikan sekalipun. Namun salah satu tujuan belajar agama-agama adalah tumbuhnya toleransi dan penghargaan terhadap agama-agama itu,, serta komunikasi antarbudaya dan antaragama, bukan untuk mengadili agama-agama lain berdasarkan kriteria agama sendiri. Lihat Michael Molloy, Experiencing the World Religions: Tradition, Challenge and Change, cet. ke-2 (California, London, Toronto: Mayfield Publishing Company, 2002), hal.20-21. Ninian Smart, The World’s Religions: Old Traditions and Modern Transformations, edisi ulang (Melbourne: Cambridge University Press, 1995), hal.9-11.
[9] John Stuart Mill, On Liberty, pertamakali diterbitkan 1859 (London & New York: Penguin Books, 1985); Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (London & New YorkL Penguin Books, 1968)
[10] Pemikir-pemikir ini seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid, Seyyed Hossen Nasr, Ali Asghar Enginer, Muhammad Shahrur, Muhammad Arkoun, Farid Essak, Abdullah al-Naim, Khalid Abu Fadl, Amina Wadud, Fatima Mernissi, Munawir Sadjali, A. Mukti Ali, Alwi Shihab, Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi. Gagasan-gagasan mereka cukup dikenal. Umumnya mereka juga memiliki website, mailing list, dan lembaga-lembaga. Selain mereka, kalangan muda yang berorientasi pada kemodernan dan progresifitas bergerak dalam bentuk jaringan-jaringan dan komunitas-komunitas epistemik yang perkembangannya menggembirakan, meskipun masih kurang pengaruhnya di tengah masyarakat akar rumput dibandingkan dengan gerakan-gerakan lain yang berorientasi pada konservatisme agama.
[11] Q.2:256. Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Quran, revised edition (Mayland: Amana Publications, 1989), penjelasan no.300, hal. 106.
[12] Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Quran, Q.88:21-23, catatan no.6107, hal.1642.
[13] ibid., Q.10:99, catatan.1480, hal.505.
[14]F.E. Peters, The Monotheists: Jews, Christians, and Muslims in Conflict and Competition, vol.I, The Peoples of God (New Jersey: Princeton University Press, 2003), hal.307; vol.II: The Words and Will of God, hal,378-9.
[15] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xiv, xix.
[16] Abdullah Yusuf Ali, Q.16:125, catatan 2161, hal.669.
[17] Penjelasan lebih lanjut bagaimana kepentingan politik dan militer mempengaruhi penafsiran para ahli fiqh Islam pada abad pertengahan, lihat Abu Sulaiman, The Islamic Theory of International Relations. Dalam Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), catatan kaki no.190, hal.140.
[18] Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal.132-3.
[19] M. Rashid Rida, Tafsir Al-Manar (Beirut: Dar al-Marifah, 1324 H), IX, hal,665.; dalam M. Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam hl. 133.
[20] Mahmud Syaltut, Islam ‘Aqidah wa Syariah (Kuwait: Mathabi’ Dar al-Qalam, t.t.), hal. 292-3; Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal.128-9.
[21] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal.xxi.
[22] Gamal (Jamal) Al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’addudiyah fi al-Mujatama al-Islamy, Taufik Damas (Bekasi Timur: Penerbit Menara, 2006), hal. 14-21.
[23] ibid., xviii.
[24] Ibid. xx.
[25] Ibid., xii-xiii.
[26] Ibid, 178-185.
[27] Abdullah Yusuf Ali, ayat 3:85, catatan no.418, hal.150.
[28] ibid., ayat 5:69; catatan 779, hal.271.
[29] Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary Issues, Jeddah: the Saudi Publishing House 1388 AH, hl.13-14, dikutip oleh Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xviii.
[30] Ibid, xix.
[31] Ibid. xxi.
[32] Ibid,xix-xx
[33] Dr. Taha Jabir al ‘Alwani, The Ethics of Disagreement in Islam (Herndon, VA: Institute of International Islamic Thought, 1997), ix. http://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/1565641175/qid=984780503/sr=1-1/ref=sc_b_2/104-3277215-527034903/sr=1-1/ref=sc_b_2/104-3277215-5270349
[34] “Dalam kenyataan, tidak ada suatu masyarakat yang benar-benar tunggal, uniter (unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan didalamnya… persatuan dapat terjadi dan justru kebanyakan terjadi dalam keadaan berbeda-beda (unity in diversity, E Pluribus Unum, Bhinneka Tungggal Ika). Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xviii-xix, 159.
[35] Muhamad Ali, “Pluralisme dan Kebebasan Beragama di Indonesia”, Indopos, 16 Juli 2006.
[36]Sebelum agama-agama dunia, nusantara menganut agama-agama tribal atau etnik yang bersifat lokal, percaya terhadap ruh (spirit belief) seperti Dayak, Nias, Bugis-Makassar, dan hampir semua suku lain. Mengenai sejarah agama-agama di nusantara, lihat Waldemar Stohr and Piet Zoetmulder, Les Religions d’Indonésie (Paris: Payot, 1968); Anthony Reid, “Religious Revolution”, Southeast Asia in The Age of Commerce: The Lands below the Winds (1988); Anthony Reid, Southeast Asia in The Age of Commerce: Expansion and Crisis (1993); Martin Ramstedt, Hinduism in Modern Indonesia: a minority religion between local, national and global interests, 2004; J.G. De Casparis and I.W. Mabbett, “Religion and Popular Beliefs of Southeast Asia before c.1500”, Cambridge History of SEA, vol.1, no.1; Barbara Andaya & Yoneo Ishii, “Religious Developments in SEA c.1500-1800”, Cambridge History of Southeast Asia, vol.2, no.1.
[37]Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, jilid 2, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), hal. 149.
[38] Ibid., hal. 698.
[39] Karel Steenbrink, “Kata Pengantar”, Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), xii.
[40] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), hal.30.
[41] Menurut Steenbrink, ada beberapa tahap pertemuan kolonial dan Islam Indonesia yang sebetulnya campuran dan tidak monolitik. Kontak awal cukup bersahabat karena motif dagang, kadang hati-hati, ingin tahu, atau ambil jarak. Pada fase ini kolonial menganggap orang Islam sebagai kaum tersesat tapi dihargai (respected heretics). Fase selanjutnya, muncul prasangka-prasangka jelek, sehingga Muslims dibenci (detestable heretics). Lalu, kebencian muncul terhadap Muslim yang dianggap tidak bisa dipercaya dan fanaik. Selanjutnya, pada period misi (1850-1940), terjadi antisipasi dan akomodasi. Lihat Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950 (1993)
[42] Dr. Eddy Kristiyanto, OFM, “ Sekapur Sirih”, Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, jilid 2, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), hal.xix-xxii.
[43] Berbagai sumber www.theJakartaPost.com, ww.Kompas.com, www.detik.com di bulan Agustus-September 2005.
[44] Lihat laporan-laporan dalam “Negeri Syariah Tinggal Selangkahi”, Gatra, No.25, Tahun XII, 6 Mei 2006.
[45] Di sini saya ingin menguraikan fatwa-fatwa MUI tahun 2005. Pada tahun 2005 MUI mengeluarkan sebelas fatwa: fatwa perlindungan kekayaan hak intelektual (HAKI), perdukunan dan peramalan, doa bersama, perkawinan beda agama, pewarisan beda agama, kriteria maslahah, fatwa tentang pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama, tentang pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan pribadi, aliran Ahmadiyah, dan hukuman mati dalam tindak pidana tertentu. Doa bersama dalam fatwa ini adalah berdoa yang dilakukan secara bersama antara umat Islam dengan non Islam dalam acara resmi kenegaraan maupun kemasyarakatan dalam waktu dan tempat bersamaan, baik dilakukan dalam bentuk atau beberapa orang berdoa sedang yang lain mengamini maupun dalam bentuk setiap orang berdoa menurut agama masing-masing secara bersama-sama. Mengamini orang yang berdoa termasuk berdoa. Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non Muslim tidak dikenal dalam Islam, oleh karenanya termasuk bid’ah. Do’a bersama dalam bentuk setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh orang non-Islam. Doa bersama dalam bentuk Muslim dan non-Muslim berdoa secara serentak, misalnya mereka membaca teks doa secara bersama-sama, hukumnya haram. Doa bersama dalam bentuk seorang non Muslim memimpin doa maka orang Islam haram mengikuti dan mengamininya. Doa bersama dalam bentuk setiap orang berdoa menurut agama masing-masing hukumnya mubah. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab menurut muktamar adalah haram dan tidak sah. Pluralisme dalam fatwa ini adalah faham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Karena itu setipa pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sementara agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan hidup berdampingan di dalam surga. Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al Quran dan Sunnah) dengan menggunakan akal dan pikiran yang bebas semata, hanya menerima doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Sekulerisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama. Agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sementara hubungan sesama manusia diatur hanya berdasar kesepakatan sosial. Pluralisme, sekulerisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud diatas adalah faham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti semua itu. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama) dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan agama dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam artian tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak merugikan.Soal Ahmadiyah, MUI menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah di luar Islam, sesat, dan menyesatkan. Serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Ahmadiyah supaya kembali ke ajaran Islam yang hak sejalan dengan Al Qur’an dan Hadits. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Lihat fatwa-fatwa MUI di http://www.mui.co.id/
[46] Lihat the Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, US State Department, “International Religious Freedom Report 2005”, http://www.state.gov/
[47] Chaider S. Bamualim et all (eds), Communal Conflicts in Contemporary Indonesia (Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta & the Konrad Adenauer Foundation, 2002); Harold Crouch, “Indonesia, Transisi Politik dan Kekerasan Komunal”, dalam Irfan Abubakar & Chaider S. Bamualim (eds), Transisi Politik & Konflik Kekerasan (Jakarta & Utrecht: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta & European Centre for Conflic Prevention, 2005), hal. 3-24.
[48] Lihat misalnya Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001). Muhamad Ali, Teologi Pluralis Multikultural (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003).
[49] Dalam subtopik “Pluralisme Islam dan Pluralisme Pancasila”, Nurcholish Madjid tidak sependapat dengan Dr Walter Bonar Sidjabat yang menulis, “Yang kita temukan dalam penelitian kita ialah bahwa perbedaan dalam hakikat “Weltanschauung” Islam dan ‘Weltanschauung” yang disajikan Pancasila menyebabkan ketidaksesuaian yang menyatakan dirinya dalam hubungan Islam dan Negara. Ketidaksesuaian itu terutama diperbesar oleh kenetralan prinsip Kemahakuasaan Tuhan dalam konstitusi dan watak dasar yang eksklusif dari kepercayaan islam (Walter Bonar Sidjabat, ‘Religious Tolerance and the Christian Faith: A Study Concerning the Concept of Divine Omnipotence in the Indonesian Constitution in the Light of Islam and Christianity, Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1982, h.91). Menurut Nurcholish Madjid, terbuka luas untuk semua agama di Indonesia untuk bertemu dalam pangkal tolak ajaran kesamaan (kalimah sawa), yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sikap mencari titik kesamaan ini mempunyai nilai keislaman. Isi masing-masing sila pun mempunyai nilai keislaman. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxxii-xxxiii, xxxix.
[50] Belakangan ini Majelis Ulama Indonesia dan beberapa ormas-ormasi Islam menganggap adanya pertentangan antara upaya-upaya “sekulerisasi” dan “de-sekulerisasi” Pancasila. Bagi MUI dan ormas-ormas Islam ini, mereka tetap merujuk pada Pancasila, meskipun setelah mengeluarkan fatwa-fatwa haram Ahmadiyah, pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama, doa bersama, kawin beda agama, dan seterusnya.
[51] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 160-2.
[52] Ibid., 163.
[53] Ibid., 174-5.
[54] Alwi Shihab, “Tantangan Pluralisme Agama”, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1997), hal.39-44.
[55] Dalam Diskusi 27 Februari 2006 di Leiden University, dan Interfaith dialogue di Den Haag, 28 Februari 2006.
[56] Dalam sebuah wawancara, Ketua MUI Ma’ruf Amin mengatakan, yang mereka haramkan adalah pluralisme agama antara lain seperti yang dikembangkan Budhi Munawar Rachman ini. Untuk pemikiran Budhy Munawar-Rachman, lihat bukunya Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), 446 halaman. Untuk artikel-artikel lepas di media massa mengenai pluralisme, bisa dibaca kumpulannya di Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001); Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural (Jakarta; Penerbit Buku Kompas, 2003).
[57] Jacques Robert, “Religious Liberty and French Secularism”, terj dari “Enjeux du Siècle: Nos Libertes”, 2002., hal. 638.
[58] Kevin Boyle & Juliet Sheen (eds), Freedom of Religion and Belief: A World Report Hal. 294-8.
[59] Ibid., hal. 153-62.
[60] Ibid, hal. 163.
[61] Dikutip oleh Andreas Hasenclever & Volker Rittberger, “Does Religion Make A Difference?: Theoritical Approaches to the Impacts of Faith on Political Conflicts”, Millenium: Journal of International Studies, vol.29, no.3, 200, hal.642.
[62] Lihat diskusi tentang pemikir-pemikir pluralis ini di Budhi Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001).
[63] William R. Hutchison, Religious Pluralism in America, 2003.
[64] Roger Scruton, A Dictionary of Political Thought, 1996.
[65] Dikutip Cak Nur dari Paul David, the Other Worlds (New York: Simon & Schuster, 1980, hal.33 dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 506.
[66] Riaz Hasan, Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Islam, terj. Jajang Jahroni, Udjang Tholib dan Fuad Jabali (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal.272.
[67] Fatima Mernissi menunjuk ketakutan kaum Muslim di dunia (Fear of the Muslim World) seperti ketakutan pada Barat yang asing, ketakutan pada Sang Imam, ketakutan pada demokrasi, ketakutan pada kebebasan berpikir, ketakutan pada individualisme, ketakutan pada masa lalu dan ketakutan pada masa kini. Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan, terj. Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1994).
[68] Lihat lebih rinci di John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, terj. R. Astuti (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hal.255-258.
[69] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cxiii.
DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA?
Muhamad Ali
Problem kemajemukan dan kebebasan beragama hingga kini belum selesai di manapun di bagian dunia ini, termasuk Indonesia. Kini banyak pemikir mencari jalan-jalan terbaik, apalagi ketika sebagian elemen Negara dan tokoh masyarakat terus menunjukkan pernyataan, sikap, dan kebijakan yang defensif dan sering tidak toleran (intolerant) terhadap perbedaan dan kemajemukan masyarakat Islam dan bangsa Indonesia mengenai berbagai isu keagamaan.[1] Di tengah berbagai keberatan dan kecaman terhadap kebebasan beragama dan paham kemajemukan belakangan ini, tulisan ini mencoba membahas alasan-alasan mengapa kita justru perlu membumikan paham kemajemukan dan kebebasan beragama di Indonesia. Bagaimana paham kemajemukan dan prinsip kebebasan beragama dapat dipahami dan diterapkan dalam konteks keIslaman, keIndonesiaan dan kemoderenan?[2]
Universalitas Problem Kemajemukan dan Kebebasan Beragama
Alasan pertama mengapa kita perlu mengembangkan paham kemajemukan dan menegakkan kebebasan beragama secara serius adalah bahwa masalah ini merupakan problem universal, bukan semata-mata problem negara-negara di belahan dunia lain seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Secara historis, meskipun telah muncul sejak awal sejarah manusia, problem kebebasan beragama menjadi semakin rumit setelah masyarakat-masyarakat dimana Negara dan agama di satu sisi dan agama-agama di sisi lain terus mengalami ketegangan dalam konteks Negara-bangsa.[3] Istilah kebebasan beragama (freedom of religion/faith/belief, liberté de conscience, al-hurriyah al-diniyyah) menjadi problem penting bahkan setelah Revolusi Perancis 1789, yang berlatar belakang perang antaragama, inkuisisi dan diskriminasi, yang mencita-citakan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (faternité), antara lain merujuk pandangan filosofis bahwa “manusia lahir dan tetap bebas dan setara hak-haknya (“Men are born and remain free and equal in rights”).[4] Problem kebebasan beragama menjadi lebih krusial lagi sejak awal abad ke-20 ketika minoritas-minoritas keagamaan baru muncul di Negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia, dan semua Negara di dunia akibat migrasi, melonjaknya angka kelahiran, konversi, revolusi komunikasi dan globalisasi. Kini kebebasan beragama dan intoleransi bukanlah problem unik satu Negara, bahkan di negera-negara demokratis sekuler seperti Amerika Serikat dan Perancis.[5] Di Negara-negara yang kemudian memiliki jumlah penduduk Muslim yang sangat signifikan, bahkan mayoritas, problem kebebasan agama juga menjadi contentious issue hingga sekarang.[6]
Kemajemukan dan kebebasan beragama bukanlah milik unik bangsa-bangsa Barat, seperti sering dituduhkan banyak kalangan yang anti-pluralisme dan anti-kebebasan beragama. Dalam sejarah peradaban dunia, kemajemukan dan kebebasan adalah milik semua peradaban besar dunia (Mesir, Yunani, Romawi, Eropa-Amerika, India, Cina, Arab, dan sebagainya), meskipun selalu ada peradaban yang dominan dalam kurun dan tempat tertentu yang menimbulkan konflik. Kebebasan adalah juga milik bangsa-bangsa Asia meskipun istilahnya berbeda (tidak selalu berbahasa Inggris freedom atau liberty). Gagasan kebebasan adalah universal. [7] Bagi Nurcholish Madjid misalnya, Islam harus memberikan sumbangannya bagi peradaban umat Islam sendiri dan peradaban dunia modern. “Al-hikmah dhalatun lil mukmin; fahaisu wajadaha fahuwa ahaqqu biha”.Hikmah adalah barang hilang orang beriman, dimanapun hikmah ditemukan ia harus diambil. Problem kemajemukan dan kebebasan di tempat-tempat lain dapat menjadi pelajaran sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Dan bagi Muslim di Indonesia adalah untuk menggali teks-teks kitab, sejarah, teladan orang-orang baik, dan bahan-bahan modern untuk membangun pemikiran yang cocok dan tepat bagi masyarakat Indonesia modern.
Di kalangan Muslim masalah kebebasan beragama dan kemajemukan bukan soal asing, meskipun paham kemajemukan dan kebebasan beragama baru digali secara lebih sistemaris di pertengahan abad ke-20 ini. Kitab-kitab Arab yang membahas aliran-aliran Islam dan agama-agama dunia sudah muncul sejak lama seperti karya Al-Baghdadi dan karya Al-Syahrastany.[8] Jika dalam sejarah intelektual Barat, tokoh-tokoh pemikir kebebasan seperti John Stuart Mill dari Inggris yang menekan kebebasan individual dan pemerintahan demokratis, dan Jean Jacques Rousseau dari Perancis yang menekankan civil religion, agama warga Negara, mendasarkan pemikiran mereka pada sejarah dan konteks Katolik dan Protestan sebagai agama mayoritas di Barat ketika itu,[9] maka di dunia Islam, pemikir-pemikir kebebasan muncul di paruh akhir abad ke-20 berusaha berpikir tentang arti kemajemukan dan kebebasan bagi kaum Muslim yang hidup di dunia modern. Pemikiran-pemikiran mereka dilanjutkan, dikritisi dan dikembangkan oleh banyak mahasiswa dan kaum muda.[10] Problem kebebasan beragama dan kemajemukan telah menjadi perhatian para cendekiawan dan tokoh bangsa kita, meskipun kenyataannya belum seperti dicita-citakan.
Kesejatian Beragama Mensyaratkan Kebebasan
Alasan selanjutnya mengapa kita harus membumikan paham kemajemukan dan kebebasan beragama adalah karena keberagamaan yang sejati mensyaratkan kebebasan memilih. Keluhuran manusia terletak pada kebebasannya. Dan tidak akan ada tanggung jawab (taklif) dan balasan baik buruk apabila tidak ada kebebasan manusia untuk memilih. Kemerdekaan manusia adalah asas keberagamaan yang sejati. Pemaksaan dan keterpaksaan untuk beragama melahirkan kepalsuan dan ketidaksejatian (superficial atau psedo-religiosity). Pemaksaan yang dilakukan orang atau Negara terhadap orang atau kelompok lain untuk beragama dengan cara tertentu yang tidak sesuai dengan pikiran dan nuraninya sendiri dapat menimbulkan ketidaklanggengan. Begitupula, larangan terhadap orang untuk pindah agama, keluar dari satu agama dan masuk kepada agama lain, justru akan berakibat buruk terhadap orang tersebut dan masyarakat pada umumnya. Ayat Al-Quran yang paling jelas menyatakan hal ini adalah “Tidak ada paksaan dalam agama, telah jelas petunjuk dan kesalahan”(Q.,2:256). Pakar tafsir modern Abdullah Yusuf Ali misalnya, menafsirkan bahwa pemaksaan (compulsion) tidak sesuai dengan agama, karena 1) agama berdasarkan pada keyakinan dan kehendak (faith and will) dan agama tidak akan ada gunanya (meaningless) apabila dijalankan dengan kekuatan paksa (force). 2) Kebenaran dan Kesalahan telah begitu jelas ditunjukkan melalui kasih sayang Tuhan sehingga tidak perlu ada keraguan, dan 3) perlindungan Tuhan berlangsung terus menerus dan Rencana-Nya adalah mengajak manusia untuk menghindari dari Kegelapan kepada Cahaya.[11]
Hanya dengan kebebasan, doktrin tanggung jawab masuk akal. Tanggung jawab individual menuntut bahwa seseorang harus bebas menentukan jalan hidupnya. Dan hak untuk menentukan jalan hidup ini diberikan Tuhan. Seseorang bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Artinya, manusia manapun tidak memiliki hak untuk menentukan jalan hidup seseorang dengan cara paksaan. Misalnya, ayat lain menyatakan “Barangsiapa mencari petunjuk, maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa ingin tersesat, maka ketersesatan itu untuk dirinya sendiri. Seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain dan Kami tidak akan menyiksa sampai Kami mengutus seorang rasul” (Q. 17:15). Jalan hidup untuk beriman dan tidak beriman ditentukan manusia sendiri. Jelas sekali firman Allah berikut: “Kebenaran datang dari Tuhan kalian, siapa yang ingin beriman, berimanlah, dan siapa yang ingin ingkar, ingkarlah.” (Q.18:29).
Tidak hanya itu. Nabi sekalipun tidak memiliki otoritas untuk menentukan keimanan seseorang. “Kamu tidak punya wewenang memberi petunjuk kepada mereka..” (Q., 2:272) Nabi diutus untuk mengajar dan membimbing manusia. Dia tidak diutus untuk memaksakan kehendak, atau untuk menghukum mereka, kecuali sejauh ada wewenang dan alasan yang membenarkan dalam konteks interaksi sosial. Hukuman adalah hak prerogatif Allah saja (Q..88:21-23).[12] Tuhan sekalipun tidak menghendaki semua manusia beriman kepada-Nya. “Jika Tuhanmu menghendaki, maka berimanlah semua orang yang ada di muka bumi ini. Apakah engkau ingin memaksa manusia untuk beriman semuanya?” (Q, 10:99). Memang di kalangan orang beriman, selalu ada godaan untuk memaksa orang lain untuk mengikuti jejak mereka, seperti disinyalir A.Yusuf Ali,
If it had been Allah’s Plan or Will not to grant the limited Free Will that He has granted to man, His omnipotence could have made all mankind alike: all would then have had Faith, but that Faith would have reflected no merit on them…. Men of Faith must not be impatient or angry if they have to contend against Unfaith, and most important of all, they must guard against the temptation of forcing Faith, i.e. imposing it on others by physical compulsion, or any other forms of compulsion such as social pressure, or inducements held out by wealth or position, or other adventitious adventages. Forced faith is no faith. They should strive spiritually and let Allah’s Plan work as He wills. [13]
F.E. Peters dalam bukunya The Monotheists: Jews, Christians, and Muslims in Conflict and Competion menyimpulkan bahwa adalah dalam sejarahnya, kaum monoteis yang paling sulit bersikap toleran. Kaum monoteis lahir sebagai fanatik, sebuah sikap yang mereka pelajari dari Pencipta menurut mereka, Tuhan pencemburu (a jeolous God) yang tidak membiarkan pesaing dan menuntut kesetiaan (fidelity) para pengikutnya. Tidak heran, ketika situasi memungkinkan, kaum Yahudi, Kristen, dan Muslims memperlihatkan zero tolerance terhadap kaum qoyim, ethne, pagani atau kafirun yang harus menerima konsep Satu Tuhan atau kalau tidak mati, jadi budak, atau warga kelas dua.Tetapi itu dulu, sekarang di zaman modern, Peters beragumen, ada hukum bersama yang harus ditaati semua. Kebebasan beragama telah diakui sebagai hak asasi manusia baik oleh Yahudi, Kristen maupun Islam, dalam pemahaman dan penerapan yang berbeda-beda. Kaum monoteis ini kemudian harus mengakui keberagamaan Ibrahim sebagai titik temu.[14] Pendapat Peters ini sejalan dengan pendapat Cak Nur. Bagi Cak Nur, sifat alami kehidupan manusia adalah kebebasan itu sendiri. Dengan analogi kisah Adam dan Hawa, Cak Nur ingin menegaskan, kehidupan harus ditempuh dengan penuh kebebasan.
Jika kita kembali kepada metaforik tentang Adam, maka sesungguhnya manusia diberi kebebasan sepenuh-penuhnya untuk menempuh hidup ini, namun dengan cara begitu rupa sehingga tidak melanggar norma-norma yang lebih tinggi (Adam dan Hawa, dalam lingkungan kebun diberi kebebasan untuk “memakan buah-buahan kebun itu dengan leluasa dan sekehendak hati” mereka, namun dilarang mendekati sebuah pohon tertentu- (Q., 2:35)….Penuturan itu dengan jelas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya hidup ini harus ditempuh dengan penuh kebebasan, dan dibatasi hanya oleh hal-hal yang jelas dilarang…”[15]
Kesejatian beragama juga tidak akan tercapai tanpa metode penyiaran agama yang baik, tidak memaksa dan tanpa kekerasan.Doktrin dakwah/misi Islam misalnya, juga mensyaratkan penggunaan hikmah (ilmu pengetahuan dan pengalaman), pelajaran yang baik, dan dialog yang terbaik, seperti sering disebut: “Ajaklah ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah, pelajaran yang baik dan lakukanlah dialog dengan mereka dengan cara yang terbaik.(Q.16:125). Dalam menjelaskan ayat ini, Abdullah Yusuf Ali menafsirkan, “Our preaching must be, not dogmatic, not self-regarding, not offensive, but gentle, considerate, and such as would attract their attention.”[16] Begitu pula, doktrin amar ma’ruf nahi munkar, yang sering dijadikan alasan menyerang tempat-tempat yang dianggap dekat dengan maksiat dan gerakan-gerakan vandalistik kalangan tertentu, juga seharusnya memenuhi syarat-syarat hikmah dan dialog yang baik itu. Hanya dengan cara-cara santun, dialogis, tanpa pemaksaan apalagi kekerasan, maka keberagamaan yang sejati dan ikhlash (genuine and sincere religioisity) dapat tercapai. Lagipula, tujuan-tujuan syariat (maqasid al-syariah) tidak akan dipenuhi tanpa perwujudan kebebasan dalam beragama.
Legitimasi teologis terhadap metode yang baik, sering dipinggirkan dengan ayat-ayat Al-Quran lain seperti ayat ketidakrelaan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim hingga menganut agama-agama mereka, bahwa “Agama disisi Allah adalah Islam”, ayat jihad fi sabilillah terhadap syirik dan kekufuran dan semacamnya. Ayat-ayat kelompok ini diambil secara parsial dan tekstual, tanpa memperhatikan sebab-sebab dan konteks ayat-ayat tersebut diturunkan serta ayat-ayat lain yang dapat memberi pemahaman berbeda yang lebih terbuka.[17] Kontradiksi antar ayat Al-Quran akan terjadi apabila penafsiran dilakukan secara tekstual dan parsial. Sebagian kelompok penentang metode yang baik menafsirkan bahwa ayat-ayat jihad dalam arti perang melawan kemusyrikan dan kekufuran menghapus ayat-ayat ajakan dakwah dengan cara santun di atas. Harus dijelaskan, tafsiran seperti ini lemah dan tidak melihat konteks ayat-ayat jihad diturunkan. Ayat-ayat jihad dan qital seperti “Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah (Q.8:39), “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya (Q.22:39) jika ditafsirkan secara kontekstual dan relasional (dengan memperhatikan munasabah al-ayat) akan melahirkan pemahaman bahwa perang hanya bisa dilakukan sebagai upaya defensif menjaga keselamatan dan ketertiban. Menurut Abu Zahrah misalnya, berperang hanya boleh untuk membela kebebasan beragama dan mencegah penindasan agama.[18] Muhammad Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar lebih jauh berpendapat, ayat diizinkannya perang dalam kondisi teraniaya justru menguatkan ayat tidak ada paksaan dalam agama. Kedua ayat ini menunjukkan, semua orang bebas menentukan kepercayaan agama menurut pilihannya. Tak seorangpun dapat dipaksa untuk melepaskan agama yang dianut, juga seseorang tidak akan dihukum atau disiksa hanya karena masalah agama.[19]
Begitu pula, ada alasan yang cukup mempengaruhi pola pikir umat Islam dalam melakukan pemaksaan. Yaitu hadis tentang murtad. Ulama Mesir Mahmud Syaltut misalnya, menjelaskan bahwa pendapat ulama tentang hukuman mati atas kemurtadan didasarkan pada hadits Nabi dari Ibnu ‘Abbas: man baddala diinahu faqtuluhu (siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia). Padahal hadits ini hadits ahad (berasal dari satu jalur perawi saja, bukan hadits mutawattir yang diriwayatkan banyak orang) sehingga tidak bisa dijadikan sandaran hukum yang kuat. Andaikan hadis ini benar, konteks hadis itu diucapkan harus dilihat. Faktor kunci yang menentukan hukuman bagi murtad adalah apabila si murtad melakukan penyerangan, atau permusuhan kepada orang beriman atau melakukan kekacauan bagi ketertiban dan keselamatan Negara. Penafsiran ini didukung oleh tafsir ayat yang melarang pemaksaan dalam agama.[20]
Karena itu, tidak saja agama tidak boleh dipaksakan (Q., 2:256; 10:99), bahkan Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa para penganut pelbagai agama, asalkan percaya kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta berbuat baik, semuanya akan selamat—(Lihat Q, 2:62; 5:26, beserta berbagai kemungkinan tafsirnya). Inilah yang menjadi dasar toleransi agama yang menjadi ciri sejati Islam dalam sejarahnya yang otentik, suatu semangat yang merupakan kelanjutan pelaksanaan ajaran al-Qur’an sebagai berikut:
Oleh karena itu (wahai Nabi) ajaklah, dan tegaklah engkau sebagaimana diperintahkan, serta janganlah engkau mengikuti keinginan nafsu mereka. Dan katakana kepada mereka, “Aku beriman kepada kitab manapun yang diturunkan Allah, dan aku diperintahkan untuk bersikap adil di antara kamu. Allah (Tuhan yang Maha Esa) adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu sekalian. Bagi kami amal perbuatan kami, dan bagi kamu amal perbuatanmu. Tidak perlu perbantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua, dan kepada-Nya semua akan kembali. (Q.42:15)[21]
Otentisitas Kebebasan Beragama dan Paham Kemajemukan
Sejalan dengan di atas, alasan lain mengapa paham kemajemukan dan kebebasan beragama penting ditegakkan di Indonesia adalah bahwa paham kemajemukan dan kebebasan beragama didasarkan pada dalil-dalil yang otentik. Seperti dijelaskan Jamal al-Banna dalam Al-Ta’addudiyah fi al-Mujtama al-Islamy dan Muhammad Sachedina dalam the Islamic Roots of Democratic Pluralism (2001), Al-Quran adalah fondasi otentik bagi pluralisme. Al-Qur’an mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit, kemajemukan suku-suku dan bangsa-bangsa, penciptaan segala sesuatu berpasang-pasangan dan tidak tunggal, mengakui perbedaan kapasitas dan intelektualitas manusia, mengajak berlomba dalam kebajikan, membiarkan sinagog-sinagog, gereja-gereja, masjid-masjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya untuk berdiri kokoh, memperhatikan kehidupan akhirat dan kehidupan dunia (dengan segala kompleksitas dan kemajemukan didalamnya), mengakui kebebasan berkeyakinan (untuk beriman atau tidak), untuk masuk dan keluar dari agama tertentu.[22]
Al-Quran juga menjelaskan dalam hanya ayat-ayatnya adanya persaudaraan hanafiyah samhah dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam konsep Al-Quran, penganut agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah saudara seiman dan sebapak, Ibrahim, meskipun mereka saling berselisih dalam sejarahnya. Agama-agama mereka adalah satu dan berasal dari satu Tuhan. Lebih luas lagi bahkan, selain Yahudi dan Kristen, Islam juga bersaudara dengan seluruh penganut keberagamaan yang benar, yang tidak sombong dan tidak berbuat kerusakan. Tuhan menurunkan ratusan ribu nabi-nabi dan rasul-rasul yang tidak diceritakan siapa mereka. Karenanya tidak ada alasan untuk mengkafirkan dan mengutuk masuk neraka Konfusianisme, Buddha, Mirza Ghulam Ahmad, dan penganut-penganut keyakinan lainnya. Apalagi Al-Quran juga menjelaskan, tidak ada pembedaan antar para Nabi dan perbedaan dan perselisihan antarumat beragama harus diserahkan kepada Tuhan saja.
Dalil-dalil Al-Quran juga menunjukkan bahwa kemajemukan atau pluralitas ummat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam Kitab Suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (Q, 49:13), maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.“ [23] Cak Nur berpendapat, pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, Sunnatullah), yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Dan Islam adalah agama yang Kitab Suci-nya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme atau syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. [24] Al-Quran memperingatkan bahwa seluruh ummat manusia tanpa kecuali adalah bersaudara (Q, 49:13). Setiap kelompok manusia dibuatkan oleh Tuhan jalan dan tatanan hidup mereka, agar manusia dengan sesamanya berlomba dalam berbagai kebaikan (Q, 5:48).
Dalil-dalil yang otentik tentang kemajemukan dan kebebasan itu disimpangkan oleh keberlebihan terhadap aspek-aspek lahiriyah dan simbolistik agama dan oleh absolutisme keagamaan. “Hendaklah kita selalu mampu melihat titik-titik persamaan antara semua ajaran itu dan jangan terpukau oleh hal-hal lahiriyahnya.Halangan terhadap pertumbuhan dan perkembangan ialah sikap-sikap serba mutlak (absolutistic) akibat adanya keyakinan diri sendiri telah sampai dan mencapai kebenaran mutlak,…bagaimana mungkin suatu wujud nisbi seperti manusia dapat mencapai suatu wujud mutlak.”[25]
Menurut Cak Nur, konsep pluralisme berkaitan dengan konsep tentang kesatuan Kebenaran. Sikap-sikap unik Islam dalam hubungan antar agama ialah toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran. Kebenaran Universal adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manifestasi lahiriyahnya beraneka ragam. “Tiadalah manusia itu melainkan semula merupakan umat yang tunggal, kemudian mereka berselisih.” Menurutnya, pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tawhid. Al-Quran mengajarkan paham Kemajemukan keagamaan (religious plurality). Ajaran itu tidak perlu diartikan sebagai secara langsung pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari (dalam hal ini, bentuk-bentuk nyata keagamaan orang “Muslim” pun banyak yang tidak benar, karena secara prinsipil bertentangan dengan ajaran dasar Kitab Suci Al-Quran, seperti sikap pemitosan kepada sesama manusia atau makhluk yang lain, baik yang hidup atau yang mati). Akan tetapi, demikian Cak Nur, ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada agama-agama yang ada untuk bertumpu pada suatu titik pertemuan, common platform, kalimah sawa, sebagaimana firman Allah, yang Muhammad Asad terjemahkan sbb: Say: “O followers of earlier revelations! Come unto that tenet which we and you hold in common: that we shall worship none but God, and that we shall not ascribe divinity to aught beside Him, and that we shall not take human beings for our lords beside God.” (Q, 3:64)[26]
Dalam ayat lain 3:85, A Yusuf Ali memberi penjelasan sbb: The Muslim position is clear. The Muslim does not claim to have a religion peculiar to himself. Islam is not a sect or an ethnic religion. In its view all Religion is one, for the Truth is one. It was the religion preached by all the earlier prophets. It was the truth taught by all the inspired Books. In essence it amounts to a consciousness of the Will and Plan of Allah and a joyful submission to that Will and Plan. If anyone wants a religion other than that, he is false to his own nature, as he is false to Allah’s Will and Plan. Such a one cannot expect guidance, for he has deliberately renounced guidance. [27] A Yusuf Ali memberi komentar firman lain Q, 2:62 dan 5:69 : “As God’s Message is one, Islam recognized true faith in other forms, provided that it be sincere, supported by reason, and backed up by righteous conduct.[28] Di sini A Yusuf Ali menekankan konsep Islam tentang universalitas kebenaran Tunggal di tengah berbagai bentuknya yang partikular selama tulus dan berbuat baik.
Kemajemukan dan Paham Kemajemukan dalam Sejarah Islam
Sejarah panjang umat Islam telah melahirkan teladan bagi paham kemajemukan dan kebebasan beragama, selain masalah-masalah. Kebebasan beragama juga diterapkan dalam Konstitusi Madinah (Mitsaq al-Madinah) dalam ruang dan waktu ketika itu. Pada dataran struktural dan politik, Nabi Muhammad s.a.w. berusaha mencari titik pertemuan dengan berbagai golongan di Madinah dengan terlebih dahulu mengakui hak eksistensi masing-masing kelompok dalam dokumen itu, meskipun kemudian ada pelanggaran-pelanggaran. Nabi sendiri telah memberi contoh untuk hubungan religius-sekular ketika beliau bersabda, “Aku hanyalah seorang manusia, jika kuperintahkan sesuatu yang menyangkut agama, taatilah, dan jika kuperintahkan sesuatu dari pendapatku sendiri, pertimbangkanlah dengan mengingat bahwa aku hanyalah seorang manusia.” Atau ketika beliau bersabda,”Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu.”[29]
Khalifah kedua, Umar ibn al-Khaththab, meneruskan Sunnah Nabi itu dalam sikapnya terhadap penduduk Yerusalem, dalam dokumen yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Aelia”[30]Para pemimpin dan ulamanya telah lama mengembangkan pluralisme agama yang tidak hanya meliputi kaum Yahudi dan Kristen beserta berbagai aliran dan sektenya yang secara nyata disebutkan dalam al-Qur’an sebagai Ahl al-Kitab, tetapi juga mencakup golongan-golongan agama lain. Kaum Majusi atau Zoroastrian sudah sejak zaman Nabi dipesankan agar diperlakukan sebagai Ahl al-Kitab, dan itulah yang menjadi kebijakan Khalifah Umar. Begitu Jenderal Muhammad ibn Qasim, ketika pada tahun 711 membebaskan Lembah Indus dan melihat orang-orang Hindu di kuil mereka, dan setelah diberitahu bahwa mereka itu juga mempunyai kitab suci, menyatakan bahwa kaum Hindu adalah termasuk Ahl al-Kitab.[31] Mengutip Max I Dimont (The Indestructible Jews, New York, 1973), Cak Nur menulis, “Para khalifah Umawi di Andalusi, Spanyol, juga menjalankan politik kemajemukan yang mengesankan…orang-orang Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun dan bersama-sama menyertai peradaban yang gemilang. Kerukunan agama itu tidak harus mengakibatkan penyatuan agama. Sebagian besar rakyat Spanyol tetap beragama Kristen. Tapi kerukunan itu menghasilkan percampuran darah lebih daripada percampuran agama (bloodlines even more than religious affiliation)[32]
Pemikiran Islam yang peduli terhadap kemajemukan dan kebebasan beragama juga muncul di beberapa tempat dari berbagai pendekatan. Dr. Taha Jabir al-‘Alwani misalnya, menulis sebuah buku tentang etika berbeda pendapat dalam Islam. Dia menunjukkan aspek-aspek positif dari perbedaan pendapat dan memperlihatkan generasi awal Muslim telah menerapkan doktrin tersebut sebagai kekuatan yang menghidupkan masyarakat mereka. Al-Alwani mengajak umat Islam untuk belajar kembali seni dan etika Agreement to Disagree (setuju untuk tidak setuju) karena dengan begitu mereka akan lebih mampu menghadapi dan menyelesaikan situasi-situasi dan persoalan-persoalan yang bisa memecah belah. Lebih lanjut dia menegaskan,“More importantly, however, they must master the methods of making disagreement work for them, rather than against them.” [33]
Kemajemukan dan Kebebasan Agama dalam Sejarah Nusantara
Alasan berikutnya mengapa paham kemajemukan dan kebebasan beragama harus dibumikan di Indonesia adalah pengalaman sejarah bangsa: masa lalu dan kontemporer. Kemajemukan adalah karakteristik hampir semua bangsa saat ini. Semua tahu, Indonesia adalah bangsa campuran dari segi ras, suku, bahasa, dan agama: animisme, Hindu, Buddha, Islam, Protestan, Katolik, Konfusianisme, dan sebagainya. Cak Nur menegaskan, “Salah satu ciri menonjol negeri kita ialah keanekaragaman, baik secara fisik maupun sosial-budaya….demikian juga secara keagamaan. Sekalipun Islam merupakan agama terbesar di Indonesia, namun ia mengenal perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang besar dari daerah ke daerah. Selain Islam, empat di antara agama-agama besar di dunia diwakili di negeri kita: Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha “ [34]
Ada asumsi umum bahwa karena Indonesia adalah Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, maka kelompok-kelompok Islam berhak melakukan desakan untuk mewujudkan hukum yang eksklusif bagi orang Islam. Kesalahan berpikir “hak mayoritas” seperti ini diidap banyak aktifis partai dan gerakan yang mengklaim Islam. Menurut anggapan ini, umat Islam berhak untuk menyusun hukumnya sendiri (“syariat” Islam) dan umat-umat beragama lain agar mengurus diri mereka sendiri. Formalisasi hukum Islam sebagaimana dimaui para aktifis politik dan gerakan keagamaan saat ini sama sekali bukan pilihan yang mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi seperti diyakini para penganjur dan pejuangnya. Apalagi, resiko bagi umat Islam dan bangsa secara keseluruhan lebih besar daripada manfaat yang diimpikan para pejuang syariat formal ini. Dalam konteks gerakan formalisasi ini, perlu diingatkan, Al-Quran menyatakan bahwa bukan hanya Kitab yang dijadikan landasan, tapi juga hikmah. Dalam banyak ayat Al-Quran, kitab dan hikmah digandengkan, karena Kitab tidaklah cukup untuk menjawab masalah manusia. Hikmah adalah wawasan, ilmu pengetahuan, kecerdasan, kemampuan menggunakan nalar, keterampilan mengelola perbedaan dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan berdasarkan ilmu dan pengalaman sejarah. Hikmah bisa pula berarti falsafah- kecenderungan untuk mendekati kebenaran. Hikmah bisa berarti kemampuan mewujudkan kemaslahatan umum dalam masyarakat dengan cara-cara yang bijak dan konstruktif, dalam semua bidang kehidupan termasuk ekonomi, sosial, dan politik. Dengan demikian, melihat kemajemukan Indonesia berarti kita menggunakan hikmah, termasuk dalam menjawab permasalahan-permasalahan agama dan bangsa kita kini dan masa depan.[35]
Menjelang kemerdekaan tahun 1945, kemajemukan agama-agama yang ada dan pemahaman akan nilai-nilai luhur agama melahirkan komitmen para pendiri bangsa (the Founding Fathers) untuk menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu, meskipun dalam perjalanannya Negara dan masyarakat tidak selalu mampu menegakkannya dalam kebijakan dan kenyataan. Disepakatinya prinsip kebebasan beragama dalam UUD 1945 dan Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ideologi Negara memperlihatkan dan sekaligus menutupi kenyataan sebenarnya tentang bagaimana kehidupan beragama di negeri kita (reveals and conceals the truth). Ideologi dan Konstitusi Indonesia ini di satu sisi menunjukkan adanya jaminan konstitusi, tapi di sisi lain dapat menutupi kenyataan masih tegangnya hubungan antarakomunitas agama dan antara pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat hingga saat ini.
Kenyataan kemajemukan dalam sejarah nusantara telah ada sejak datangnya ke daerah-daerah berkepercayaan animis para penganut Hindu, lalu Buddha, dan belakangannya baru Islam, Protestan, Katolik dan sebagainya. Proses Indianisasi/Hinduisasi, lalu Islamisasi, dan Kristenisasi pun berlangsung tidak merata dan perlahan-lahan.[36]Masalah yang mengganjal hubungan Muslim-Kristen di Indonesia khususnya adalah kenyataan dan persepsi keterkaitan antara Kristenisasi dan Kolonialisme (Portugis, Inggris, dan Belanda). Kebijakan umum pemerintah kolonial Belanda, khususnya selama dasawarsa pertama abad ke-20, ialah mendukung pertobatan kepada agama Kristen dengan membatasi pengaruh agama Islam, seperti terjadi di Flores, Sumba, Timor, Toraja, dan Papua.[37] Agama Kristen menjadi saingan utama agama Islam.[38] Peran Snouck Hurgronje dalam membedakan Islam kultural dan Islam politik juga menjadi ganjalan tersendiri. Pemerintah kolonial Belanda tidak bersikap netral di bidang agama. [39]Campur tangan pemerintah kolonial misalnya dalam peradilan agama (sejak 1882), pengangkatan penghulu, pengawasan terhadap perkawinan dan perceraian sejak 1905, ordonansi perkawinan di Jawa Madura sejak 1929, pengawasan terhadap pendidikan Islam, ordonansi guru sejak 1905, pengawasan terhadap kas masjid sejak 1893, dan pengawasan terhadap ibadah haji. [40] Hubungan kolonialisme Belanda dan Islam Indonesia mengalami ketegangan-ketegangan yang berbekas hingga sekarang dalam memori sejarah sebagian umat Islam. [41]
Memang tidak ada seorangpun yang beragama Katolik ikut serta dalam komite persiapan kemerdekaan pada April-Agustus 1945 dalam merumuskan paham Negara dan konstitusi. Tetapi sesudah proklamasi, Ignatius Joseph Kasimo menjadi anggota Komite Nasional Pusat, yang bertugas menjadi organ konsultatif bagi Presiden dan wakilnya. Umat Katolik juga mendirikan Partai Katolik Republik Indonesia pada 8 Desember 1945 yang bertujuan membela RI dan memperkuat keberadaan Negara yang baru lahir. Tokoh Katolik Mgr. Soegijo, juga mendukung sepenuhnya proklamasi. Ketika Jogjakarta diduduki pasukan Belanda pada Desember 1948, banyak orang Katolik bergabung dalam pasukan gerilya memerangi agresi Belanda, dua diantaranya Ignatius Slamet Rijadi dan Agustinus Adisutjipto gugur. Di Sumatera, orang-orang Katolik juga aktif dalam gerilya. Demikian, meskipun secara kuantitatif tidaklah banyak, karena posisinya minoritas, sejak awal komunitas Katolik berperan secara nasional. Orang-orang Katolik adalah orang-orang Indonesia tulen.[42]
Di Indonesia, pembatasan dan pelanggaran kebebasan agama belum berkurang secara signifikan. Kekerasan atas nama agama telah menciptakan kehidupan yang tidak nyaman, tidak tertib, rasa takut, kekacauan dan prasangka-prasangka yang berkepanjangan. Di Indonesia, ada masa dimana kejadian-kejadian pelanggaran cukup minim, sementara waktu lain penuh dengan polemik, konflik dan pelanggaran agama. Meskipun secara geografis masalah kebebasan beragama tidak merata, kasus-kasus lokal begitu cepat menjadi masalah-masalah nasional dan kadang internasional. Kita ingat kembali kejadian-kejadian dan isu-isu kontroversial kontemporer yang berkaitan dengan kemajemukan dan kebebasan beragama:
· Kekerasan fisik (physical violence) oleh jaringan teroris dalam bentuk teror bom di Bali (2002) dan Jakarta (2003, 2004), oleh kelompok militan etnis-agama di Ambon dan Poso dari 1999 hingga 2003. Kekerasan fisik termasuk perusakan tempat-tempat ibadah (gereja, masjid), misalnya Front Pembela Islam menutup paksa sekitar 23 gereja di Bandung dalam periode September 2004- Agustus 2005 dan ratusan lainnya di tempat-tempat lain yang mereka tuduh tidak “legal”. [43]
· Kekerasan psikologis (psychological violence) berupa intimidasi terhadap kelompok-kelompok Islam liberal, terhadap para pendukung anti-RUU Antipornograpi, dan terhadap gerakan yang kritis terhadap formalisasi perda-perda syariat Islam seperti kaum muda Lembaga Advokasi Anak Rakyat (LAPAR) di Sulawesi Selatan.[44]
· Intoleransi intelektual (intellectual intolerance) berupa pelabelan murtad, kafir, sesat, atau musuh dalam berbagai pendapat dan fatwa dalam penerbitan dan pertemuan yang umumnya tidak dihadiri oleh pihak tertuduh (pengadilan keyakinan in absentia), fatwa pengharaman menghadiri perayaan Natal Bersama, haramnya doa bersama, haramnya perkawinan beda agama, dan semacamnya. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2005 juga mengharamkan pluralisme, sekulerisme dan liberalisme seperti yang mereka definisikan.[45] Langsung ataupun tidak langsung fatwa ini berpengaruh terhadap perilaku masyarakat terhadap gerakan Islam liberal dan Ahmadiyah. Sebagian kelompok masyarakat menyerang anggota Ahmadiyah di Parung Bogor, menutup masjid-masjid mereka, termasuk menyegel masjid seperti terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kelompok FPI juga menyerang Jaringan Islam Liberal.
· Diskriminasi masyarakat (individual and social discrimination) berupa kesulitan dan hambatan untuk membangun tempat-tempat ibadah (gereja, masjid, kuil, dsb), larangan untuk memakai simbol-simbol atau pakaian keagamaan, hambatan untuk masuk kedalam universitas, pekerjaan, rumah sakit dan tempat-tempat publik lainnya, pengurusan Kartu Tanda Penduduk, kelahiran, dan pernikahan.
· Diskriminasi terhadap gerakan-gerakan agama atau spiritualitas baru (discriminations against new religious movements) seperti Jamaah Salamullah/Komunitas Eden, Darul Arqam, dan komunitas-komunitas spiritual lainnya.
· Keluhan-keluhan dan aduan-aduan individu (individual complaints) yang biasanya disampaikan di surat pembaca media massa, di email-email, atau di pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan dibatasinya atau dilanggarnya kebebasan atau rasa nyaman menganut, menjalankan atau tidak menjalankan keyakinan tertentu.
· Undang-undang, peraturan-peraturan, dan kebijakan yang kontroversial yang masih dianggap diskriminatif (controversial discriminatory laws and policies) yang perlu dikaji ulang seperti Undang-undang Perkawinan, Undang-Undang Pendidikan Nasional, SKB Menteri tentang Pedoman Penyiaran Agama (1969, 2006), Pedoman Penyiaran Agama (1978), Aturan Bantuan Luar Negeri terhadap Lembaga-lembaga Keagamaan di Indonesia (1978), dan Peraturan-peraturan daerah dan distrik yang bernuansa ajaran agama tertentu (Perda Syariat). [46]
Khususnya sejak jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998, konflik lokal dan regional yang tampak bernuansa agama ini lebih terkait dengan masalah keterbukaan politik yang mendadak, akutnya kesenjangan ekonomi, perebutan sumber-sumber ekonomi, desentralisasi yang terlalu radikal, pertarungan elit kekuasaan, kegagalan institusi demokratis dan lemahnya pemerintah pusat dan daerah, tidak adanya peradilan yang efektif, serta lemahnya law enforcement aparat hukum dalam menjamin hukum dan ketertiban.[47] Karena anggapan bahwa terorisme tidak terkait agama, maka dialog antar agama dan antarperadaban sama sekali tidak diperlukan (dan dituduh sebagai semata-mata proyek Amerika dan Negara-negara Barat). Ada pendapat karena konflik-konflik di Ambon dan Poso bukan masalah agama, maka tidak diperlukan dialog antaragama. Pendapat ini lemah. Meskipun agama bukan faktor yang paling menentukan (most determinant factor), para teroris dan ideolog mereka tetap menggunakan agama dalam ideologi dan aksi mereka. Peristiwa-peristiwa di Ambon dan Poso juga menggunakan simbol-simbol dan teks-teks agama untuk melegitimasi tindakan-tindakan kekerasan mereka. Akibat aspek agama dianggap sebagai sekedar faktor penyebab pelengkap atau penguat, maka usaha-usaha serius pemikiran keagamaan tentang kekerasan komunal tidak mendapat perhatian yang semestinya.
Kita maklumi pula, intoleransi di Indonesia terkait dengan kompleksnya masalah. Ada beberapa penjelasan yang sering disebut:
· Hambatan psikologis: sejarah perang agama (termasuk Perang Salib, Crusade), sejarah imperialisme Barat di Indonesia dan di dunia Islam, anggapan Kristen sebagai agama penjajah (bagi yang lain ini ini pembacaan sejarah yang parsial tidak komprehensif dan terlalu subjektif), keyakinan bahwa penganut agama kita selalu baik dan penganut agama tandingan selalu buruk). Dalam hal ini, harus disadari ada noda-noda hitam dalam sejarah umat beragama- agama kita dan agama orang lain, Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu memiliki sejarah hitam.
· Hambatan teologis: keyakinan bahwa agama saya adalah agama satu-satunya yang diridhai Tuhan, penafsiran ayat-ayat kritis terhadap Yahudi dan Nashrani “orang Yahudi dan orang Nashrani tidak akan rela terhadap kaum Muslim“, karakter misi agama seperti perintah menyebarkan Islam, dan doktrin misi Kristen untuk menyampaikan Firman Tuhan kepada umat-umat agama lain dan belum beragama. Di sini harus diggali teks-teks agama secara lebih komprehensif, kontekstual dan kritis (tidak hanya berdasarkan Teks Kitab tapi berdasarkan Hikmah dan Ilmu)
· Hambatan politik: perebutan kekuasaan/faith and power/knowledge and power – siapa yang menguasai power menguasai keberagamaan masyarakat –partai-partai politik dan gerakan-gerakan keagamaan. Karena itu harus diciptakan sistem dan kultur politik yang terbuka, egaliter, demokratis, civilized.
· Hambatan sosiologis: kesenjangan ekonomi menjadi api dalam sekam yang membutuhkan pemicu: sikap eksklusif, isolasionis, cuek, terlalu mementingkan komunalitas (communalism), solidaritas kelompok dengan memusuhi kelompok lain (in-group solidarity by out-group enmity). Disini pentingnya dibangun inklusivisme politik, kepedulian terhadap sesama, tanpa menafikan kebebasan individualitas, dan menggabungkan identitas dan moralitas publik.
· Problem hermenetik/penafsiran: kebebasan beragama versus penyebaran agama, kebebasan beragama sebagai prinsip atau sebagai ajaran cabang (furuiyah) dan ayat-ayat kitab suci yang tampak bertentangan. [48]
Masalah-masalah, isu-isu, dan hambatan-hambatan di atas seharusnya menyadarkan semua pihak untuk sama-sama urun rembuk sungguh-sungguh membangun kehidupan beragama yang bebas dan bertanggung jawab seperti maksud sesungguhnya dari Pancasila dan Undang-undang Dasar. Masing-masing penganut agama berhak menafsirkan Pancasila. Namun, Pancasila seharusnya mengatasi kepentingan partikular yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup bersama Pancasila. Bagi Cak Nur, terbuka luas untuk semua agama di Indonesia untuk bertemu dalam common platform dalam paham Ketuhanan Yang Maha Esa,[49] namun lebih penting lagi, penafsiran terhadap Pancasila tidak bisa bersifat hegemonik dan memaksa atau sekedar mengesahkan keinginan-keinginan yang mengganggu rasa keadilan (sense of justice) dalam sebuah kehidupan bersama (vivre ensemble).[50]
Harus terus ditegaskan kemajemukan umat Islam Indonesia, meskipun mayoritas penganut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan fiqh mazhab Syafii yang menunjukkan adanya kesatuan Islam Indonesia. Kemajemukan telah ada sejak lama sebelum kolonial. Secara politik, di zaman kolonial Belanda, ada sikap non-kooperasi (seperti Sarekat Islam) dan sikap kooperasi (seperti Muhammadiyah) Di bidang pendidikan ada pertentangan antara Muhammadiyah dan al-Irsyad, yang menerima unsur-unsur modern sistem sekolah belanda (HIS, MULO, AMS, HBS, dll) dan Nahdlatul Ulama yang menolak sistem Belanda dan mempertahankan sistem pesantren dan madrasah. Juga pertentangan antara kaum “modernis (Muhammadiyah, Persatuan Islam, al-Irsyad) dan kaum “tradisionalis” (NU, Persatuan Umat Islam, al-Washliyah, Perti, Mathlaul Anwar, dan Nahdlatul Watan) yang tidak lepas dari subjektifitas dan bias. Antara gerakan pemurnian dari bidah dan gerakan tradisionalis, antara mereka yang mementingkan esoteris (bathini) dan yang eksoteris (dhahiri), antara mayoritas Sunni dan minoritas Syiah, dan seterusnya. [51] Bagi Cak Nur, terjadinya percekcokan dalam masyarakat harus dipandang sebagai hal yang wajar. Tidak ada masyarakat yang terbebas sama sekali dari silang-selisih. Ada adagium Arab: ridhannas ghayatun la tudrak—kerelaan semua orang adalah tujuan yang tidak pernah tercapai. Yang tidak wajar ialah jika perselisihan itu meningkat sehingga timbul situasi saling mengucilkan dan pemutusan hubungan atau eks-komunikasi, dalam bentuk pengkafiran (takfir) oleh yang satu terhadap yang lain. Kontroversi yang tampak seperti ada dalam bidang pemahaman itu sering secara tersamar-sama- antara lain karena tidak diakui oleh yang bersangkutan sendiri- bercampur dengan unsur-unsur di luar masalah pemahaman. Unsur-unsur luar itu dapat dipadatkan dalam kata-kata “kepentingan tertanam” (vested interest), baik pribadi maupun kelompok, yang terbentuk oleh berbagai faktor: sosiologis, politis, ekonomis, kesukuan, kedaerahan, dan seterusnya.[52] Di sinilah, dalam lingkup umat Islam, Cak Nur menegaskan, pentingnya ukhuwwah Islamiyah.[53]
Pemikiran paham kemajemukan agama di Indonesia muncul secara lebih meluas sejak Cak Nur yang mengembangkan sikap keterbukaan dalam beragama. Selain Cak Nur ada Dr. Alwi Shihab, yang melihat pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan adanya kemajemukan, harus ada keterlibatan aktif. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, seperti kota kosmopolitan karena tanpa interaksi aktif. Pluralisme tidak sama dengan relativisme (semua agama adalah sama). Baginya, pluralisme agama bukan sinkretisme. Bagi Shihab, seorang pluralis membuka diri, belajar dan menghormati penganut lain, tapi committed terhadap agama yang dianutnya.[54] Sementara Prof Dr Dien Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah saat ini, berpendapat, yang ditentang MUI harusnya bukan pluralisme tapi relativisme agama, yang berkeyakinan keyakinan agama kita relatif, dan semua agama benar. Agama memang benar, tapi menurut penganutnya masing-masing. Bagi Dien Syamsuddin, secara teologis, sulit untuk mencapai titik temu agama-agama, karena masing-masing agama menganggap agamanya paling benar. Menurutnya yang penting diupayakan adalah dialog etika dan kerjasama sosial, mencari kesamaan-kesamaan nilai-nilai hidup bersama secara sosial, seperti mengembangkan global ethics.[55] Budhy Munawar Rachman juga mengembangkan Islam pluralis dalam upaya mencari titik temu kaum beriman berdasarkan landasan-landasan filosofis dan teologis yang saling menguatkan. Belajar banyak dari Cak Nur, Budhy Munawar-Rachman mencoba mengapreasiasi berbagai pemikiran kontemporer seperti Perennial Philosophy, the One in the Many, Transendental Unity of Religions, Passing Over,Theology of Religions, dan Liberative Theology dalam upaya mencari sikap keberagamaan yang menghargai kemajemukan dan kesetaraan.[56]
Paham Kemajemukan dan Kebebasan Beragama dalam Sejarah Modern
Paham kemajemukan dan kebebasan beragama muncul dalam sejarah modern yang kompleks dan tidak monolitik. Para pemikir, pakar politik, hukum tata Negara, teolog, dan sebagainya terus mencari jalan keluar hubungan agama-agama dan Negara. Di Perancis misalnya, kebebasan beragama mengalami sejarahnya sendiri –yang bisa menjadi bahan pelajaran (meskipun tidak seluruhnya cocok) bagi Negara-negara lain seperti Indonesia. Di Eropa, ada Negara-negara yang menerapkan campuran sistem Negara-Gereja seperti Inggris, Denmark, Yunani, Swedia, dan Finlandia. Ada yang menganut pemisahan seperti Belanda, Perancis, dan Irlandia dan ada yang menggunakan kombinasi pemisahan dan hubungan kerjasama Negara-agama seperti Jerman, Belgia, Austria, Spanyol, Itali dan Portugal. Pengaruh agama di Irlandia lebih kuat daripada di Swedia meskipun Irlandia menganut pemisahan, sementara di Swedia campuran. Secara umum, hubungan agama-Negara lebih lemah di Negara mayoritas katolik dibandingkan dengan Negara-negaa mayoritas Protestan atau Kristen Ortodoks. Di Belanda, sekulerisasi tidak berarti meniadakan organisasi masyarakat dan partai politik yang berbasis pada agama. [57]
Di Republik Perancis, perdebatan kebebasan agama dan hubungan antara agama dan Negara adalah panjang, sejak Revolusi Perancis 1789 yang juga menghasilkan the Declarations of Rights. Konsep pemisahan dalam term laicité menjadi dasar filosopis politik hubungan agama dan Negara yang hampir dapat dikatakan selesai terutama sejak Konstitusi Perancis (Laws of Separation) tahun 1905 yang mengakhiri status istimewa Katolik dalam Negara. Laicité sebagai sekulerisme ala Perancis tidak berarti memusuhi agama-agama, tapi mentoleransi agama-agama. Laicite juga tidak berarti kebebasan tanpa batasan hukum. Konstitusi Perancis tahun 1905 menyatakan: Pasal 1: Republik menjamin kebebasan iman (liberté de conscience). Ia menjamin pelaksanaan beragama secara bebas (free exercise of religion), dengan pembatasan-pembatasan yang dituntut kepentingan ketertiban umum. Pasal 2: Republik tidak mengakui, menggaji atau mensubsidi denominasi agama manapun. Landasan hukum ini, yang menunjukkan netralitas Negara, tidak berarti bahwa Negara tidak menghargai peran agama-agama yang ada. Perancis tidak memiliki konsep agama-agama yang diakui (recognized religions), berbeda dengan Indonesia yang memiliki konsep agama-agama yang diakui ini.Perancis menghargai semua agama pada level yang setara secara hukum dan politik. Perancis mengakui adanya koeksistensi finansial. Politics of non-recognition or neutrality tidak berarti Perancis tidak memberi bantuan apapun kepada organisasi-organisasi agama. Subsidi dapat diberikan kepada aktifitas-aktifitas keagamaan yang memiliki karakter kepentingan umum seperti kedermaan (charities), rumah sakit, perawatan kesehatan, dan sejenisnya. Negara juga dapat mengurus pengajaran agama (religious instruction) di sekolah-sekolah pemerintah, rumah sakit, penjara-penjara, asalkan menjamin free exercise of religion.
Di tengah perjalanannya, Perancis juga mengalami masalah-masalah dan kontroversi-kontroversi, seperti diskriminasi rasial (anti-semiticism) yang masih berlangsung, kerusuhan sipil tahun 1968, pelaksanaan hari-hari agama yang dijaga ketat Keamanan, penghancuran kuburan-kuburan Yahudi dan Muslim pada 1994, kasus pelarangan jilbab dan kerusuhan etnik beberapa tahun lalu. Dalam kasus pelarangan jilbab misalnya, pada tahun 1989 De Conseil d’ État berpendirian, pemakaian simbol-simbol agama di sekolah-sekolah umum dilarang karena mengandung unsur-unsur provokasi, pemaksaan, dan propaganda agama tertentu di tempat-tempat tesebut. Menariknya, semua perdebatan itu merujuk pada laicité itu. Desakan-desakan terhadap pemaknaan kembali laicité terus bergulir, terutama dari kalangan minoritas Muslim, Yahudi dan lain-lainnya, seperti aspirasi minoritas Muslim untuk diakui sebagai warga Perancis penuh (seperti slogan “French Islam”).[58] Lebih menarik lagi, seperti dalam konteks Indonesia, di tengah dominasi struktural dan kultural Katolik, perdebatan di Perancis mengarah pada lebih besarnya pengakuan terhadap pluralitas agama-agama dan ekspresi kebudayaan (multikulturalitas) yang ada.
Kebebasan Beragama dijamin berbagai dokumen Negara dan internasional sejak lama, mulai dari Magna Charta (Piagam Agung 1215, yang membatasi kekuasan raja Inggris John), Bill of Rights (Undang-undang Hak 1689, oleh Parlemen Inggris sebagai perlawanan terhadap Raja James II), Declarations des Droits de l’Homme et du Citoyen (Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara, yang menandai perlawanan terhadap Raja dan absolutisme agama-negara di Perancis pada 1789), Bill of Rights (1789, di Amerika Serikat (AS)),Civil Rights Act (1964, AS), Universal Declarations of Human Rights (1948). Di AS, Civil Rights Act 1964 misalnya, melarang diskriminasi keagamaan dalam masalah tempat tinggal, pendidikan, dan meminta perusahaan-perusahaan untuk membuat usaha-usaha wajar untuk mengakomodasi keyakinan dan praktek keagamaan kecuali jika akomodasi itu memberatkan dan merugikan bisnis perusahaan. AS yang mayoritasnya Protestan tidak lepas dari masalah-masalah kebebasan beragama, seperti pesan-pesan kebencian (message of hate) dalam bentuk fisik dan intimidasi terhadap Yahudi, Katolik, Muslim, Black, dan minoritas-minoritas lain seperti orang asli Indian, Hispanik, Filipina, dan sebagainya. Penyerangan terhadap gereja, masjid juga terjadi. Muslims, sebelum dan setelah 11 September 2001, mengalami intoleransi verbal dan fisik di tempat keja dan masyarakat. Kurangnya penerimaan dan persamaan bagi kepercayaan-kepercayaan asli Indian masing terjadi terlepas dari the American Indian Religious Freedom Act sejak 1978.[59] Sementara masalah-masalah kebebasan beragama berlanjut, upaya-upaya gerakan dan sikap toleransi dan pluralisme di Amerika semakin banyak. Selama beberapa dekade terakhir di AS, kaum minoritas Katolik, Yahudi, Islam mulai diakui menjadi bagian mainstream kehidupan Amerika. Keyakinan-keyakinan marginal seperti Jehovah’s Witnesses, Mormons, Christian Scientists, Seventh-Day Adventists dan Assemblies of God mulai diterima. Buddhisme, Hindu dan Islam bahkan berkembang pesat di AS. Terutama setelah pertengahan abad ke-20, pluralisme sebagai partisipasi menguat di AS.[60]
Bagi kalangan teolog, persoalan kebebasan dan kemajemukan agama harus diselesaikan melalui pendekatan intelektual-teologis, tidak semata-mata etik, sosial atau politik. Hans Kung, teolog asal Jerman, yang mempengaruhi Muqaddimah UNESCO, misalnya menegaskan, “wars begin in the minds of men, it is in the minds of men that the defenses of peace must be constructed.” Dia melihat pentingnya strategi dialog yang medelegitimasi penggunaan kekerasan dalam menyalurkan aspirasi keagamaan maupun kepentingan-kepentingan lainnya. [61] Teolog-teolog terus mengembangkan teologi agama-agama dengan pendekatan dan penekanan yang berbeda-beda. Misalnya, Paul Knitter menekankan relativisme agama, seperti kalimatnya: “All religions are the relative- that is, limited, partial, incomplete, one way of looking at thing. To hold that any religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong, offensive, narrow-minded; Deep down, all religions are the same – different paths leading to the same goal.” (Paul Knitter, 1985), “Transcendent Unity of Religions” (Frithjof Schuon, 1984), “Other religions are equally valid ways to the same truth” (John H.Hicks, God and the Universe of Faiths, 1993). “Other religions speak of different but equally valid truths” (John B. Cobb Jr.), “Each Religion expresses an important part of the truth” (Raimundo Panikkar). [62] Terlepas dari perbedaan pengungkapan dan penekanan, pemikiran-pemikiran teologis ini mengarah pada pencarian titik temu dan kesetaraan agama-agama.
Pluralisme terkait erat dengan masalah kebebasan beragama. Menurut Webster’s Third International, pluralisme adalah “an ideal or impulse, the acceptance and encouragement of diversity. Pluralism is a state of society in which members of diverse ethnic, racial, religious, or social groups maintain an autonomous participation in and development of their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization.” Pluralism juga merupakan konsep, doktrin, atau kebijakan yang mendukung keadaan pluralis. Pluralisme berbeda dengan diversitas semata. Makna pluralisme seperti ini tidak muncul di Amerika Serikat sampai 1920an. Menurut William Hutchison, pluralisme memiliki tiga tingkat makna: toleransi, inklusi dan partisipasi. Pluralisme sebagai toleransi adalah seperti ketiadaan persekusi, hak golongan yang dianggap menyimpang “deviant” untuk hidup. Pluralisme sebagai inklusi adalah memasukkan yang lain (outsiders) kedalam kelompok mainstream, tetapi tidak sepenuhnya setara. Adapun pluralisme sebagai partisipasi berarti individu dan kelompok-kelompok diberi mandat untu membentuk dan menerapkan agenda masyarakat secara sejajar. [63]
Dalam konteks politik, seperti menurut Roger Scruton, pluralisme berarti “the belief in the distribution of political power through several institutions which can limit one another’s action, or through institutions none of which is sovereign. Pluralism is the advocacy of a particular kind of limited government”. Pluralisme juga berarti “the belief that the constitution of a state ought to make room for varieties of social customs, religious, and moral beliefs, and habits of association, and that all political rights should be traced back to the constitution, and not to any social entity other than the state itself.” Dalam situasi demikian, yang bersifat sosial dan yang bersifat politik harus dipisahkan sedapat mungkin, dan institusi-instutisi politik yang seragam berdampingan dengan masyarakat yang pluralis.Dengan begitu, masyarakat sipil dimana bermacam kelompok hidup berdampingan dalam satu wilayah dimana secara sosial, politik dan ekonomi saling bergantung. [64]
Menyadari masalah-masalah, sebab-sebab, dan hambatan-hambatan seperti disinggung diatas, cukup sulit menebak masa depan kebebasan beragama di Indonesia. The future is inherently uncertain.[65] Masa depan kebebasan agama di negeri kita sangat tergantung pada sejauh mana elemen-elemen Negara dan masyarakat – terutama kaum intelegensia, kaum agamawan - mampu secara serius berpikir bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan agama dalam konteks sejarah, politik, ekonomi, dan sosial yang senantiasa berubah.
Pluralisme dan Kebebasan Beragama Sebagai Work in Progress di Indonesia
Berdasarkan alasan-alasan otentisitas Islam, sejarah, tradisi, dan modernitas di atas, maka saya menganggap pentingnya kebebasan beragama dan pluralisme sebagai work in progress di Indonesia. Salah satu tantangan dalam usaha ini adalah perkembangan Islamisme radikal di tanah air. Meskipun dalil paham kemajemukan dan kebebasan beragama adalah Al-Quran itu sendiri, masih banyak kalangan, khususnya kalangan Islamisme yakin bahwa kemajemukan adalah ancaman dan bahaya yang merusak kemurnian, keutuhan dan kesatuan umat Islam (authenticity and unity of Islam). Padahal, perlu ditegaskan kembali, kemajemukan agama-agama seharusnya bukanlah ancaman. Memang pertarungan antara kebinekaan dan otentisitas merupakan tantangan paling penting dari proses globalisasi di kalangan umat Islam. Fundamentalisme merujuk pada strategi yang digunakan kaum puritan Islam untuk membangun konstruksi mereka atas identitas keagamaan dan tatanan sosial Islam sebagai basis eksklusif untuk penataan kembali tatanan sosial dan politik. Kaum puritan percaya bahwa identitas keIslaman mereka berada dalam bahaya, tercemari kebinekaan agama dan budaya. Mereka berusaha memperkuat penafsiran mereka dengan cara menghidupkan kembali doktrin dan praktik keIslaman masa lalu yang dianggap suci.[66] Bagi kalangan Islam politik, kemajemukan dan kebebasan beragama tidak mendapat perhatian sama sekali dalam ceramah, tulisan-tulisan dan aktifitas-aktifittas mereka, meskipun, menurut saya, ada banyak kelemahan paradigma Islam politik atau Islam ideologis ini seperti ketidakpedulian terhadap konteks kitab suci dan teladan masa lalu, keengganan untuk belajar dari sumber-sumber yang berbeda, dan kekhawatiran berlebihan terhadap siapa saja yang berbeda (dissenting others). [67] Eksklusifisme, fundamentalisme, fanatisme, dan radikalisme agama dapat mencenderungkan penganutnya untuk tidak toleran terhadap perbedaan dan kemajemukan. Fundamentalisme juga bisa ditarik ke titik ekstrim dengan berbuat kekerasan – baik intelektual, psikologis maupun fisik – terhadap siapapun yang dianggap berbeda.
Sejarah membuktikan memang ada kaitan Islamisme radikal dan kebebasan beragama. Misalnya, di Mesir meskipun tidak ada undang-undang khusus bagi kaum minoritas, golongan minoritas agama dan etnik tetap hidup, termasuk Kristen, Bahai, Yahudi, Syiah, Nubia, Yunani, dan kaum Badui Arab. Pemeluk Kristen Ortodoks Koptik, berjumlah sekitar 10 persen dari sekitar 60 juta penduduk Mesir, yang hadir lebih dahulu dari Islam, secara umum dapat mempraktikan keyakinan mereka, menjalani hidup, bekerja, dan menikmati kemakmuran. Namun, sejak awal 1970-an, kebangkitan Islam politik, Ikhwanul Muslimin, menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dan memperburuk hubungan mayoritas-minoritas di negeri itu. Kaum Islam politik menuntut non-Muslim sebagai dzimmi, kelompok yang dilindungi, tapi bukan warga Negara penuh. Di pihak lain, Presiden Anwar Sadat berusaha mendapatkan legitimasi politik dari kaum Muslim, dan dikritik karena tidak dapat menjamin dan melindungi hak-hak kaum Koptik.[68]
Oleh karena itu, kalangan umat Islam, bersama-sama dengan umat-umat beragama lain, harus mengatasi berbagai masalah internal mereka dan mengatasi ketakutan-ketakutan terhadap segala sesuatu. Umat Islam harus berani berpikir kritis baik terhadap sejarah mereka maupun terhadap penafsiran-penafsiran yang tidak cocok yang menyengsarakan hidup bersama yang setara dan adil. Banyak hal dapat dilakukan: dialog yang terus menerus, pencarian atas nilai-nilai substansial, pendidikan civil society, pendidikan demokrasi, pendidikan pluralisme dan kebebasan beragama, memperbaik hukum yang kurang cocok dengan demokrasi, dan menegakkan hukum yang sudah disepakati, dengan sistem dan budaya politik yang kondusif. Seperti diingatkan Cak Nur, “Kebebasan adalah kata-kata kunci bagi ide modernitas, dan merupakan benteng bagi keabsahannya. Tetapi kebebasan akan benar-benar memberi manfaat hanya kalau terwujud dalam sistem yang memberi peluang bagi adanya pengecekan kepada kecenderungan tak terkendali…kecenderungan tak terkendali atas nama kebebasan melahirkan banyak penyakit sosial…. “[69]
Seperti ditunjukkan dalam sejarah modern, kemajemukan dan kebebasan beragama dijamin dan selalu berada dalam kerangka hukum. Negara tidak memiliki otoritas untuk menentukan sesat-tidaknya sebuah aliran dan keyakinan keagamaan semata-mata karena perbedaan keyakinan aliran tersebut dengan aliran-aliran utama. Negara hanya berhak dan bahkan bertindak ketika interaksi sosial yang damai terancam, tanpa memandang siapapun kelompok itu. Negara berhak dan wajib menegakkan hukum ketika aliran agama tertentu mengganggu dan merusak tatanan hukum dan ketertiban masyarakat (law and order). Hak kebebasan beragama bagi masyarakat berarti kewajiban Negara untuk menjamin hak tersebut. Negara memang protector utama kebebasan beragama, namun bukan satu-satunya. Civil Society memiliki kewajiban yang sama untuk menjamin kebebasan beragama dan menghargai kemajemukan.
Juga seperti ditunjukkan di atas, paham kemajemukan atau pluralisme bukanlah sesuatu yang asing dalam Islam. Kebebasan beragama pun bukanlah doktrin Barat sekuler yang seolah-olah tidak ada preseden normatif dan historisnya dalam Islam. Perjuangan mewujudkan nilai pluralisme dan prinsip kebebasan beragama tidak akan pernah selesai dan tidak akan pernah mudah. Agenda kearah sana adalah terus memperkuat basis normatif bagi pluralisme dan kebebasan beragama di tengah pertentangan wacana dan gerakan dewasa ini, dan sekaligus membangun politik Negara yang kondusif dan tidak represif dan pada saat yang sama memberdayakan kekuatan-kekuatan sipil yang mandiri yang menyokong tumbuhberkembangnya sikap terbuka, saling menghormati, dan sama-sama berjuang menegakkan keadilan dan kesejahteraan hidup bersama.
Masa depan kebebasan beragama di Indonesia tergantung pemerintah dan masyarakat sendiri. Bagi pemerintah, tantangannya adalah bagaimana merekonsiliasi perbedaan dan kesamaan, antara perbedaan dan kohesi sosial sebagai bangsa, antara perbedaan dan kesatuan ideologi Negara Pancasila. Di dunia pendidikan, diantara subjek yang perlu dikembangkan adalah sejarah agama-agama, filsafat agama, etika agama-agama, dan sejarah nasional yang lebih komprehensif, yang memuat contoh-contoh konkret pertemuan-pertemuan antarkeyakinan dan agama yang sejati dan harmonis. Permasalahan-permasalahan yang harus didiskusikan juga adalah bagaimana menyikapi kemajemukan agama-agama baru, gerakan-gerakan agama baru (new religious movements, yang sering disebut sekte, kultus, dan sebagainya), aliran-aliran kepercayaan dan kepercayaan orang asli (indigenous belief), kemajemukan gaya hidup, dan budaya di Indonesia. Paham kemajemukan dan kebebasan beragama adalah work in progress.
Paper ini disampaikan dalam Konferensi Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia”, Nurcholish Madjid Memorial Lecture, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu 19 July, 2006.
Muhamad Ali adalah dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alumnus MSc Islam dan Politik di Edinburgh University, Inggris tahun 2001, dan kini kandidat Doktor Sejarah di University of Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat. Ali bisa dihubungi di 0813-1913-0979 atau muhali74@hotmail.com
[1] Menurut beberapa survey tahun 2001, 2002 dan 2004, kecenderungan dan dukungan terhadap Islamisme atau Islam ideologis di Indonesia ternyata menguat, meskipun cara pandang dan tingkat pemahaman keagamaan Muslim Indonesia berbeda-beda. Akibat faktor struktural, legal, ekonomis, sosial, budaya dan keagamaan, hubungan agama dan Negara yang lebih bersifat formal menunjukkan salah satu masalah kemajemukan dan kebebasan beragama yang belum selesai, selain masalah-masalah kekerasan agama baik fisik dan mental seperti akan diuraikan dalam tulisan ini. Uraian survey-survey dimaksud bisa dilihat di Jamhari dan Jajang Jahroni (eds), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004).
[2] Almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) adalah tokoh bangsa dan intelektual publik yang prolifik, aktif dan fenomenal, serta berpengaruh bagi generasi pada zamannya dan generasi yang lebih muda, yang konsisten memikirkan dan berupaya mewujudkan bagaimana umat Islam (dan Islam) memandang kemajemukan internal umat Islam dan kemajemukan antar-umat beragama, sekaligus problem kebebasan beragama. Karena relevansinya, kontribusi Cak Nur harus terus digali dan dikembangkan – menemukan kekuatan-kekuatan argumen dan dasar-dasarnya sambil menyempurnakannya sesuai dengan perkembangan pemikiran dan konteks. Harus disadari, problem kebebasan beragama belum disepakati penafsiran dan perwujudannya dalam konteks Indonesia. Pemikiran dan dialog intensif dan terbuka harus melibatkan sebanyak-banyaknya elemen elit dan masyarakat mengenai bagaimana memahami dan menerapkan kebebasan beragama dalam konteks Indonesia kini dan masa depan. Cak Nur tidak hanya bicara paham kemajemukan, tapi berupaya menerapkannya dalam sikap dan perilaku sehari-hari seperti dalam Klub Kajian Agama Paramadia sejak 1986 hingga menjelang wafatnya. Cak Nur menulis, “pengalaman dalam Paramadina itu membuktikan adanya kemungkinan diwujudkannya prinsip persaudaraan dan kemanusiaan yang benar, yang pada intinya, setelah iman sebagai landasannya, ialah paham kemajemukan atau pluralisme.” Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar”, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), x.
[3] Negara-bangsa adalah konsep modern sejak abad ke-17 dan persoalan kebebasan beragama menjadi semakin kompleks dan berkarakter modern setelah periode Negara Bangsa ( Perjanjian Westpalia 1648 dianggap sebagai titik awal Negara Bangsa). Mengenai hubungan nation-state and modernitas, lihat misalnya E.J. Hobsbawm, Nations and Nationalism Since 1780: Programme, Myth, Reality, revised edition (New York and Melbourne: Cambridge University Press, 1990), p.14. Mengenai pertentangan Negara dan agama di Eropa dan Asia, lihat Peter van Der Veer & Hartmut Lehmann (eds), Nation and Religion: Perspectives on Europe and Asia (New Jersey: Princeton University Press, 1999), pp.3-14. Survey yang cukup baik mengenai hubungan agama dan Negara di negeri-negeri Muslim, lihat John L. Esposito & John O.Voll, Islam and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 1996).
[4] Georges Lefebvre, The Coming of the French Revolution, terjm. R.R. Palmer (New Jersey: Princeton University Press, 1979), hal.171.
[5] Kevin Boyle & Juliet Sheen (eds), Freedom of Religion and Belief: A World Report (London and New York: Routledge, 1997), p.2. Lihat juga uraian ringkas di bawah ini mengenai kebebasan beragama di AS dan Perancis.
[6] Ada perbedaan pendapat mengenai pengalaman Muslim awal dan Negara-negara Muslim modern menegakkan toleransi terhadap minoritas Muslim dan non-Muslim. Nurcholish Madjid secara umum memandang toleransi luar biasa penguasa Muslim zaman awal dan abad pertengahan terhadap kaum minoritas non-Muslim khususnya Yahudi dan Kristen. Nurcholish Madjid menyebutkan bagaimana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madinah yang pluralistik dengan Mitsaq al-Madinah-nya, lalu Umar bin Khatthab dengan Piagam Aelia di Yerussalem, Umar bin Abd al-Aziz, dan penguasa Islam di Spanyol abad pertengahan. Cak Nur mengutip pendapat seorang atheis Bertrand Russel yang menyebut “sikap kurang fanatik” (lack of fanaticism) dari kaum Muslim dan mengutip pendapat Dimont,dalam the Indestructible Jews, yang memuji toleransi Islam terhadap Yahudi dibandingkan ketika Yahudi dibawah Spanyol Kristen. Banyak pujian penulis Barat terhadap toleransi Islam secara umum dibandingkan Eropa abad pertengahan. Lihat Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar: Ummat Islam Indonesia Memasuki Zaman Modern”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal. xix, xxvii; Xavier de Planhol, Minorités en Islam: Géographie Politique et Sociale (France: Flammarion, 1997), p.42.
[7] Untuk gagasan kebebasan dalam agama dan peradaban Buddha, Cina, Asia Tenggara, Jepang, Sima, Burma, Vietnam, dan Indonesia, lihat David Kelley & Anthony Reid (eds.), Asian Freedoms: The Idea of Freedom in East and Southeast Asia (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 228 halaman. Paham kebebasan ditafsirkan berbeda-beda. Buddhisme, yang majemuk, misalnya menafsirkan kebebasan sebagai lepas dari “ ketakutan dan kepedihan”, “kebebasan spiritual individual”, kebebasan yang diperoleh melalui proses hikmah (prajna), pencerahan (bodhi) dan nibbana”. Peter A. Pardue, Buddhism: A Historical Introduction to Buddhist Values and the Social and Political Forms They Have Assumed in Asia (New York & London: Macmillan, 1968), hal. 5-10.
[8] Dua kitab yang sangat baik yang menguraikan sejarah aliran-aliran dalam Islam dan agama-agama besar adalah Al-Farq bain al-Firaq karya al-Baghdadi dan Kitab al-Milal wan- Nihal karya Shahrastani (w.1153 M). Namun Shahrastani, karena penganut Ash’ari, tetap mengatakan bahwa keselamatan hanya satu aliran, Ahlus Sunnah wal-Jamaah, sementara semua yang lain adalah menyimpang. Lihat Muhammad b. Abd al-Karim Sharastani, Muslim Sects and Divisions, trans. A.K. Kazi & J.G. Flynn (London: Kegan Paul International, 1984), hal.10. Dalam dunia akademik Barat, buku-buku teks sekolah dan universitas memuat penjelasan sejarah dan doktrin agama-agama dunia dan gerakan-gerakan agama baru, namun tidak secara khusus membahas paham kemajemukan dan kebebasan beragama. Gagasan kebebasan dan pluralisme hanya dibahas tersendiri oleh para pemikir dan belum menjadi tradisi akademik di dunia pendidikan sekalipun. Namun salah satu tujuan belajar agama-agama adalah tumbuhnya toleransi dan penghargaan terhadap agama-agama itu,, serta komunikasi antarbudaya dan antaragama, bukan untuk mengadili agama-agama lain berdasarkan kriteria agama sendiri. Lihat Michael Molloy, Experiencing the World Religions: Tradition, Challenge and Change, cet. ke-2 (California, London, Toronto: Mayfield Publishing Company, 2002), hal.20-21. Ninian Smart, The World’s Religions: Old Traditions and Modern Transformations, edisi ulang (Melbourne: Cambridge University Press, 1995), hal.9-11.
[9] John Stuart Mill, On Liberty, pertamakali diterbitkan 1859 (London & New York: Penguin Books, 1985); Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (London & New YorkL Penguin Books, 1968)
[10] Pemikir-pemikir ini seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid, Seyyed Hossen Nasr, Ali Asghar Enginer, Muhammad Shahrur, Muhammad Arkoun, Farid Essak, Abdullah al-Naim, Khalid Abu Fadl, Amina Wadud, Fatima Mernissi, Munawir Sadjali, A. Mukti Ali, Alwi Shihab, Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi. Gagasan-gagasan mereka cukup dikenal. Umumnya mereka juga memiliki website, mailing list, dan lembaga-lembaga. Selain mereka, kalangan muda yang berorientasi pada kemodernan dan progresifitas bergerak dalam bentuk jaringan-jaringan dan komunitas-komunitas epistemik yang perkembangannya menggembirakan, meskipun masih kurang pengaruhnya di tengah masyarakat akar rumput dibandingkan dengan gerakan-gerakan lain yang berorientasi pada konservatisme agama.
[11] Q.2:256. Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Quran, revised edition (Mayland: Amana Publications, 1989), penjelasan no.300, hal. 106.
[12] Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Quran, Q.88:21-23, catatan no.6107, hal.1642.
[13] ibid., Q.10:99, catatan.1480, hal.505.
[14]F.E. Peters, The Monotheists: Jews, Christians, and Muslims in Conflict and Competition, vol.I, The Peoples of God (New Jersey: Princeton University Press, 2003), hal.307; vol.II: The Words and Will of God, hal,378-9.
[15] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xiv, xix.
[16] Abdullah Yusuf Ali, Q.16:125, catatan 2161, hal.669.
[17] Penjelasan lebih lanjut bagaimana kepentingan politik dan militer mempengaruhi penafsiran para ahli fiqh Islam pada abad pertengahan, lihat Abu Sulaiman, The Islamic Theory of International Relations. Dalam Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), catatan kaki no.190, hal.140.
[18] Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal.132-3.
[19] M. Rashid Rida, Tafsir Al-Manar (Beirut: Dar al-Marifah, 1324 H), IX, hal,665.; dalam M. Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam hl. 133.
[20] Mahmud Syaltut, Islam ‘Aqidah wa Syariah (Kuwait: Mathabi’ Dar al-Qalam, t.t.), hal. 292-3; Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal.128-9.
[21] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal.xxi.
[22] Gamal (Jamal) Al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’addudiyah fi al-Mujatama al-Islamy, Taufik Damas (Bekasi Timur: Penerbit Menara, 2006), hal. 14-21.
[23] ibid., xviii.
[24] Ibid. xx.
[25] Ibid., xii-xiii.
[26] Ibid, 178-185.
[27] Abdullah Yusuf Ali, ayat 3:85, catatan no.418, hal.150.
[28] ibid., ayat 5:69; catatan 779, hal.271.
[29] Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary Issues, Jeddah: the Saudi Publishing House 1388 AH, hl.13-14, dikutip oleh Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xviii.
[30] Ibid, xix.
[31] Ibid. xxi.
[32] Ibid,xix-xx
[33] Dr. Taha Jabir al ‘Alwani, The Ethics of Disagreement in Islam (Herndon, VA: Institute of International Islamic Thought, 1997), ix. http://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/1565641175/qid=984780503/sr=1-1/ref=sc_b_2/104-3277215-527034903/sr=1-1/ref=sc_b_2/104-3277215-5270349
[34] “Dalam kenyataan, tidak ada suatu masyarakat yang benar-benar tunggal, uniter (unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan didalamnya… persatuan dapat terjadi dan justru kebanyakan terjadi dalam keadaan berbeda-beda (unity in diversity, E Pluribus Unum, Bhinneka Tungggal Ika). Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xviii-xix, 159.
[35] Muhamad Ali, “Pluralisme dan Kebebasan Beragama di Indonesia”, Indopos, 16 Juli 2006.
[36]Sebelum agama-agama dunia, nusantara menganut agama-agama tribal atau etnik yang bersifat lokal, percaya terhadap ruh (spirit belief) seperti Dayak, Nias, Bugis-Makassar, dan hampir semua suku lain. Mengenai sejarah agama-agama di nusantara, lihat Waldemar Stohr and Piet Zoetmulder, Les Religions d’Indonésie (Paris: Payot, 1968); Anthony Reid, “Religious Revolution”, Southeast Asia in The Age of Commerce: The Lands below the Winds (1988); Anthony Reid, Southeast Asia in The Age of Commerce: Expansion and Crisis (1993); Martin Ramstedt, Hinduism in Modern Indonesia: a minority religion between local, national and global interests, 2004; J.G. De Casparis and I.W. Mabbett, “Religion and Popular Beliefs of Southeast Asia before c.1500”, Cambridge History of SEA, vol.1, no.1; Barbara Andaya & Yoneo Ishii, “Religious Developments in SEA c.1500-1800”, Cambridge History of Southeast Asia, vol.2, no.1.
[37]Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, jilid 2, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), hal. 149.
[38] Ibid., hal. 698.
[39] Karel Steenbrink, “Kata Pengantar”, Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), xii.
[40] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), hal.30.
[41] Menurut Steenbrink, ada beberapa tahap pertemuan kolonial dan Islam Indonesia yang sebetulnya campuran dan tidak monolitik. Kontak awal cukup bersahabat karena motif dagang, kadang hati-hati, ingin tahu, atau ambil jarak. Pada fase ini kolonial menganggap orang Islam sebagai kaum tersesat tapi dihargai (respected heretics). Fase selanjutnya, muncul prasangka-prasangka jelek, sehingga Muslims dibenci (detestable heretics). Lalu, kebencian muncul terhadap Muslim yang dianggap tidak bisa dipercaya dan fanaik. Selanjutnya, pada period misi (1850-1940), terjadi antisipasi dan akomodasi. Lihat Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950 (1993)
[42] Dr. Eddy Kristiyanto, OFM, “ Sekapur Sirih”, Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, jilid 2, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), hal.xix-xxii.
[43] Berbagai sumber www.theJakartaPost.com, ww.Kompas.com, www.detik.com di bulan Agustus-September 2005.
[44] Lihat laporan-laporan dalam “Negeri Syariah Tinggal Selangkahi”, Gatra, No.25, Tahun XII, 6 Mei 2006.
[45] Di sini saya ingin menguraikan fatwa-fatwa MUI tahun 2005. Pada tahun 2005 MUI mengeluarkan sebelas fatwa: fatwa perlindungan kekayaan hak intelektual (HAKI), perdukunan dan peramalan, doa bersama, perkawinan beda agama, pewarisan beda agama, kriteria maslahah, fatwa tentang pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama, tentang pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan pribadi, aliran Ahmadiyah, dan hukuman mati dalam tindak pidana tertentu. Doa bersama dalam fatwa ini adalah berdoa yang dilakukan secara bersama antara umat Islam dengan non Islam dalam acara resmi kenegaraan maupun kemasyarakatan dalam waktu dan tempat bersamaan, baik dilakukan dalam bentuk atau beberapa orang berdoa sedang yang lain mengamini maupun dalam bentuk setiap orang berdoa menurut agama masing-masing secara bersama-sama. Mengamini orang yang berdoa termasuk berdoa. Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non Muslim tidak dikenal dalam Islam, oleh karenanya termasuk bid’ah. Do’a bersama dalam bentuk setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh orang non-Islam. Doa bersama dalam bentuk Muslim dan non-Muslim berdoa secara serentak, misalnya mereka membaca teks doa secara bersama-sama, hukumnya haram. Doa bersama dalam bentuk seorang non Muslim memimpin doa maka orang Islam haram mengikuti dan mengamininya. Doa bersama dalam bentuk setiap orang berdoa menurut agama masing-masing hukumnya mubah. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab menurut muktamar adalah haram dan tidak sah. Pluralisme dalam fatwa ini adalah faham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Karena itu setipa pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sementara agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan hidup berdampingan di dalam surga. Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al Quran dan Sunnah) dengan menggunakan akal dan pikiran yang bebas semata, hanya menerima doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Sekulerisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama. Agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sementara hubungan sesama manusia diatur hanya berdasar kesepakatan sosial. Pluralisme, sekulerisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud diatas adalah faham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti semua itu. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama) dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan agama dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam artian tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak merugikan.Soal Ahmadiyah, MUI menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah di luar Islam, sesat, dan menyesatkan. Serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Ahmadiyah supaya kembali ke ajaran Islam yang hak sejalan dengan Al Qur’an dan Hadits. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Lihat fatwa-fatwa MUI di http://www.mui.co.id/
[46] Lihat the Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, US State Department, “International Religious Freedom Report 2005”, http://www.state.gov/
[47] Chaider S. Bamualim et all (eds), Communal Conflicts in Contemporary Indonesia (Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta & the Konrad Adenauer Foundation, 2002); Harold Crouch, “Indonesia, Transisi Politik dan Kekerasan Komunal”, dalam Irfan Abubakar & Chaider S. Bamualim (eds), Transisi Politik & Konflik Kekerasan (Jakarta & Utrecht: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta & European Centre for Conflic Prevention, 2005), hal. 3-24.
[48] Lihat misalnya Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001). Muhamad Ali, Teologi Pluralis Multikultural (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003).
[49] Dalam subtopik “Pluralisme Islam dan Pluralisme Pancasila”, Nurcholish Madjid tidak sependapat dengan Dr Walter Bonar Sidjabat yang menulis, “Yang kita temukan dalam penelitian kita ialah bahwa perbedaan dalam hakikat “Weltanschauung” Islam dan ‘Weltanschauung” yang disajikan Pancasila menyebabkan ketidaksesuaian yang menyatakan dirinya dalam hubungan Islam dan Negara. Ketidaksesuaian itu terutama diperbesar oleh kenetralan prinsip Kemahakuasaan Tuhan dalam konstitusi dan watak dasar yang eksklusif dari kepercayaan islam (Walter Bonar Sidjabat, ‘Religious Tolerance and the Christian Faith: A Study Concerning the Concept of Divine Omnipotence in the Indonesian Constitution in the Light of Islam and Christianity, Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1982, h.91). Menurut Nurcholish Madjid, terbuka luas untuk semua agama di Indonesia untuk bertemu dalam pangkal tolak ajaran kesamaan (kalimah sawa), yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sikap mencari titik kesamaan ini mempunyai nilai keislaman. Isi masing-masing sila pun mempunyai nilai keislaman. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxxii-xxxiii, xxxix.
[50] Belakangan ini Majelis Ulama Indonesia dan beberapa ormas-ormasi Islam menganggap adanya pertentangan antara upaya-upaya “sekulerisasi” dan “de-sekulerisasi” Pancasila. Bagi MUI dan ormas-ormas Islam ini, mereka tetap merujuk pada Pancasila, meskipun setelah mengeluarkan fatwa-fatwa haram Ahmadiyah, pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama, doa bersama, kawin beda agama, dan seterusnya.
[51] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 160-2.
[52] Ibid., 163.
[53] Ibid., 174-5.
[54] Alwi Shihab, “Tantangan Pluralisme Agama”, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1997), hal.39-44.
[55] Dalam Diskusi 27 Februari 2006 di Leiden University, dan Interfaith dialogue di Den Haag, 28 Februari 2006.
[56] Dalam sebuah wawancara, Ketua MUI Ma’ruf Amin mengatakan, yang mereka haramkan adalah pluralisme agama antara lain seperti yang dikembangkan Budhi Munawar Rachman ini. Untuk pemikiran Budhy Munawar-Rachman, lihat bukunya Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), 446 halaman. Untuk artikel-artikel lepas di media massa mengenai pluralisme, bisa dibaca kumpulannya di Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001); Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural (Jakarta; Penerbit Buku Kompas, 2003).
[57] Jacques Robert, “Religious Liberty and French Secularism”, terj dari “Enjeux du Siècle: Nos Libertes”, 2002., hal. 638.
[58] Kevin Boyle & Juliet Sheen (eds), Freedom of Religion and Belief: A World Report Hal. 294-8.
[59] Ibid., hal. 153-62.
[60] Ibid, hal. 163.
[61] Dikutip oleh Andreas Hasenclever & Volker Rittberger, “Does Religion Make A Difference?: Theoritical Approaches to the Impacts of Faith on Political Conflicts”, Millenium: Journal of International Studies, vol.29, no.3, 200, hal.642.
[62] Lihat diskusi tentang pemikir-pemikir pluralis ini di Budhi Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001).
[63] William R. Hutchison, Religious Pluralism in America, 2003.
[64] Roger Scruton, A Dictionary of Political Thought, 1996.
[65] Dikutip Cak Nur dari Paul David, the Other Worlds (New York: Simon & Schuster, 1980, hal.33 dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 506.
[66] Riaz Hasan, Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Islam, terj. Jajang Jahroni, Udjang Tholib dan Fuad Jabali (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal.272.
[67] Fatima Mernissi menunjuk ketakutan kaum Muslim di dunia (Fear of the Muslim World) seperti ketakutan pada Barat yang asing, ketakutan pada Sang Imam, ketakutan pada demokrasi, ketakutan pada kebebasan berpikir, ketakutan pada individualisme, ketakutan pada masa lalu dan ketakutan pada masa kini. Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan, terj. Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1994).
[68] Lihat lebih rinci di John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, terj. R. Astuti (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hal.255-258.
[69] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cxiii.
4 comments:
Memang kita harus membumikan, bahkan jangan coba-coba memikirkan tentang hal pluralisme. Kita harus berpegang teguh pada Petunjuk Alloh, Sunah Nabi Muhamad SAW(Rasul Alloh yang terakhir), Ijma dari 4 Madhab, dan para Mukmin yang soleh. Dan Firman Alloh:"Islam adalah agama yang di-Ridhoi Alloh" (titik)
Tetapi islam bukan agama pemaksaan. Karena yang namanya Akidah atau keimanan itu bukan Kebutuhan Alloh, tapi sebagai kebutuhan Manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan akherat kelak.
Dan tidak bisa dipungkiri atau masuk akal.contohnya apabila suatu pernikahan dilakukan dengan berlainan agama. ini adalah haram dan jelas pernikahan tersebut tidak diridhoi oleh Alloh SWT. atau seorang muslim ikut menghadari Natal atau perayaan agama lain (sebagai bukti menghargai agama lain). itu adalah suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh seseorang muslim (Naudhubilah Minzalik). Prinsip dari Firman Alloh SWT,"Untukmulah agamamu, dan untukkulah Agama Ku".
Jadi jelas dalam Akidah islam dan Akidah Agama Non Islam, itu Bagaikan Minyak dan Air tidak bisa disamakan.
Mari Kita tobat nasuha, agar kita mendapat ampunan dari Alloh SWT. Ilmu itu dari Alloh jangan kita memikirkan sesuatu yang sudah dijamin dan dipelihara oleh Alloh SWT.
Dede Santosa Haris
haris0802@telkom.net
Evil's excrement inside Mohammad's gullet (Mohammad prophet Allah) = Quraan.
کیر خر آغشته به سنده خوک تو کس خواهر و مادر و زن و بچه همه سیدهای اولاد پیامبر اسلام.
کیر خر تو کس ننه امام حسین و محمد رسول الله.
Polisi = Milis Islam
Organisasi-organisasi muslim yang bringas didukung oleh oknum-oknum kepolisian & aparat keamanan pemerintah.
Sudah sering terjadi pengerusakan rumah-rumah ibadah umat lain, sweeping, fatwa-fatwa dan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh organisasi muslim terhadap umat agama lain. Sedangkan sebagian dari para preman ini adalah anggota polisi dan aparat keamanan lainnya yang berpakaian sipil. Pemerintah juga bersikap seolah-oleh memberi semangat kepada preman-preman ini sehingga mereka merasa berada di atas hukum apapun yang berlaku di negara Indonesia.
Juga anggota polisi pada umumnya hanya menonton para preman yang melakukan pengerusakan & sweeping. Anggota polisi malah melindungi oknum-oknum yang berkelakuan bringas itu.
Sedangkan polisi dan aparat keamanan pemerintah seharusnya melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan agama, kepercayaan, suku, dsb.
Kita yakin bahwa ada umat muslim yang tidak mentolerir dan tidak setuju dengan kelakuan polisi dan aparat keamanan yang secara terang-terangan memihak kepada golongan mayoritas.
Tetapi, pemerintah tidak menyadari bahwa walaupun polisi dan aparat keamanan mempunyai senjada api, tapi rakyat jelata (masyarakat muslim yang kurang simpati terhadap polisi) mumpunyai senjata yang jauh lebih ampuh dari pada senjadi api. Sejata yang ampuh ini adalah agama.
Masyarakat muslim yang tidak simpati terhadap tindakan polisi yang memihak ini bisa mengeluarkan reaksi yaitu mereka bisa meninggalkan agama Islam. Mereka bisa mengalih ke agama lain. Kalau hal ini terjadi/sedang terjadi, maka senjata api polisi itu tidak ada artinya.
FYI,
Buku Max I. Dimont (The Indestructible Jews) sudah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul: "Dilema Yahudi, atau Suratan Nasib?"
Terdapat di Gramedia Pondok Indah Mall an Gramedia Matramana, Jakarta.
Post a Comment