Wednesday, November 01, 2006

Mengenang Prof Watt and Clifford Geertz




Mengenang Jasa Intelektual Professor W. Montgomery Watt (right with the tie) and Prof Clifford Geertz (left with the watch)

Muhamad Ali

Dalam selang satu minggu saja setidaknya dua profesor ternama dan berpengaruh meninggal dunia. Profesor William Montgomery Watt, seorang pendeta yang kemudian menjadi Islamolog asal Skotlandia yang pernah mengajar di Jurusan Studi Islam dan Timur Tengah, University of Edinburgh, dan satu lagi seorang antropolog Profesor Clifford Geertz yang terakhir mengabdi di Princeton. Watt meninggal 24 Oktober, dan Geertz 30 Oktober. Bagi para mahasiswa dan sarjana bidang studi agama, politik, antropologi, dan bermacam disiplin lainnya, di luar negeri maupun di Indonesia, kedua nama itu bukanlah nama asing.

Di tahun 2000, saya memilih Edinburgh untuk program Master saya di Jurusan Studi Islam dan Timur Tengah di Edinburgh University, setelah saya membaca terjemahan Prof William Roff Pengantar Studi Al-Qur’an oleh Sarjana IAIN Yogyakarta asal Sulawesi Selatan, Taufik Adnan Amal. Kemudian saya dapati buku aslinya Bell’s Introduction to the Qur’an (terbitan 1977) dan buku-buku Watt lain yang sebagiannya diterbitkan di Edinburgh. Saya pun membaca karya-karya Watt yang lain, seperti Muhammad at Mecca, Muhammad at Medina, Muhammad Prophet and Statesman, Free Will and Predestination in Early Islam, Islamic Political Thought: The Basic Concepts, Islamic Philosophy and Theology, dan Muslim-Christian Encounters: Perceptions and Misperceptions. Watt menulis sekitar 30 buku. Karya-karya penting lainnya yang saya belum sempat baca sebagian atau seluruhnya, adalah Islam and the Integration of Society, lalu Muslim Intellectual: A Study of Al-Gazhali, A History of Islamic Spain, What is Islam?, Islamic Revelation in the Modern World, the Influence of Islam in Medieval Europe, The Formative Period of Islamic Thought, Islam Past Influence and Future Challenge, Islam and Christianity Today: A Contribution to Dialogue, Islamic Fundamentalism and Modernity, The Majesty that Was Islam: the Islamic World 661-1100, Early Islam: Collected Articles, kemudian Islamic Creeds: A Selection, dan A Christian Faith for Today. Karya-karya ini diluar dari karya-karya beliau dalam bentuk artikel-artikel ilmiah di berbagai jurnal dan bab-bab dalam buku-buku.

Sebagai mahasiswa jurusan Tafsir Hadits di Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang Universitas Islam Negeri) Jakarta, membaca karya-karya Watt tentang Al-Qur’an, teologi, filsafat dan politik Islam, adalah kewajiban, Watt adalah sedikit sarjana Barat (yang sering disebut Orientalis, tapi mereka sendiri tidak menggunakan label itu) yang benar-benar mendalami bahasa Arab, dan menggali sumber-sumber asli (termasuk Al-Quran, Sirah Nabi Muhammad, dan kitab-kitab klasik dan pertengahan Arab lainnya), dan kemudian meramunya sedemikian rupa sehingga kaya fakta dan penuh analisis yang mencerahkan. Watt adalah juga diantara sarjana Barat yang sangat simpatik terhadap kehidupan Muhamad sebagai Nabi, sebagai negarawan, sebagai pemimpin dunia Muslim. Misalnya, mengenai Nabi Muhammad, dalam sebuah wawancara Prof. Watt mengatakan, “Karena itu saya tidak percaya bahwa baik Bibel maupun Al-Quran mutlak benar dalam pengertian bahwa seluruh perintah-perintah didalam adalah valid untuk segala zaman….ketika bentuk masyarakat berubah dalam banyak hal maka beberapa perintah tidak lagi cocok, meskipun banyak perintah didalam keduanya terus valid. Namun demikian, saya benar-benar percaya bahwa Muhamamd, seperti juga nabi-nabi sebelumnya, mengalami pengalaman keagamaan yang sejati (genuine religious experiences). Saya percaya bahwa Muhammad benar-benar menerima sesuatu langsung dari Tuhan. Karena itu, saya percaya bahwa Al-Quran datang dari Tuhan, dan diwahyukan secara Ketuhanan (Divinely inspired). Muhammad tidak akan mampu melahirkan kebangkitan yang begitu hebat dalam agama seperti yang dia capai tanpa berkat Tuhan.”

Saya pribadi sempat berkunjung ke rumah Profesor Watt pada tahun 2001, ditemani Prof Carole Hillenbrand, salah satu murid Watt yang menulis karya “the Crusades: Islamic Perspectives” yang baru diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Perang Salib”. Prof Watt ketika itu sudah lemah, dia bicara terbata-bata, tapi menerima saya sebagai tamu pertamanya, mahasiswa Muslim Indonesia. Saya tahu bahwa Prof Watt meninggal melalui email Profesor saya yang lain Prof William Roff, ahli sejarah Islam Asia Tenggara di Edinburgh dan mantan profesor di Columbia. Menurut Carole Hillenbrand yang ditulis Roff, Prof Watt sering menyebut didatangi dan berdialog dengan mahasiswa muda Muslim dari Indonesia. Saya terharu, ternyata beliau masih ingat saya. Dalam pertemuan saya dengan Prof Watt, kami bicara banyak hal. Saya memuji tulisannya tentang Islam, juga tentang pentingnya hubungan harmonis antara Muslim dan Kristen. Prof Watt sangat setuju, bahwa tantangan zaman modern adalah menjalin hubungan Muslim-Kristen yang harmonis. Saya setuju, dan salah satu caranya adalah menggali sejarah perjalanan kedua penganut agama ini dari sumber-sumber aslinya. Pengkajian yang lebih ‘obyektif’ terhadap kedua agama ini sangat penting, karena kebanyakan tokoh dan penganut agama dari kedua agama ini lebih mengedepankan apologia teologis semata-mata. Saya berpendapat, masing-masing penganut kedua agama besar ini memiliki sejarah gemilang, tetapi juga sejarah kelam dalam interaksi satu sama lain. Menggali sejarah hubungan kedua agama ini, selain mengkaji sejarah masing-masing, sangatlah vital dalam upaya membangun harmoni itu. Watt adalah sarjana Skotlandia yang optimis terhadap hubungan baik Islam dan Kristen Barat. Karena itu, Watt menulis tentang bagaimana Islam mempengaruhi peradaban Eropa. Prof Watt juga secara khusus menulis tentang adanya persepsi dan mispersepsi dalam pertemuan kedua agama. Prof Watt lebih jauh menawarkan langkah-langkah pemikiran dan praktek yang berguna bagi dialog Islam-Kristen.

Mengenai fundamentalisme Islam, Watt berusaha bersikap obyekif. Baginya, fundamentalisme Islam adalah fenomena moderen. Dalam wawancara yang sama di atas, Watt mengatakan: “Saya tidak berpendapat bahwa Barat harus berperang melawan Islam, meskipun saya kira bahwa jika kaum fundamentalis bergerak berlebihan maka kaum fundamentalis yang berlebihan ini harus dilawan…Saya berpendapat Barat harus mengatasi ketegangan-ketegangan antara kelompok agama yang berbeda. Amerika Serikat (AS) memberikan terlalu banyak dukungan kepada Israel. AS mengizinkan Israel memiliki senjaran nuklir dan melakukan berbagai hal disana, yang sebagiannya bertentangan dengan hukum Yahudi… AS harus lebih tegas dengan Israel, dan mendesak mereka, meskipun hal ini sulit karena lobi Yahudi yang kuat di AS. Sesuatu harus dilakukan agar konflik di Timur Tengah mereda. Konflik berbahaya itu akan terhindari jika agama-agama Ibrahim – Yahudi, Kristen, dan Islam, memberikan penghormatan yang lebih besar terhadap apa yang Tuhan ajarkan mengenai hidup bersama.”

Menurut Watt, sejarah Islam awal telah mengenal pertentangan teologis yang diawali dari pertentangan politik. Bagi Watt, perbedaan teologi Islam zaman awal, yang berdampak pada masa-masa selanjutnya, pada dasarnya adalah bersifat politik, yaitu perselisihan tentang kepemimpinan umat. Sementara perselisihan antara Qadariyyah dan Jabariyyah, yang pertama mengakui free will (kehendak bebas) manusia, sementara yang kedua lebih menekankan predestination (Tuhan yang menentukan), dan kemudian Sunni dan Syiah, tidak hanya dipengaruhi interaksi para teolog Muslim dengan pemikiran-pemikiran luar seperti Yunani, tapi juga pada pembacaan mereka terhadap ayat-ayat Al-Quran yang dapat menjustifikasi kedua kepercayaan itu.

Jika Prof Watt lebih menguasai sejarah Islam awal dan pertengahan serta ajaran-ajaran teologis, politik, dan filsafatnya dari sumber-sumber Al-Quran, Hadith, Sejarah (tarikh dan sirah), dan kitab-kitab Arab lainnya, maka Prof Clifford Geertz adalah seorang antropolog yang lebih memperhatikan situasi empiris orang Islam dalam konteks lokal. Kehebatan Geertz saya kira adalah kemampuan analitik teoritisnya dalam memahami dan menjelaskan fenomena orang Islam seperti yang dia pelajari di Mojokuto, Jawa (dalam bukunya The Religion of Java) dan kemudian dia bandingkan juga dengan orang Islam di Maroko (Islam Observed). Pengaruh Geertz melampaui batas disiplin ilmu antropologi. Sarjana wilayah Asia Tenggara, apapun disiplinnya, termasuk Agama, Sejarah, Politik, dan Sosiologi, tidak melewatkan karya-karya Geertz. Untuk bidang antropologi agama saja, Geertz telah melahirkan karya-karya revisionis mulai dari James Peacock (dalam bukunya Muslim Puritans), Merle Ricklefs, Drewes, Donald Emmerson, Nakamura, Andrew Beatty, Woodward, William Roff, Robert Hefner, Mortimer, Robert Jay, Lyon, Wertheim, dan sarjana-sarjana yang lebih muda sepeti Greg Barton, Eldar Braten, untuk menyebut sekian saja yang saya ingat. Sarjana-sarjana Indonesia yang memodifikasi teori Geertz antara lain Harsja Bachtiar, Supardi Suparlan, Kontjaraningrat, Zamakhsari Dhofier, dan para antropolog dan sarjana muda setelah mereka. Kajian-kajian agama dan Islam modern Indonesia dan Asia Tenggara juga tidak melewatkan karya-karya Geertz.

Mengenai the Religion of Java misalnya, tentu saja bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan dan prijaji, karena istilah-istilah ini sudah dipakai meskipun di kalangan yang lebih terbatas daripada yang dianggap Geertz. Namun, Geertz lah yang pertama-tama mensistematisasikan istilah-istilah ini sebagai mewakili kelompok-kelompok kultural yang signifikan. Kritik terhadap Geertz seputar penggunaan istilah priyayi (yang bersifat kelas) dan karenanya tidak cocok disandingkan dengan santri dan abangan (yang bersifat keagamaan), seputar kurangnya pemahaman Geertz terhadap teks-teks Islam sehingga menyangka bahwa tradisi selamatan di Jawa adalah murni bersifat lokal dan tidak ada hubungannya dengan pengaruh normatif Islam, seputar dikotomi santri-abangan yang dikritik terlalu berat sehingga meniadakan orang-orang santri yang abangan atau abangan yang santri ataupun wilayah abu-abu, dan banyak aspek lainnya. Yang jelas, dari Geertz lah para sarjana belajar tentang agama di Jawa. Sebagian mereka berusaha memodifikasi teori-teori atau memperbaiki penjelasan-penjelasan Geertz dalam bukunya yang ditulis di akhir tahun 1950-an itu. Di dalam Islam Observed, yang merupakan ceramahnya di Yale University pada 1967, Geertz membandingkan corak Islam Jawa yang lebih akamodatif dan sinkretik dengan corak Islam Maroko yang lebih fundamentalistik. Tentu saja, Geertz tidak ingin mengatakan bahwa Islam Jawa melulu sinkretik, seolah-olah Islam puritan sama sekali tidak berkembang. Pada masa-masa tahun 1990an, dalam buku kumpulan esainya After Facts: Two Countries, Four Decades, one Antropologist (1995) Geertz mulai menyadari menguatnya Islam puritan, lebih terasa ketimbang pada masa 1960-an di Jawa. Namun salah satu kalimatnya yang menarik dalam bukunya ini adalah tentang teori perubahan (change). Geertz menulis: “Change, apparently, is not a parade that can be watched as it passes.” Perubahan itu, ternyata, bukanlah sebuah parade yang bisa dilihat ketika dia lewat. Bahwa perubahan baru betul-betul terlihat oleh pengamat ketika sesuatu itu sudah betul-betul lewat.

Yang saya sering pakai dari The Interpretation of Cultures adalah metodologi ethnography Geertz yang ia sebut “Thick Description”, yang ia pinjam dari Gilbert Ryle, dan pendekatan “Religion as A Cultural System”. Thick Description adalah penggambaran yang mendalam, sebuah pendekatan memahami, memaknai, dan menjelaskan (bukan sekedar mengamati) fenomena, kejadian, gagasan, kebiasaan sosial atau apa saja (agama, politik, dan sebagainya) yang mengutamakan kedalaman data dari berbagai aspek dari fenomena itu, yang sering kali aneh, tidak beraturan, dan tidak eksplisit. Pendekatan memahami obyek yang sebisa mungkin tidak cetek dan tidak dangkal. Konsep religion sebagai sistem budaya juga penting dan menarik. Konsep agama tidak semata-mata dipahami sebagai sistem ketuhanan/teologis, tapi sebagai perwujudan sistem budaya. Geertz mendefinisikan budaya (‘culture’) sebagai “pola makna yang diterima secara historis, melekat pada lambang-lambang, sebuah sistem konsep-konsep yang diwariskan, terungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dipakai manusia untuk berkomunikasi, melanggengkan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap hidup mereka.” Jadi budaya bagi Geertz adalah sistem makna. Bahasa Geertz memang terbilang rumit, berliku-liku, namun jernih dan membuat pembaca berpikir tanpa henti. Geertz lalu mendefinisikan “religion” sebagai “ a system of symbols which acts to establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by formulating conceptions of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.” Artinya, agama adalah sistem simbol yang membentuk perasaan dan keinginan-keinginan dalam diri manusia, konsepsi tentang tata eksistensi yang beraura nyata sehingga perasaan-perasaan itu tampak realistik. Di sini bukan tempatnya mendiskusikan teori-teori Geertz ini. Cukup bagi saya menekankan betapa penting dan menariknya konsep-konsep yang dikembangkan Geertz, dan saya duga, konsep-konsep ini terus akan dikembangkan oleh para pelanjutnya.

Dalam karyanya Local Knowledge: Further Essays in Interpretative Anthropology (1983) Geertz mendiskusikan soal-soal pemikiran sosial, sejarah sosial imaginasi moral, sifat pemahaman antropologis, akal sehat (common sense) sebagai sistem budaya, dan local knowledge (dimana dia juga menguraikan hubungan adat, sharia, hukum Eropa di Indonesia). Geertz juga menulis berbagai artikel, termasuk tentang perubahan sosial di zaman Soeharto, selain buku-bukunya yang lain, “Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics”, dan Agricultural Involution. Yang juga sangat menarik dari Geertz adalah upaya refleksi dan interpretatif-nya untuk menjelaskan berbagai fenomena dan topik, dari yang sangat kecil seperti “sabung ayam”, sampai perubahan-perubahan ekologi (seperti konsepnya “agricultural involution”), agama, hukum, ekonomi, filsafat, Negara (seperti konsepnya Negara Teater tentang Bali) dan perubahan politik.

Akhirul kalam, kedua sarjana “Barat” diatas, yang satu Islamolog, yang lainnya antropolog, telah dan akan terus berpengaruh terhadap perjalanan studi banyak sarjana di luar negeri dan di Indonesia kini dan di masa depan. Jika harus ada sesuatu yang dapat membuat mereka berdua mendapat cahaya dan kedamaian di dunia sana maka warisan intelektual mereka adalah amal jariyah mereka, bakti nyata yang manfaatnya terus mengalir bagi generasi-generasi kini dan kemudian.

Muhamad Ali, alumnus MSc Department of Islamic and Middle Eastern Studies, Edinburgh; kandidat Doktor Sejarah, University of Hawaii at Manoa, AS.
Ditulis di Hale Manoa, selesai 1.15 am, October31/Nov 1, 2006

=========================================


William Montgomery Watt and Clifford Geertz
(From Wikipedia, the free encyclopedia)

Professor William Montgomery Watt
William Montgomery Watt (born Ceres, Scotland on 14 March 1909, died 24 October 2006, Edinburgh) was an Islamic studies scholar and Orientalist. He wrote over 30 books. Reverend Professor Montgomery Watt was Professor of Arabic and Islamic Studies at the Unviversity of Edinburgh from 1964-79. He held visiting professorships at the University of Toronto, the College de France, Paris, and Georgetown University and was given an honorary DD by the University of Aberdeen. He was a priest of the Scottish Episcopal Church, and was Arabic specialist to the Bishop of Jerusalem from 1943-46. He became a member of the ecumenical Iona Community in Scotland in 1960. The Islamic press have called him “the Last Orientalist”. He died in Edinburgh on 24 October 2006 at the age of 97. Watt is a critic of many Islamic and Christian beliefs.

In an interview, Watt said: “ I therefore do not believe that either the Bible or the Qur’an is infallibly true inthe sense that all their commands are valid for all time. ... when the form of society changes in important respects some commands cease to be appropriate, though many others continue to be valid. I do, however, believe that Muhammad, like the earlier prophets, had genuine religious experiences. I believe that he really did receive something directly from God. As such, I believe that the Qur’an came from God, that it is Divinely inspired. Muhammad could not have caused the great upsurge in religion that he did without God’s blessing.
...I therefore certainly don’t think the West is locked into Jihad with Islam, though I suppose if the fundamentalists go too far they’ll have to be opposed. Iran’s comments about the “Great Satan” were aimed mostly at the United States: they were not made because the West was Christian. I think the West should try to overcome these strains between different religious groups. I do, however, think that the US is following a very dangerous policy in relation to the Middle East. The root of this trouble is that the US gives too much support to Israel. They allow them to have nuclear weapons and to do all sorts of things, some of which are contrary even to Jewish law. Jewish families occupy Arab houses without payment. That is stealing. I think that the US should be much firmer with Israel and put a lot of pressure on them, though this is difficult because of the strong Jewish lobby. Unless something is done there’ll be dangerous conflict in the Middle East. Such danger would be less likely to arise if all three Abrahamic faiths - Jews, Christians and Muslims - paid greater respect to what God teaches us about living together.[3]

Thus, whether Muhammad incited his followers to action and then used their wrongs [wrongs committed against them] to justify it, or whether he yielded to pressure from them to allow such action, the normal Arab practice of the razzia was taken over by the Islamic community. In being taken over, however, it was transformed. It became an activity of believers against unbelievers, and therefore took place within a religious context. The Emigrants were described as "striving with goods and person in the way of God [Qur'an 4:95, 9:20, 9:41, 9:44]. They were promoting one of the purposes of the Islamic community in trying to establish a region in which God was truly worshipped.


Clifford James Geertz (b. August 23, 1926, San Francisco -d. October 30, 2006, Philadelphia) was an American anthropologist and served until his death as professor emeritus at the Institute for Advanced Study, Princeton, New Jersey.

Life
After service in the U.S. Navy in World War II (1943-45), Geertz received his A.B. in philosophy from Antioch College in 1950, and his Ph.D. in 1956 from Harvard, where he had studied social anthropology in the Department of Social Relations. He taught or held fellowships at a number of schools before joining the anthropology staff of the University of Chicago (1960-70); he then became professor of social science at the Institute for Advanced Study in Princeton from 1970-2000, then emeritus professor. Geertz received a L.H.D. from Bates College in 1980. Clifford Geertz died of complications following heart surgery on October 30, 2006.
Thought and works
At the University of Chicago, Geertz became a "champion of symbolic anthropology", which gives prime attention to the role of thought (of "symbols") in society. Symbols guide action. Culture, outlined by Geertz in his famous book The Interpretation of Cultures (1973), is "a system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means of which people communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitudes toward life." The function of culture is to impose meaning on the world and make it understandable. The role of anthropologists is to try (though complete success is not possible) to interpret the guiding symbols of each culture (see thick description). Geertz was quite innovative in this regard, as he was one of the first to see that the insights provided by common language philosophy and literary analysis could have major explanatory force in the social sciences.

He conducted extensive ethnographical research in Southeast Asia and North Africa. He also contributed to social and cultural theory and is still very influential in turning anthropology toward a concern with the frames of meaning within which various peoples live out their lives. He worked on religion, most particularly Islam, on bazaar trade, on economic development, on traditional political structures, and on village and family life. At the time of his death he was working on the general question of ethnic diversity and its implications in the modern world.
Harvard professor and literary scholar Stephen Greenblatt identifies him as a strong influence, and Geertz acknowledged Greenblatt as a faithful interpreter of his work.




No comments: