Monday, October 29, 2007

sedikit cerita sebagai ass professor

Jawaban untuk akang sealmamater

Salam, Terima kasih atas perhatiannya Kang Faqih. Saya baru dua bulan jadi Ass Professor, masih mempelajari segala aturan main dan program-program yang saya akan kerjakan kedepan. Untuk sementara, saya bisa katakan, lingkungan akademik di kampus tempat saya sekarang sangat baik, dengan dukungan professor senior dan kolega, staf, dan mahasiswa. Kolega-kolega saya pakar di bidang religious studies dan sebagian pakar di bidang area studies Asia Tenggara. Untuk religious studies, masing-masing profesor fokus pada agama tertentu, misalnya Katolik, Buddha, Sikhisme, Konghucu, Yahudi, dan sebagainya, sementara saya satu-satunya prof bidang Islam. Semester depan saya akan mengajar agama-agama di Asia (Hindu, Buddha, Islam, Sikh, Konghucu, Tao, Sinto) dari sisi ajaran, kitab suci, praktek keagamaan, dan kelembagaan. Saya juga akan mengajar Understanding the Qur'an, dan Islam di Asia Tenggara. Akan ada mata kuliah lain yang juga saya akan ajarkan, seperti agama dan politik, pemikiran Islam, dan sebagainya. Ini untuk program S-1, dan juga paskasarjana. Selain mengajar, sebagai professor, saya harus terus lakukan riset, publikasi, dan pengabdian (menjadi panitia, aktif dalam organisasi, dan semacamnya). Posisi assistant professor adalah jenjang pertama; setelah beberapa tahun akan dinilai, baru akan naik ke jenjang kedua, disebut Associate professor, lalu setelah itu, baru full professor. Assistant professor tidak berarti asisten dosen seperti di negeri kita, yaitu dosen yunior yang mengantikan profesor yang lebih senior (yang biasanya jarang hadir). Assistant professor di Barat memiliki otoritas penuh dalam bidang disiplin ilmunya. Sebagai assistant professor saya dibantu beberapa Teaching Assistant yang biasanya mahasiswa paskasarjana. Tugas lain adalah membimbing mahasiswa dalam kegiatan akademik, tesis, disertasi, dan sebagainya. Di Riverside, ada Islamic Center yang cukup besar berjamaah hampir seribuan dan bahkan lebih, umumnya pendatang dari negeri-negeri Muslim tapi sudah jadi orang Amerika. Orang Palestina, Mesir, Irak, Bangladesh, dan sebagainya, menjadi orang Amerika dan betah menjadi orang Amerika ketimbang tinggal di negeri-negeri asal mereka. Salah satu pelajaran penting di sini adalah menjadi Muslim tidaklah sulit di Amerika, dan bahkan kebebasan beragama sangat dijamin, terlepas dari sebagian orang Amerika yang tidak tahu banyak soal Islam. Salah satu acara yang saya ikuti Ramadhan yang baru lalu adalah dialog antaragama yang diadakan ole Islamic Center mengundang tokoh agama-agama di sini. Suasananya sangat akrab. Saya sempatkan tulis artikel soal itu di The Jakarta Post berjudul Ramadhan in America. Saya juga hadiri dialog antaragama yang dirintis masyarakat Muslim asal Turki. Ini dulu ceritanya, Kang Faqih. Nanti bisa disambung. Gimana kabar antum? Salam,

No comments: