Friday, August 08, 2008
Kontekstualisasi Nabi Muhammad di Indonesia
Saya kira pembedaan “historical Muhammad” dan “contextualized Muhammad” ( Indonesia) cukup membantu, tapi yang kedua, hemat saya, membutuhkan yang pertama, dan keduanya tidak berarti perlu dipisahkan. Upaya kontekstualisasi dan liberalisasi Muhammad untuk Indonesia dan sekarang tidak mungkin bisa dilakukan tanpa memposisikan Muhammad sebagai figus historis yang hidup dan berjuang pada zamannya sambil pada saat yang sama melakukan pembacaan terhadap Indonesia, sejarahnya dan masalah-masalahnya. Proses historisasi dan kontekstualisasi saya kira terjadi secara bersamaan dan back and forward. Pendekatan historis terhadap Muhammad adalah sarat pertama, meskipun tidak cukup. Berikut ini, pemaparan apa yang saya maksud kontesktualisasi Muhammad, dan secara khusus liberalisasi Muhammad dan Quran untuk Indonesia. Sebelumnya, perlu diingat, citra Muhammad selalu atau lebih seringsebagai figur perang tidak sepenuhnya benar untuk konteks Indonesia. Waktu saya menyantren, figure militer Muhammad hanya disebut sambil lalu, tidak begitu penting dan tidak berpengaruh pada pendidikan kesantrian; yang ada waktu itu, Muhammad adalah cinta ilmu pengetahuan, pemaaf, tidak ingkar janji, menyantuni fakir miskin, menghormati tamu, suka humor, mencintai perempuan, dan aspek-aspek etik lainnya, yang saya percaya kontekstual untuk konteks saya sebagai santri dan anggota masyarakat di Indonesia. Saya kira ribuan pesantran dan madrasah dan institusi agama di Indonesia melihat figure Muhammad dari banyak sisi, dan sisi militer itu, meskipun salah satunya, tidaklah begitu atau paling signifikan. Pertanyaannya barangkali, mengapa ada kelompok Islam yang lebih melihat “sisi keras” dan padang pasir itu? Apa yang “salah” pada model penglihatan dan kepengikutan semacam ini?Saya kira konteks umat Islam yang merasa terbelakang, terjajah, terpinggirkan, terserang, atau sebaliknya merasa umat pilihan dan arogan, menjadi conditioning kenapa muncul kelompok garis keras yang memunculkan dimensi militer dan dakwah keras Muhammad. Proses kontekstualisasi Muhammad tidak mungkin bisa lakukan tanpa pertama mengakui kesejarahan Muhammad yang keras itu dan memang benar berperang beberapa kali. Karena itu kontekstualisasi Muhammad harus lebih dulu membaca sisi militeristik Muhammad dan para sahabatnya dan pada saat yang sama membaca sisi non-militeristik Muhammad yang lebih signifikan sepanjang hidupnya: sebagai suami yang membuat salah satu istrinya cemburu, sebagai ayah yang sangat sedih ketika anaknya meninggal, seorang mertua yang bangga dengan menantunya Ali, sebagai anggota masyarakat Mekah yang dipercaya (al-amin) dan kemudian pemimpin yang adil dan jujur dan anggota masyarakat yang terlibat langsung turun (bukan sekedar bicaradi depan) untuk mempertahankan Madinah dari serangan dalam dan luar, dengan kata lain sebagai patriot dan “nasionalistik” juga.Perlu juga dicatat, pemahaman Muhammad dan Islam di Barat sebagai dengan sendirinya “Western” dan “liberal” tidaklah tepat, karena Islam dan Muhammad di Barat telah dipahami secara sangat majemuk dan berbagai spektrum. Mereka yang belajar dan mengajar Islam di Amerika atau Eropa tidak dengan sendirinya menggunakan metodologi rasional, historis, dan kontekstual. Saya beberapa kali mendengar ceramah keagamaan scholar yang sangat apalogetik. Tidak sedikit scholar of Islam di AS yang cenderung defensif dan selalu menekankan peaceful character of Islam semata-mata dan wonderful character of Muhammad sambil menegasikan kompleksitas dan multidimensi sosok Muhammad. Juga di masjid. Saya baru saja menghadiri solat Jumat, yang isinya urusan Palestina dan Israel melulu; itu karena konteks perang media di AS, tapi banyak imam masjid dan scholar di Amerika juga tidak sensitive dengan problem real keAmerikaan, problem hidup di dunia global, dan seterusnya.Di pihak lain, liberalisasi Muhammad sudah dimulai, meskipun kekuatan masih marginal dan terpencar-pencar. Bagi Farid Esack di Afrika Selatan, Muhammad dan Al-Quran menjadi “liberatif dan pluralis”; bagi Kecia Ali, Leila Ahmed, Fatima Mernissi, dan Amina Wadud, Muhammad itu cukup gender-sensitive untuk zamannya, meski tidak sampai “feminis” liberal, bagi Khaled Aboe el-Fadl, Muhammad itu toleran dan human right activist. Di Indonesia, bagi Soekarno dan Hatta, Muhammad itu liberal dan sekularis; bagi Syu’bah Asa, Muhammad itu “socially caring and publicly engaged”, bagi Emha Ainun Najib, Muhammad itu penyair, bagi Musdah Mulia, Muhammad itu pro-gay, buat Cak Nur almarhum Muhammad itu modern, inklusif, dan multikultural. Bagi kaum Muhammadiyah, Muhammad itu puritan moderat; bagi kalangan NU, Muhammad itu senang kalo dirayakan ulang tahunnya, dan tidak terlalu peduli dengan “bidah hasanah” inovasi agama yang baik dan konstruktif, danseterusnya. Liberalisasi Muhammad, menurut saya, adalah memposisikan Muhammad sebagai Nabi dan manusia, sebagai sosok yang sangat ukhrawi, tapi juga manusiawi duniawi. Salah satu hadis yang popular “ Antum a’amu bi umuri dunyakum: Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” bisa jadi landasan pijak, meskipun tidak cukup, karena statusnya yang masih controversial dari sisi sanad dan pemahamannya. Konsep duniya dan akhirat yang ada dalam Al-Quran dan di dalam hadis ini bisa kita kontekstualisasikan untuk Indonesia dan bisa menjadi rujukan upaya liberalisasi Al-Quran dan Sunnah. Liberalisasi Muhammad berarti meliberalisasi Al-Quran dan Sunnah. Urusan ekonomi, politik, kriminal, pertanian, perdagangan, dan semua urusan “dunia” adalah ranah yang bisa diliberalisasi tanpa harus selalu merujuk pada hadis-hadis yang juga cukup rinci mengenai masalah-masalah ini untuk konteks masa lalu. Ada banyak sekali hadis-hadis, sekalipun secara sanad kuat, tidak relevan dantidak bersifat universal untuk Indonesia dan kini. Akal sehat dan kritisisme sejarah harus dipakai. Liberalisasi Muhammad juga perlu menyinggung hubungan AL-Quran dan Sunnah; dan hubungan Sunnah dan Hadis, fiqh, ilmu agama, dst. Berbeda dengan hubungan Kristiani, Jesus, dan Bible, bagi banyak Muslim, Quran adalah sumber pertama, dan Sunnah sumber kedua. Tingkat normatif Quran dan Sunnah berbeda. Begitu pula, tingkat normatif antara ayat-ayat Al-Quran tidak selalu setara: ada ayat-ayat favorit atau yang paling sering dibaca atau diteladani. Surat Al-Lahab misalnya paling tidak favorit. Apalagi Sunnah, yang bagi umat Islam zaman sekarang “terlanjur” harus percaya dengan Hadis, sebagaimana yang dikonstruksi dan diseleksi Bukhari, Muslim dan lainnya- khususnya kaum Sunni; sementara Shi’a memiliki koleksi Hadis dan produk fiqh nya sendiri. Di antara umat Islam, ada yang lebih ke Quran, ada yang lebih ke Hadis, ada yang lebih ke pikiran, sehingga dulu ada Ahlu al-Hadis dan Ahlu al-Ray (pemikiran) seperti Mutazila. Ada yang “kekurangan gizi”karena terlalu membaca Hadis sebanyak-banyaknya dan seliteral mungkin, tapi kurang membaca Quran yang banyak memuat substansi ketimbang rincian. Jadi, masalah buat Muslim Indonesia adalah bagaimana supaya “gizi” mereka seimbang. Untuk liberalisasi Muhammad di Indonesia, Sunnah harus subject to gagasan substantik Quran dan reason (ijtihad) dan didiskusikan terus menerus. Memahami Muhammad melalui Sunnah, dan melalui Hadis yang ada, secara historis dan kontekstual. Dalam wacana internal Islam, tradisi (Sunna) Muhammad dilawankan dengan bid’ah. Saya cerita sedikit soal bid’ah ini. Salah satu mahasiswa Katolik saya dalam kelas “Islam” yang saya sedang aja, tertarik dengan konsep bid’ah ini, dan dia akan menulis paper soal ini. Sayangnya, saya tidak punya buku dalam bahasa Inggris khusus soal ini, yang ada hanya buku-buku pengantar tentang Muhammad, sunnah, Hadith. Dalam bahasa Arab, sunnah cukup controversial: Sunnah yang mana saja yang normatif. Dan sejauh mana tingkat normatifnya. Ini terkait dengan bid’ah: sesuatu yang dianggap mengada-ada, yang baru, yang tidak ada pada masa Nabi. Makanya ada bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyiah (jelek). Kata Gus Dur, kalo ada orang Islam melarang bid’ah, jangan pake celana dalem. Hehehe. Jadi ada proses kreatif pemikiran bid’ah ini menjadi sesuatu yang konstruktif, tentu pertanyaan lagi hal-hal mana yang bisa dikreasi dan inovasi dan hal-hal manayang tetap dan subtantif. Proses liberalisasi Muhamamd dan Islam karena itu, bukan proses yang final, dan tidak akan pernah final. Dan tidak akan pernah seragam. Beberapa pemikir Muslim Arab memulai upaya kontekstualisasi Sunnah Nabi, mulai dari Yusuf Qardhawi, Muhammad Al-Ghazali (yang menulis tentang nyanyian, wanita, makan-minum, pakaian, dst),. Pak Quraish Shihab saya kira termasuk yang paling produktif untuk kontekstualisasi Al-Quran di Indonesia, meskipun tentu saja karyanya dipengaruhi pendidikan dan pembacaannya. Tentu saja usaha mereka berbeda, namun poin saya adalah semangat untuk kontekstualisasi Al-Quran dan Sunnah sudah ada dimana-mana.Kontekstualisasi Muhammad butuh pemahaman problem real masyarakat Indonesia saat ini. Dari pemahaman ini kemudian kita bisa membaca Muhammad: bagaimana kira-kira Muhammad akan merespon masalah ini jika dia hidup sekarang dan di Indonesia? Misalnya, di Jakarta, persoalan realnya sangat kompleks: remaja-remaja yang hedonistik, jalan yang macet, selokan dan sungai yang kotor dan bau, rasa tidak aman ketika naik angkot dan bis kota, inflasi yang melonjat melewati daya beli, korupsi, pembunuhan, perusakan dan pembakaran tempat ibadah, diskriminasi pendidikan dan pekerjaan, konflik etnis-agama, dan seterusnya. Ketika terlanjur terjadi konflik etnis-agama di Ambon dan sebagainya, ramai-ramai para penulis muda menulis kontestualisasi Quran dan Muhammad sebagai anutan conflict resolution. nilai-nilai Pancasila saya kira adalah salah satu liberalisasi Muhammad dalam konteks Indonesia. Historical awareness tentang Indonesia? Tentang founding father Soekarno danHatta, tentang sumpah pemuda, bhineka tunggal ika, Pancasila, ---memahami bahwa Indonesia adalah Negara majemuk: dari mulai penganut agama asli, Hindu, Buddha, Islam, Protestan, Katolik, Kong huchu. Bagi Muslim yang nasionalist, figur Muhammad yang melakukan kontrak politik dengan suku-suku Yahudi di Medina bisa dikontekstualisasikan untuk Indonesia, meskipun tidak sepenuhnya, karena Indonesia bukan Medina, dan presiden bukan Nabi agama-politik. Nilai-nilai kontrak sosial itulah yang saya kira bisa relevan untuk Indonesia. Liberalisasi Muhammad di Indonesia membutuhkan historical awareness tentang Indonesia itu sendiri yang memiliki sejarah panjang dan pendek, memahami bagaimana the founding father Soekarno dan Hatta, sumpah pemuda, bhineka tunggal ika, Pancasila, UUD 1945 dan amandemen-amandemennya ---memahami bahwa Indonesia adalah Negara majemuk: dari mulai penganut agama asli, Hindu, Buddha, Islam, Protestan, Katolik, Konghuchu, dan sebagainya. Mengenai bahasa, Muhammad, Al-Quran, Hadis, Sunnah, fiqh, dan seterusnya memang berbahasa Arab. Proses Arabisasi tidak bisa terelakkan karena kepercayaan Muslim tentang posisi bahasa Arab itu sendiri, agak berbeda dengan Katolik dan Protestan. Injil bahasa Inggris dan bahasa Yunani atau Aramaik memiliki posisi yang kurang lebih setara. Beda dengan Al-Quran dan terjemahannya. Patokan bagi liberalisasi Islam adalah sejauh mana tingkat Arabisasi itu relevan dan tepat untuk Indonesia dan sejauh mana proses lokalisasi dapat dilakukan terhadap Muhammad, Quran, dan Islam. Dalam kenyataannya, selalu ada proses lokalisasi ayat- Hadis, fiqh, tasawwuf, kalam di Indonesia. Antara Aceh dan Banten, Makassar, Lombok, Bali, beda-beda pula. Contoh saja, nilai local sirri di masyarakat Bugis-Makassar, dipahami sebagai harga diri yang melegitimasi pembunuhan laki-laki yang bawa kawin lari perempuan, mengalami proses “Islamisasi”: harga diri adalah Islami, tapitidak dengan membunuh, bisa dengan cara lain yang lebih “beradab”. Kategori santri dan abangan saja, kan proses Jawanisasi kategori murni keagamaan yang ada dalam Al-Quran seperti Mukmin, Muslim, Fasik, Munafik, dan seterusnya. Dan masih banyak contoh lokalisasi lainnya.Kontekstualisasi Islam dan Muhammad untuk Indonesia juga perlu lebih spesifik lagi: untuk individu, profesi tertentu, laki/perempuan/gay, status ekonomi, politikus, intelektual, guru, budayawan, saintis, dan seterusnya. Jadi Indonesianisasi penting, tapi belum spesifik, karena proses internalisasi/teladanisasi pada ujungnya bersifat personal dan komunal. Bagaimana Muhammad sebagai pacifist? Sekarang intelektual dan media tidak pernah memberikan citra Muhammad sebagai pacficist. Hanya Yesus, Gandhi, Martin Luther King, Jr, Mother Teressa, dan seterusnya. Saya sendiri kesulitan mencari sumber-sumber soal ini, baik Arab, Ingris, Jerman, Perancis, dan Belanda. Ketika mahasiswa paska saya menanyakan referensi gerakan perempuan Muslim yang focus pada peace building dan noviolence, saya hanya dapatkan sedikit saja. Belum banyak kajian soal ini. Ada fragmen Muhammad yang bisa mengindikasikan posisi Muhammad sebagai mediator, antara elit-elit suku-suku di Mekka yang konflik mengembalikan “batu hitam” (hajar aswad) ke tempatnya di Kabah. Ada juga bagian kehidupan Muhammad ketika dia berdoa dan memaafkan musuhnya: “Ya Allah maafkanlah mereka karena mereka tidak tahu” ketika dia diejek dan dilempari kotoran di Thaif. Ada juga hadis yang menyatakan Tuhan adalah Damai; Kasih Tuhan melampaui marah-Nya; Siapayang tidak menuai kasih dia tidak dikasihi; tentang kemiskinan, tentang haramnya saling membunuh dan bunuh diri, tentang siapa Muslim: seseorang yang lidah dan tangannya tidak mengganggu orang lain; tidak tanggung jawab; tentang percaya dan tunduk sama hukum, tentang keserakahan, materialisme, dan sebagainya; ini semua kan aplikable dalam konteks Indonesia dan kini.Bung Ioanes, saya kira perlu ada kajian khusus dan buku khusus. Paparan saya di atas sekedar awal saja karena problemnya sangat kompleks dan multi-dimensional. Masing-masing poin diatas perlu dielaborasi lebih panjang dan dalam lagi seharusnya. Yang tak kalah menariknya lagi adalah kontekstualisasi NU dan Muhammadiyah yang khas Indonesia itu dalam konteks Amerika saat ini. Bagaimana Muhammad-nya NU dan Muhammad-nya Muhammadiyah mengalami lokalisasi lanjutan di Amerika. Lebih lanjut, dialog kontekstualisasi Nabi-Nabi abad silam (termasuk Sidarta Gautama, Lao Tze, Master Kung, Gandhi, dan sebagainya) di ruang-ruang publik untuk masa depan Indonesia sangat penting dan strategik. Saya kira ada banyak kesamaan dari figur-figur keagamaan itu, dan karena mayoritas Indonesia beragama maka adalah historically natural bahwa pemahaman mereka terhadap figur-figur itu sangat berpengaruh terhadap bagaimana mereka melihat Indonesia dan masa depannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment