Friday, August 08, 2008

Nabi Muhammad Kontekstual

Menarik saya mendiskusikan bagaimana pemahaman "liberal" bisa menjadi jalan upaya kontekstualisasi Nabi Muhammad di zaman kini dan di sini (lokalitas). Dalam sejarah Islam, status Muhammad sebagai "anutan" sebetulnya mengalami proses penyejarahan di lokalitas dimana Islam dianut oleh masyarakat Persia, Rusia, India, Asia Tenggara, Afrika, Amerika, Europa, dan seterusnya. Jadi, Muhammad Europa, Muhammad Indonesian, Muhammad Afrika, dan lebih spesifik lagi, Muhammad desa, dan Muhammad kota, sudah terjadi dan akan terus terjadi. Proses kontekstualisas Muhammad juga terjadi pada level individu-individu dan kelompok-kelompok yang sama dalam hal "melakukan referensi" terhadap dirinya, tapi sangat berbeda dalam manifestasi kultural, politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. Ketika Nabi menikahi Khadijah sebagai satu-satunya istri, dan baru menikah lagi setelah istri pertamanya ini wafat, dan menikahi wanita Qibthi, dan janda-janda (kecuali Aisyah), tidak semua pengikutMuhammad "mempraktekkan" poligami yang persis seperti itu. Mayoritas Muslim, secara statistik, malah monogami, atau berpoligami tapi bukan janda, dan sekaligus, karena berbagai faktor kontekstual sepanjang sejarah yang tidak memungkina kawin seperti Nabi itu. Ketika Muhammad menjadi pemimpin agama dan politik sekaligus, umat Islam dalam sejarah dalam prakteknya adalah sekularistik, bahkan sejak zaman Umayyah, dan apalagi Abbasiyah, sampe Dinasti Usmani dan apalagi sekarang di masa negara-bangsa, dan hanya kalangan minoritas saja yang "teokratis" persis seperti Nabi (Iran zaman Khomeini misalnya), tapi negara-negara Arab lainnya tetap saja "sekularistik" ) karena sudah ada pembagian otoritas keagamaan (ulama) dan otoritas politik (sultan, president, dst).Di bidang ekonomi, mayoritas Muslim tidak mempraktekkan bagaimana Nabi berdagang. Di bidang sosial apalagi, konsep baduin dan nomad (kinsip, hospitability tribalistik) , tidak sepenuhnya dipraktekkan masyarakat Muslim zaman sekarang dimana ikatan profesional (kolega), teman bermain, teman kuliah, teman aktifis lintas agama, dan sebagainya lebih penting, atau ketika kemajemukan identitas menjadi hal yang lumrah.

Saya kira karakter masyarakat dan zaman adalah perubahan. Meskipun kelompok-kelompok fundamentalis berteriak mengikuti Sunnah Nabi, pada kenyatataan hanya bagian kecil saja yang betul-betul mirip dan persis dengan sifat-sifat Muhammad. Dalam sejarah Islam dan bahkan Eropa dan dunia, sejak abad ke-7 sampai sekarang, Muhammad telah mempengaruhi berbagai tradisi yang berbeda dalam berbagai kehidupan. Masalahnya adalah perubahan yang seperti apa dan sejauh mana yang pas dan diinginkan pemikiran "liberal" itu. Perubahan natural dan sosial seperti saya ilustrasikan di atas tidaklah memadai. Masih ada kalangan Muslim yang tidak dapat atau tidak mau membedakan antara mana yang subtantif dan mana yang tidak subtantif, yang "universal" dan yang lokal (Arab Mekah, Medina, dan abad ke-7). Muhammad dengan turbannya, dengan jubahnya, dengan siwaknya, dengan sendal jepitnya, dengan bahasa Arabnya, dan seterusnya.

Persoalan selanjutnya adalah umat Islam tidak sepakat mana yang substantif dan mana yang cabang itu, meskipun selalu dianggap bahwa tauhid, keimanan, dan rukun islam, sebagai yang universal, tapi kenyatannya praktek kepercayaan tauhid itu juga telah mengalami lokalisasi di berbagai tempat, mengalami sinkretisasi. Apakah mereka yang melakukan lokalisasi iman dan kepercayaan mereka terhadap Muhammad (misalnya di Cikoang Sulsel) bisa disebut "liberal"? Mereka yang akomodasionist terhadap kepercayaan, bahasa, dan budaya lokal, tampaknya tidak berarti liberal dan progresif.

Jika salah satu karakteri Islam liberal adalah "rasional", maka mencium hajar aswad ketika berhaji tidak perlu diikuti oleh Muslim liberal. Bukan hanya itu, mempercayai air zam zam bernilai sakral dan kesehatan juga tidak rasional. Status Muhammad sebagai pemimpin agama dan politik sekaligus di Medina tidak perlu diikuti. Nikahnya Muhammad terhadap Aisyah yang berusia 9 tahun (menurut beberapa sumber) juga bisa dianggap "aneh" kalo terjadi saat ini.Di sini lain, Muhammad juga mau berdiri hormat di depan jenazah Yahudi yang lewat, dan meminta tawanan Yahudi untuk mengajar baca tulis kepada Muslim, ketika sekarang banyak orang Islam benci Yahudi. Muhammad juga melakukan kontrak politik di Medina (mitsaq al-Madinah) dengan Yahudi dan Kristiani, ketika sekarang di Palestina, kelompok Muslim, Yahudi dan Kristen belum bisa melakukan hal yang sama untuk menjaga Yerusalem dan sekitarnya. Muhammad juga membebaskan penduduk Mekah ketika mereka membencinya. Muhammad juga adalah pemaaf, ketika sekarang hukuman-hukuman pengadilan tidak lagi memperhitungkan pemaafan. Dan seterusnya.

Salah satu sumber referensi yang jarang dibaca umat Islam adalah sirah, padahal rincian-rincian kehidupan Muhammad bisa dibaca disana secara kontekstual. Nilai-nilai keadilan sosial, penghargaan terhadap wanita ketika wanita nomor dua, nilai-nilai persaudaraan atas iman yang mengatasi suku yang suka bertengkar, nilai-nilai kesantunan, ketegasan, keberanian, dan semacamnya, jika dilihat dari kaca mata zaman itu, bisa dianggap "progressif". Jika pemikiran liberal percaya bahwa zaman bergerak progressif, maka pergerakan itu tidak berhenti di zaman Nabi. Pergerakan itu pun terus terjadi hingga sekarang, dan seterusnya. Referensi terhadap Muhammad akan tetap, tapi bentuk, intensitas, pilihan, manifestasi, dan geraknya sangat berbeda dan berubah.

Singkatnya, peran Muhamad dalam sejarah adalah paradoksal, kompleks, dan multi-dimensional. Jangankan sekarang, ketika Nabi ada pun dan terutama ketika dia wafat, para pengikutnya sudah berbeda pendapat, dan menimbulkan permusuhan dan bunuh-bunuhan.Tinggal kembali kepada dimana dan siapa yang memposisikannya dan sebagai apa?Muhammad Nabi liberal? Atau liberalisasi Muhammad? why not?

No comments: